Fatwa Syaikh Bin Baz tentang Jama’ dan Qashar Shalat

Fatwa Syaikh Bin Baz tentang Jama' dan Qashar Shalat


62. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa jama’ dan qashar shalat merupakan dua hal yang harus selalu beriringan. Tidak boleh qashar kalau tidak jama’ dan tidak boleh jama’ kalau tidak qashar, apa pendapat syaikh tentang masalah ini? Apakah yang lebih utama bagi seorang musafir untuk melakukan qashar tanpa jama’, atau qashar dan jama’?

Jawab: Bagi siapa yang dibolehkan baginya untuk mengqashar shalatnya yaitu musafir, maka boleh baginya untuk menjama’, akan tetapi tidak harus selalu dilakukan keduanya, maka boleh baginya untuk mengqashar shalat tanpa jama’. Dan meninggalkan jama’ lebih utama jika dia menetap dan tidak bergerak sebagaimana yang dilakukan Rasulullah di Mina saat menunaikan haji wada’, dia melakukan qashar shalat tapi tidak jama’, sedangkan saat perang Tabuk beliau mengqashar shalat dan menjama’. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ini luwes. Maka Rasulullah melakukan qashar dan jama’ jika sedang dalam perjalanan dan tidak menetap di satu tempat.

Adapun jama’, perkaranya lebih luas lagi, karena boleh dilakukan oleh orang sakit, boleh juga bagi kaum muslimin yang sedang berada didalam masjid saat turunnya hujan antara maghrib dan Isya dan antara Zuhur dan Ashar tetapi tidak boleh bagi mereka untuk mengqashar shalatnya, karena qashar shalat hanya berlaku bagi musafir.

63. Jika masuk satu waktu sedang dia masih berada di tempatnya, kemudian berangkat safar sebelum melaksanakan shalat apakah boleh baginya untuk melakukan qashar dan jama’ atau tidak? Begitu juga halnya jika seseorang -misalnya- shalat Zuhur dan Ashar dengan qashar dan jama’ kemudian sampai ke kampungnya dalam waktu Ashar apakah tindakannya tersebut dibenarkan sedangkan dia tahu saat melakukan qashar dan jama tersebut, bahwa dia akan tiba di kampungnya pada waktu Ashar?

Jawab: Bagi seorang musafir yang masih berada di kampungnya sendiri sedangkan waktu shalat sudah masuk, kemudian dia berangkat sebelum shalat, maka disyariatkan baginya untuk melakukan qashar shalat jika dia telah meninggalkan perkampungan tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama dan itu adalah pendapat jumhur.

Dan jika dia melakukan jama’ dan qashar shalat dalam perjalanan kemudian tiba di kampungnya sebelum masuknya waktu yang kedua atau saat waktu yang kedua, tidak diharuskan baginya untuk mengulanginya karena dia telah melaksanakan shalat berdasarkan tuntunan syar’i, dan jika dia ikut shalat bersama orang lain maka shalatnya bernilai sunat.

64. Apa pendapat syaikh tentang perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, apakah ditentukan berdasarkan jarak tertentu? Dan apa pendapat syaikh tentang orang yang niat untuk menetap dalam perjalanannya lebih dari empat hari, apakah ada keringanan baginya untuk mengqashar shalatnya?

Jawab: Jumhur ulama berpendapat bahwa shalat yang karenanya boleh mengqashar shalat ditentukan, yaitu sehari semalam perjalanan unta dan perjalanan kaki dalam sebuah perjalanan normal atau sekitar 80 km, karena umum diketahui bahwa (orang yang menempuh) jarak tersebut disebut safar dan tidak demikian halnya jika kurang dari itu. Jumhur juga berpendapat bahwa siapa yang berniat untuk menetap lebih dari empat hari maka wajib baginya untuk menyempurnakan shalatnya dan melakukan puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan jika jarak yang ditempuh lebih pendek dari itu maka boleh baginya untuk melakukan jama’ dan qashar shalat dan tidak berpuasa karena asal hukum bagi orang yang menetap adalah menyempurnakan shalat, sedang qashar shalat disyariatkan jika dia benar-benar menempuh perjalanan. Terdapat riwayat dari Rasulullah: “Bahwa dia menetap dalam haji Wada’ empat hari lamanya, mengqashar shalat, kemudian berangkat ke Mina dan Arafat”, hal tersebut menunjukkan bolehnya qashar shalat bagi orang yang berniat untuk menetap selama empat hari atau kurang. Adapun menetapnya Rasulullah r selama sembilan belas hari pada ‘Aamul Fath (tahun terjadinya penaklukan kota Makkah) di Makkah dan dua puluh hari di Tabuk, diperkirakan bahwa beliau tidak menetap sekaligus, akan tetapi beliau menetap karena sebab yang tidak diketahui kapan berakhir. Begitulah jumhur ulama memperkirakan masalah ini saat Rasulullah di Makkah pada saat hari penaklukannya (‘Aamul Fath) dan di Tabuk saat perang Tabuk sebagai kehati-hatian dalam beragama dan mengamalkan hukum asal, yaitu wajibnya shalat empat rakaat bagi mukimin (orang yang menetap) pada shalat Zuhur, Ashar dan ‘Isya .

Adapun jika dia tidak menetap sekaligus dan tidak tahu kapan akan berangkat, maka boleh baginya untuk mengqashar dan menjama’ shalatnya serta tidak berpuasa hingga dia dapat menetap empat hari sekaligus atau lebih atau pulang ke kampungnya.

65. Apa pendapat syaikh tentang masalah menjama’ shalat pada saat turunnya hujan antara maghrib dan Isya pada waktu sekarang ini di kota-kota yang jalan-jalannya beraspal dan keras serta diberi cahaya lampu, sehingga tidak ada lagi kesulitan dan gangguan lumpur hujan?

Jawab: Tidak mengapa untuk melakukan jama’ shalat antara Maghrib dan Isya atau Zuhur dan Ashar -menurut pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat ulama- disebabkan hujan yang membuat orang kesulitan untuk datang ke masjid, begitu juga karena kondisi jalan yang licin atau banjir yang memberatkan.

Dalil dari masalah tersebut adalah hadits Rasulullah r yang terdapat dalam Ash-Shahihain dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma, sesungguhnya Rasulullah r menjama’ antara(shalat) Zuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya” Muslim menambahkan dalam riwayatnya “bukan karena takut, hujan dan safar (dalam perjalanan)”.

Maka hal tersebut menunjukkan bahwa telah tetap dikalangan para shahabat radiallahuanhum, bahwa takut dan hujan merupakan alasan bagi seseorang untuk menjama’ shalatnya sebagaimana dalam perjalanan jauh, akan tetapi tidak boleh mengqashar shalat dalam kondisi tersebut, yang dibolehkan hanya menjama’ saja sebab mereka sedang menetap tidak dalam bepergian sedangkan qashar khusus merupakan keringanan dalam perjalanan.

66. Apakah niat merupakan syarat bagi bolehnya menjama’ shalat? Banyak yang shalat Maghrib tanpa niat jama’ dan setelah shalat mereka bermusyawarah dan memutuskan untuk melakukan jama’ shalat kemudian shalat Isya?

Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dan yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa niat bukan merupakan syarat saat memulai shalat pertama, maka itu boleh menjama’ shalat setelah selesai shalat yang pertama jika terdapat syaratnya, yaitu: Takut, sakit dan hujan.

67. Mengenai masalah muwalat (bersambung), kadang-kadang ada yang melaksanakan dengan menunda shalat yang kedua hingga terdapat jeda beberapa saat lalu mereka melakukan jama’. Apakah hukumnya hal tersebut?

Jawab: Muwalat merupakan hal yang wajib dalam jama’ taqdim (menjama shalat pada waktu shalat yang pertama), diantara dua shalat harus dilaksanakan secara beriringan, jika waktu jeda hanya sekedarnya dan tidak beberapa lama maka tidak mengapa, sebagaiman riwayat dari Rasulullah dalam masalah ini. Dan telah bersabda Rasulullah r : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Yang benar bahwa niat bukanlah syarat sebagaimana yang telah diterangkan dalam jawaban no: 66.

Sedangkan jama’ ta’khir (menjama’ shalat pada waktu shalat yang ke dua), maka masalahnya luwes. karena shalat yang kedua dilaksanakan pada waktunya, akan tetapi yang utama adalah dengan melaksanakannya secara beriringan untuk meneladani Rasulullah dalam masalah ini.

68. Jika kita dalam perjalanan dan melewati masjid saat masuk waktu Zuhur -misalnya-, apakah disunnahkan bagi kita untuk shalat Zuhur bersama jamaah kemudian kita shalat Ashar dengan qashar atau kita shalat sendiri?

Apakah jika kita shalat bersama jamaah dan kemudian kita hendak shalat Ashar, kita langsung bangun setelah salam agar tercapai muwalat (beriringan), apa kita melakukan zikir dahulu baru kemudian shalat Ashar?

Jawab: Yang lebih utama adalah shalat sendiri dengan cara qashar, karena sunnah bagi seorang musafir adalah mengqashar shalat. Jika anda ikut shalat bersama jamaah maka wajib shalat dengan sempurna berdasarkan riwayat shahih dari Rasulullah. Dan jika anda hendak menjama’ shalat maka harus segera dilaksanakan sebagai pengamalan terhadap sunnah sebagaimana jawaban yang telah lalu dalam soal no: 67, setelah membaca istighfar sebanyak tiga kali dan membaca:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

Akan tetapi jika musafir hanya seorang diri maka wajib baginya untuk shalat bersama jamaah yang ada dan menyempurnakan shalatnya karena shalat berjamaah merupakan kewajiban sedangkan qashar shalat adalah sunnah, maka yang wajib harus didahulukan dari yang sunnah.

69. Apa hukumnya jika orang yang menetap shalat dibelakang orang yang safar atau sebaliknya, apakah pada saat tersebut seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, baik jika dia menjadi makmum atau imam?

Jawab: Shalatnya seorang musafir dibelakang orang yang mukim dan shalatnya orang yang mukim dibelakang musafir keduanya tidak mengapa, akan tetapi jika makmumnya musafir dan imamnya adalah orang yang mukim (menetap) maka shalatnya wajib dilakukam dengan sempurna karena harus mengikuti imam, sebagaimana riwayat yang terdapat dalam musnad imam Ahmad dan Shahih Muslim dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma bahwa beliau ditanya tentang shalat musafir di belakang orang yang menetap sebanyak empat rakaat, maka dia menjawab bahwa itulah sunnah.

Adapun jika seorang yang menetap shalat dibelakang musafir pada shalat yang empat rakaat maka dia harus menyempurnakan shalatnya jika imamnya memberi salam.

70. Dalam masalah jama’ antara shalat Maghrib dan Isya karena hujan, mungkin ada terjadi satu kondisi dimana sebagian jamaah dan imam shalat Isya kemudian ada sebagian orang yang masuk ikut shalat bersama imam dengan dugaan bahwaa dia (imam) shalat Maghrib, maka bagaimanakah kedudukan shalat mereka?

Jawab: Mereka harus tetap duduk setelah rakaat yang ke tiga dan membaca tasyahhud dan berdoa serta melakukan salam bersamanya. Kemudian setelah itu shalat Isya untuk mendapatkan keutamaan jamaah dan melakukannya dengan urut. Yang wajib jika telah ketinggalan satu rakat maka shalatlah bersamanya dari rakat sisanya dengan niat Maghrib dan sah shalat Maghribnya. Dan jika ketinggalan lebih dari itu maka shalatlah bersamanya kemudian melengkapi rakaat yang tersisa pada mereka. Demikian juga halnya seandainya dia mengetahui bahwa shalat yang berlangsung adalah shalat Isya, maka ikutlah bersamanya dengan niat Maghrib dan melakukan sebagaimana yang telah kami sebutkan kemudian setelah itu shalat Isya, menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat ulama.

71. Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah keutamaan melakukan sunat rawatib, ada yang mengatakan bahwa melakukannya termasuk sunat dan ada juga yang mengatakan bukan merupakan sunat karena shalat fardunya telah diqashar, apa pendapat syaikh dalam masalah ini? Demikian juga dengan masalah shalat sunat mutlak seperti shalat lail?

Jawab: Sunnah bagi seorang musafir meninggalkan shalat rawatib Zuhur, Maghrib dan Isya dan tetap melakukan sunat Fajar, untuk mencontoh Rasulullah r dalam masalah ini. Demikian juga halnya dengan masalah tahajjud pada waktu malam dan shalat witir, dalam perjalanan keduanya tetap disyariatkan, karena Rasulullah melakukan hal yang demikian itu, begitu juga seluruh shalat mutlak dan shalat yang memiliki sebab seperti shalat Dhuha, shalat sunat wudhu dan shalat Kusuf (shalat gerhana), disyariatkan juga baginya sujud tilawah dan shalat Tahiyatul masjid jika dia masuk masjid untuk shalat atau untuk tujuan lain.

Leave a Comment