Penjelasan Lengkap dan Detail Tentang Tatacara yang Benar Mengusap Khuf (Sepatu)

Fatwapedia.com – Sebelum membahas tata cara mengusap khuf (sepatu) saat wudhu, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu defininya. Pada artikel ini akan dijelaskan secara detail tentang tatacara mengusap khuf (sepatu) yang benar menurut syariat, mulai dari pengertian khuf, dalil-dalil tentang khuf, syarat-syarat mengusap sepatu, batas waktu dan pembatal khuf. Berikut uraian selengkapnya.

Definisi Khuf

Definisi al-Khuf secara bahasa: adalah sandal dari kulit yang menutupi dua mata kaki [lihat Nail al-Authar (1/241)] (dua mata kaki adalah tulang yang menonjol disamping kaki kanan maupun kiri).

Sedangkan kata المَسْحُ secara etimologi: kata dasar dari kata kerja مَسَحَ, yang berarti mengusapkan tangan di atas sesuatu [lihat Kamus al-Muhith dan Maqayis al-Lughah], yang dimaksud dengan menyapu khuf ialah membasahinya di tempat yang khusus dan waktu tertentu [Ad-Dar al-Mukhtar (1/173)] sebagai pengganti dari mencuci kaki dalam berwudhu.

Disyariatkannya Mengusap Khuf

Para ulama sepakat bahwa termasuk dari kesempuranaan dalam bersuci ialah memakaikhufain dan jika seseorang memakainya lalu berhadas cukup baginya mengusap bagian atasnya.[4]

Ibnu Abdill Barr berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat bolehnya mengusap khufain, karena setiap riwayat dari sahabat mereka tidak menyukai membasuh khufain. Tetapi ada yang meriwayatkan selain itu.[5]

Disyariatkan mengusap sepatu terdapat pada sunnah yang shahih dan mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalil yang bagus yang menerangkan disyariatkannya adalah hadits Himam ia berkata:

بَالَ جَرِيْرٌ ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ, فَقِيْلَ: تَفْعَلُ هَذَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ, رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ” قَالَ الْأَعْمَشُ: قَالَ إِبْرَاهِيْمُ: كَانَ يُعْجِبُهُمْ هَذَا الْحَدِيْثُ لِأَنَّ إِسْلَامَ جَرِيْرٍ كَانَ بَعْدَ نُزُوْلِ الْمَائِدَةِ

“Suatu ketika Jarir buang air kecil kemudian ia berwudhu dan mengusap khufnya, kemudian ditanya: kamu lakukan ini? ia menjawab: ya, aku melihat Rasulullah buang air kecil setelah itu beliau berwudhu dan mengusap khufnya”, A’masy berkata: Ibrahim  berkata: sesungguhnya pada waktu itu orang-orang tercengang oleh hadits ini karena islamnya Jabir setelah turunnya surat al-Maidah.[6]

Hukum Mengusap Khuf

Mengusap khuf  boleh walaupun mencuci kaki lebih utama menurut Jumhur ulama, sedangkan menurut Hanabilah mengusap khuf lebih utama atas dasar pengambilanrukshah.[7]

Yang lebih afdhal adalah masing-masing mengetahui keadaan kakinya. Bagi yang mengenakan khuf, hendaklah ia mengusapnya dan tidak melepaskannya, untuk mencontoh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya. Bagi yang kedua kakinya terbuka, maka mencuci lebih baik baginya. Ia tidak boleh memilih memakainya agar dapat mengusapnya ketika berwudhu’,[8] dan janganlah memaksakan diri melepasnya sebelum masanya karena ingin mencuci kakinya.” Wallahu a’lam.

Batas Waktu Mengusap Khuf

Islam telah menetapkan batas waktu bolehnya mengusap khuf, yaitu selama tiga hari tiga malam bagi orang musafir dan satu hari satu malam bagi orang yang mukim. Ini pendapat Jumhur ulama: Hanafi, Hambali, mazhab Syafii dalam pendapat barunya, dan mazhab Dzahiriyah.[9]. Dalilnya sebagai berikut:

Hadits Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu:

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ وَيَوْمٌ وَلَيْلَةٌ لِلْمُقِيمِ

“Rasulullah telah menjadikan batas tiga hari bagi musafir, dan satu hari bagi yang mukim”. [10]

Hadits Auf bin Malik al-Asyja’i, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ: ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ لِلْمُسَافِرِ وَلَيَالِيهِنَّ ، وَلِلْمُقِيمِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ

”Bahwa Rasulullah memerintahkan kami untuk mengusap khuf ketika Perang Tabuk: Tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu hari satu malam bagi yang bermukim”.[11]

Hadits Shafwan bin Assal, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا، أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا، ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ، لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ، وَبَوْلٍ، وَنَوْمٍ

“Bawa Rasulullah memerintahkan kami apabila sedang bepergian, agar tidak melepas khuf selama tiga hari tiga malam kecuali bila junub. Bukan karena buang air besar, buang air kecil atau tidur.”[12]

Sedangkan Imam Malik –begitu juga Imam Syafii dalam pendapat lamanya— dan Laits berpendapat bahwa tidak ada batas waktu bolehnya mengusap khuf selama tidak melepasnya atau tidak terkena junub.[13] Mereka menggunakan dalil dari hadits berikut yang dhaif:

Dari Ubay bin Imarah bahwa ia bertanya kepada Rasulullah:

“Wahai Rasulullah, bolehkah aku mengusap khuf ?” Rasulullah menjawab, “Ya” Aku pun bertanya lagi, “Selama satu hari?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Kemudian aku kembali bertanya” Selama dua hari?” Rasulullah pun menjawab “Ya”. Aku bertanya lagi, “Selama tiga hari?” dan Rasulullah pun menjawab, “terserah kamu”.[14]

Dari Khuzaimah bin Tsabit ia berkata:

“Bahwa Rasulullah telah menjadikan (batas mengusap khuf) selama tiga hari , andai kami meminta untuk menambah (batas tersebut) niscaya akan ditambahnya”.[15]

Hadits ini, sekiranya shahih, tidak bisa menjadi dalil karena hanya sebatas pendapat seorang Sahabat yang tidak kita jadikan dalil dalam beribadah.

Dari Anas bin Malik, bahwa rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:

“Apabila salah seorang diantara kamu berwudhu sedangkan ia memakai khuf, maka hendaknya ia melaksanakan shalat dalam keadaan tersebut, dan  mengusapnya (ketika berwudhu’) dan tidak melepasnya jika ia ingin, kecuali jika junub.”[16]

Kesemua hadits diatas adalah hadits dhaif, sehingga tidak bisa digunakan sebagai dalil.

Atsar Uqbah bin Amir ia berkata:

”Aku keluar dari Syam menuju Madinah pada hari Jumat dan sampai di Madinah pada hari Jumat (berikutnya). Lalu ia menemui Umar bin al-Khattab dan datanyai,”Kapan engkau memakai khuf tersebut?” Uqbah menjawab,”Pada hari Jumat”. Umar berkata, “Apakah engkau melepasnya?” Uqbah menjawab, “Tidak”.  Umar pun berkata, “Engkau telah melakukan hal yang benar”.[17]

Atsar diatas juga dhaif.  Al-Baihaqi berkata, “Kami telah meriwayatkan dari Umar tentang adanya batasan waktu (mengusap khuf). Barangkali Umar kembali ke pendapat (adanya batasan waktu bolehnya mengusap khuf) setelah sampai padanya ilmu dari Rasulullah, atau barangkali pendapatnya yang sesuai dengan hadits shahih dan masyhur, ini kemungkinan yang lebih besar. Oleh karenanya, Ibn Hazm dalam al-Muhalla berkata “bahwa tidak ada pendapat shahih dari salah satu orang sahabat yang menyelisihi batasan waktu mengusap khuf kecuali hadits dari Umar”. [18]

Batasan Waktu Mengusap Khuf

Telah disebutkan bahwa waktu yang dibolehkan mengusap khuf adalah satu hari satu malam bagi selain musafir, dan tiga hari tiga malam bagi musafir. Lalu kapan dimulainya waktu tersebut? Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini:

Pertama: Dimulai sejak pertama berhadas setelah memakai khuf. Ini pendapat Sufyan Tsauri, Syafii, Abu Hanifah dan mazhabnya, dan dzahir mazhab Hambali. [19] Mereka berkata bahwa karena setelah hadas, ada waktu yang boleh mengusap. Sehingga waktu setelah mengusap khuf.

Kedua: Dimulai sejak memakai khuf. Ini pendapat al-Hasan al-Bashri.[20]

Ketiga: Boleh mengusap khuf untuk lima waktu shalat (atau lima belas waktu shalat bagi musafir) dan tidak melebihinya. Ini pendapat mazhab asy-Sya’bi, Ishaq, dan Abu Tsaur dan lainnya.[21]

Keempat: Dimulai sejak waktu bolehnya mengusap khuf setelah berhadas, baik telah mengusap ataupun belum dan belum berwudhu’. Hal itu karena jika ia mengusapnya setelah berlalunya beberapa waktu, ia hanya boleh mengusap pada sebagian waktu tersebut. Ini pendapat Ibn Hazm, dan ia telah memmbantah pendapat mazhab lainnya.[22]

Kelima: Dimulai sejak waktu pertama mengusap setelah berhadas.[23] Ini pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan al-Auza’i, dan dipilih Imam An-Nawawi, Ibn Mundzir dan Ibn Utsaimin. Dan ini pendapat rajih, sesuai dengan dzahir sabda Rasulullah, “Seorang musafir mengusap khufnya’ dan ‘seorang mukim mengusap khufnya”. Juga, karena tidak bisa dikatakan bahwa seseorang mengusap khufnya, selain apabila ia telah melakukan hal tersebut, serta tidak boleh berpaling dari dzahir makna hadits ini tanpa dalil. Wallahu a’lam.

Dengan demikian, bila ada seseorang berwudhu ketika waktu shalat Dzuhur, dan memakai Khuf pada pukul 12, dan tetap dalam keadaan suci hingga pukul 3 sore, kemudian berhadas dan baru berwudhu’ dengan mengusap khufnya pada pukul 4 sore, maka ia bisa mengusap khuf hingga pukul 4 sore pada hari berikutnya jika ia mukim, dan hingga jam yang sama pada hari ke empat jika ia musafir.

Jika Orang Yang Bermukim Mengusap Khufnya, Kemudian Ia Bepergian

Seorang mukim yang mengusap khuf selama kurang dari satu hari satu malam, lalu kemudian ia musafir , Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:

Pertama: Ia boleh mengusap khuf hingga tiga hari tiga malam berikutnya, termasuk waktu mengusap khuf ketika ia mukim. Ini pendapat mazhab al-Tsauri, Abu Hanifah dan mazhabnya, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini juga pendapat Ibn Hazm.[24]

Kedua: Ia boleh mengusap khuf hingga satu hari satu malam, kemudian ia mesti membasuh kedua kakinya jika berwudhu’. Ini pendapat asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq.[25]

Dari kedua pendapat tersebut, pendapat pertama lebih rajih. Sebab, jika telah habis darinya satu hari satu malam, sedang ia dalam keadaan musafir, maka orang tersebut bisa melanjutkan waktu bolehnya mengusap khuf, sebagaimana dzahir hadits “Seorang musafir mengusap khuf selama tiga hari tiga malam”. Wallahu a’lam.

Jika Seorang Musafir Mengusap Khuf, Lalu Ia Bermukim

Seseorang yang mengusap khuf sedang ia dalam keadaan musafir selama satu hari satu malam atau lebih, sesampainya ia ditujuan harus menanggalkan khufnya dan membasuh kedua kakinya ketika berwudhu’. Setelah itu, ia berhak mendapatkan apa yang boleh bagi seorang mukim (dalam mengusap khuf). Namun apabila seseorang mengusap khuf, sedang ia musafir kurang dari satu hari satu malam, maka sesampainya ia ditujuan tetap boleh mengusap khuf hingga habisnya hari itu. Ibn Mundzir telah menukil ijma’ setiap pendapat ulama yang membatasi waktu bolehnya mengusap khuf atas hal ini.[26]

Syarat Mengusap Khuf

Untuk dapat mengusap khuf, disyaratkan memakai khuf tersebut ketika ia dalam keadaan suci.

Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu ia berkata:

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي مَسِيرٍ، فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنَ الْإِدَاوَةِ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ، فَقَالَ: ” دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ “، فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

“Pada suatu malam aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan. Lalu aku menuangkan air (untuk wudhu’ Rasulullah) dari Idawah (bejana dari kulit). Rasulullah pun membasuh wajah dan kedua tangannya, lalu mengusap kepalanya. Setelah itu, aku membungkukkan badan untuk melepas khufnya, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya tolak ukur agama didasarkan pada akal, maka niscaya mengusap bagian bawah khuf lebih diutamakan daripada mengusap bagian atasnya. Namun aku melihat Rasulullah hanya mengusap bagian atas khufnya.”[27]

Ini pendapat mazhab Tsauri, Auza’i, Ahmad dan Abu Hanifah dan para pengikut mazhabnya.[28] Dan ini pendapat yang benar.

Imam Malik dan Syafii berpendapat, bahwa bagian atas dan bawah khuf diusap, dan bila hanya membasuh bagian atasnya, maka ia mendapatkan pahala. Mereka menggunakan dalil hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah

“Bahwa Rasulullah berwudhu’, lalu mengusap bagian bawah dan atas khuf”.[29] Hadits ini dhaif,

Sedangkan yang shahih dari Mughirah adalah:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى الخُفَّيْنِ عَلَى ظَاهِرِهِمَا

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas kedua khufnya.”[30]

Jadi bagian khuf yang diusap cukup bagian atasnya. Jika seseorang mengusap bagian bawah khuf saja, maka usapannya tidak benar. Wallahu A’lam.

Perkara Yang Membatalkan Mengusap Khuf

Telah disebutkan dalam hadits Shafwan bin ‘Assal:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا، أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا، ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ، لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ، وَبَوْلٍ، وَنَوْمٍ

“Bawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami apabila sedang bepergian, agar tidak melepas khuf selama tiga hari tiga malam kecuali bila junub. Bukan karena buang air besar, buang air kecil atau tidur.”[31]

Dari hadits diatas, disimpulkan bahwa mengusap khuf tidak sah bagi seseorang jika terjadi salah satu hal berikut:

  • Junub atau sejenisnya yang mewajibkan mandi, seperti saat suci dari haid dan nifas
  • Habisnya batas waktu mengusap khuf
  • Menanggalkan khuf dan berhadas sebelum memakainya

Apabila seseorang melepas khufnya -meski sebelum batas waktunya habis- kemudian berhadas, maka tidak boleh memakai khuf dan mengusapnya, karena ia tidak memakainya dalam keadaan suci.

Bila terjadi pada seseorang salah satu dari tiga hal diatas, maka tidak boleh baginya untuk mengusap khuf ketika berwudhu’, dan diwajibkan baginya jika berhadas untuk berwudhu’ dan membasuh kedua kakinya, kemudian baru boleh memakai khuf dan mengusapnya sebagaimana yang telah dijelaskan tadi.

Catatan Penting: Batalnya Mengusap Khuf Bukan Berarti Batalnya Wudhu’

Seseorang yang mengusap khuf, kemudian menanggalkannya dan belum berhadas. Dalam hal ini ada empat pendapat dari para ulama:

Pertama: Ia harus mengulang wudhu’nya. Ini mazhab an-Nakh’I, Auza’i, Ahmad, Ishaq dan pendapat lama dari Imam Syafii [32]. Mereka berkata bahwa mengusap khuf sebagai ganti dari membasuh kaki ketika berwudhu’. Sehingga, apabila yang dibasuh sudah tidak ada, maka kesucian kakinya menjadi batal, sehingga batal juga wudhu’nya secara menyeluruh, karena ibadah wudhu’ tidak terbagi-bagi.

Kedua: Ia hanya diharuskan membasuh kedua kakinya. Ini pendapat at-Tsauri, Abu Hanifah dan pengikutnya, Abu Tsaur dan pendapat baru Imam Syafii.[33]

Ketiga: Ia harus segera membasuh kedua kakinya setelah menanggalkan khuf. Jika tidak, maka ia harus mengulangi wudhu’nya. Ini pendapat Malik dan Laits.[34]

Keempat: Ia tidak diwajibkan berwudhu’ kembali, tidak juga membasuh kedua kakinya. Ini riwayat dari an-Nakh’i, Hasan al-Bashri, Atha dan Ibn Hazm. Ini pendapat yang dipilih oleh An-Nawawi, Ibn al-Mundzir dan Ibn Taimiyah[35]. Ini pendapat yang benar, karena ketika memakai khuf masih dalam keadaan suci seutuhnya, sebagaimana dijelaskan oleh hadits yang shahih. Dan tidak boleh dikatakan bahwa ketika ia melepas khufnya maka wudhu’nya telah batal kecuali dengan dalil dari hadits atau ijma’, dan tidak ada hujjah dari pendapat yang mengatakan bahwa harus mengulangi wudhu’ atau harus mengulangi membasuh kaki.

Hal ini dikuatkan dengan hadits dari Abi Zhobyan

أَنَّهُ رَأَى عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَالَ قَائِمًا , ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ , فَتَوَضَّأَ , وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ , ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ , فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ , ثُمَّ صَلَّى

“Bahwa Ia melihat Ali bin Abi Thalib buang air kecil berdiri, lalu ia memanggilnya untuk mengambilkan air. Kemudian ia berwudhu’ dan mengusap kedua sandalnya, lalu masuk masjid dan melepas kedua sandalnya, lalu melaksanakan shalat”.[36]

Juga, hal ini dikiaskan dengan orang yang mengusap rambut lalu mencukurnya, para ulama tidak berpendapat bahwa ia harus mengulangi mengusap kepala atau mengulangi wudhu’nya lagi. Ini pendapat yang benar dalam masalah ini. Dan jika ia melepas khuf lalu tidak berhadas, maka ia boleh mengerjakan shalat dan ibadah lainnya hingga wudhu’nya batal. Wallahu A’lam.

Catatan kaki: 

[4] Al- ijma’, Ibnu Mundzir (20) dan al-Awsat (1/434).

[5] Al-Ausat (1/434), Sunan Al-Baihaqi (1/272) dan al-Fath (1/305).

[6] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (387) , Muslim (1568) dan lafazh darinya.

[7] Fath al-Qadir (1/126), as-Syarh as-Shaqir (1/227), al-Majmu’ (1/502) dan Muntaha al-Iradat (1/23).

[8] Ini pendapat yang dipilih oleh Syeikh Islam dalam al-Ikhtiyarat hal. 13

[9] Al-Mabsuth, (1/98); al-Umm (1/34); al-Mughni (1/209); al-Muhalla (2/80)

[10] Hadits Riwayat: Muslim (267) dan An-Nasa’i (1/84)

[11] Hadits Riwayat: Ahmad (6/27) dengan sanad shahih, dan ada syahid dari hadits riwayat Abu Bakr dalam Ibnu Majah (556) dan lainnya. Shahih.

[12] Hadits hasan, telah disebutkan sebelumnya.

[13] Al-Mudawwanah (1/41) dan Bidayah al-Mujtahid (1/24)

[14] Hadits Riwayat: Abu Daud (158). Ibnu Abdil Barr berkata: Hadits tersebut dan sanadnya tidak shahih. Dhaif

[15] Hadits Riwayat: Abu Daud (157), at-Tirmidzi dan Ibnu Majah (553). Dhaif

[16] Hadits Riwayat: al-Baihaqi (1/280). Dhaif

[17] Hadits Riwayat: al-Baihaqi (1/280), at-Thahawi (1/48) dan Daruquthni (72). Dhaif

[18] Al-Muhalla (2/93)

[19] Al-Mabsuth (1/99), al-Majmu’ (1/470)

[20] Al-Iklil Syarh Manar as-Sabil, Syeikh Wahid Abdus-Salam (1/136)

[21] A-Mughni (1/291); al-Majmu’ (1/466) dan al-Awsath (1/444)

[22] Al-Muhalla, Ibn Hazm (2/95)

[23] Masail Ahmad, Abu Daud (10) dan al-Muhalla (2/95)

[24] Ikhtilaf al-Ulama’ , al-Marwazi (31); al-Mughni (1/299) dan al-Muhalla (2/109)

[25] Al-Umm (1/35); Ikhtilaf al-Ulama (31) dan al-Awshath (1/446)

[26] Al-Awshath (1/446)

[27] Hadits Riwayat: Abu Daud (162), Daruquthni (73), al-Baihaqi (2/111) dan lihat al-Irwa’ (103). Shahih

[28] Ikhtilaf al-Ulama (hal. 30); Masail Ahmad, Ibn Hani (1/21); al-Awsath (1/453) dan al-Muhalla(2/111)

[29] Hadits Riwayat: Abu Daud (165); Tirmidzi (97); Ibnu Majah (550) dan Ahmad (4/251). Al-Bukhari, Ahmad, Abu Hatim, Daruquthni dan Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut ada illat-nya. Dhaif.

[30] Hadits Riwayat: Abu Daud (161); Tirmidzi (98) dan lainnya. Hadits hasan.

[31] Hadits hasan, telah disebutkan sebelumnya.

[32] Ikhtilaf al-Ulama (hal. 31); Masail Ahmad, Ibn Hani (1/91) dan al-Majmu (1/557)

[33] Ikhtilaf al-Ulama (hal. 31) dan al-Awsath (1/458)

[34] Al-Mudawwanah (1/41)

[35] Al-Muhalla (2/105); al-Awsath (1/460); al-Majmu (1/558) dan al-Ikhtiyarat (hal.15)

[36] Hadits Riwayat: al-Baihaqi (1/288) dan at-Thahawi (1/58). Lihat Tamam al-Minnah (hal. 115). Sanad shahih

Leave a Comment