Ini Tanda-tanda Lailatul Qadr Menurut Al Qur’an

Ini Tanda-tanda Lailaatul Qadr Menurut Al Qur'an

Fatwapedia.com – Dalam sebuah hadits Nabi bersabda yang artinya; Barangsiapa mencari Lailatul Qadar maka carilah pada malam 27 Ramadhan.” (HR Muslim)
Semua ulama sepakat bahwa lailatul qodar ada pada sembilan atau sepuluh hari terakhir dari ramadhan.
Ada beberapa pendapat ulama yang menyebutkan bahwa malam tersebut disebut lailatul qodar:
Pertama, karena pada malam itu Allah Ta’ala menetapkan takdir-takdir, rezeki-rezeki, ajal-ajal dan segala yang akan terjadi selama satu tahun kedepan.
Kedua,  karena besarnya kedudukan dan tingginya kemuliaan malam itu di sisi Allah Ta’ala.
Ketiga, karena kebaikan dan ketaatan di malam itu punya kedudukan mulia dan dilipatgandakan pahalanya.
Para ulama juga sepakat bahwa pada malam-malam ganjil lebih diharapkan untuk mendapatkan lailatul qodar. 
Namun, penetapan ganjil dan genap pada akhir ramadhan dipengaruhi bilangan ramadhan itu sendiri.
Jika ramadhan berjumlah 29 hari maka penghitungan malam ganjil dimulai dari malam 21. Dan malam-malam ganjil berikutnya ada pada malam 23, 25, 27, dan 29.
Sedangkan jika ramadhan berjumlah 30 hari maka penghitungan malam ganjil dimulai dari malam 22.
Jadi, kalau bulan dihitung dari akhirnya maka malam genap jadi ganjil dan malam ganjil jadi genap.
Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa lailatul qodar ada pada malam 21. Diriwayatkan juga darinya bahwa lailatul qodar ada pada malam 23. Yang kedua juga merupakan qoulnya penduduk Madinah dan Makkah.
Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ishaq bin Rohuyah menguatkan pendapat yang mengatakan lailatul qodar ada pada malam 27.
Karena ada potensi perbedaan penentuan kapan malam ganjil dan genap, maka seyogianya orang tak lagi berpatokan pada tanggal ganjil dan genap. Sebaiknya orang fokus menjadikan 9 atau 10 hari terakhir buat ibadah, ketaatan, dan kebaikan. Baik berupa tarawih, tahajjud, tilawah Al-Quran, shodaqoh, dzikir, shalawat, berdoa atau lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memilih mengamalkan dua qoul (pendapat). Dasarnya adalah bersikap hati-hati dan berjaga-jaga (ihtiyath). Karena sempurnanya bulan tak bisa diketahui kecuali setelah ramadhan selesai. 
Pilihan pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut juga mirip dengan pendapatnya Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Imam Malik. Menurut keduanya bahwa lailatul qodar dicari pada sepuluh malam terakhir baik di tanggal ganjil maupun genap. Sebagian ulama madzhab hanbali merojihkan sikap tersebut.

Apa saja tanda-tanda Lailatul Qadar?

Dalam tulisannya Ustadz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin) menjelaskan mengenai tanda-tanda malam Lailatul Qadar merujuk keterangan dari al Qur’an. Berikut uraiannya.
Tanda pertama Lailatul Kadar yang utama dan terpenting yang dijelaskan Al-Qur’an adalah ketenangan. Yakni ketenangan suasana dan ketenangan hati. Allah berfirman,
﴿سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ﴾ [القدر: 5] 
Artinya,
“Kedamaian di malam itu hingga terbit fajar” (Q.S. al-Qadr: 5)
Makna salām dalam ayat di atas adalah keselamatan, kedamaian, penghormatan, pujian dan kebaikan. Jadi, ketika Allah mensifati malam tersebut sebagai malam salām, maka unsur ketenangan, kebaikan dan kedamaian adalah hal yang sangat menonjol di malam itu.
Adapun mengapa malam itu sangat damai, maka hal itu dikarenakan banyak sekali kebaikan yang ada didalamnya. Misalnya, diampuninya dosa-dosa, dimaafkannya kesalahan-kesalahan, dilipatgandakannya semua pahala amal saleh, dikabulkannya doa-doa dan lain-lain. Terutama sekali peristiwa gaib yang terjadi adalah turunnya jutaan, milyaran atau bahkan mungkin triliunan malaikat atau angka yang hanya diketahui Allah saja. Saat itu para malaikat turun dan di antara mereka ada Jibril alaihissalam. Allah berfirman,
﴿‌تَنَزَّلُ ‌الْمَلَائِكَةُ ‌وَالرُّوحُ ‌فِيهَا ‌بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ﴾ [القدر: 4] 
Artinya, “Para malaikat dan Jibril di malan itu turun dengan izin Rabb mereka untuk melaksanakan berbagai urusan” (Q.S. al-Qadr: 4)
Rasulullah ﷺ menerangkan bahwa jumlah malaikat yang turun di malam itu lebih banyak daripada jumlah kerikil yang ada di muka bumi. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ ‌أَكْثَرُ ‌فِي ‌الْأَرْضِ ‌مِنْ ‌عَدَدِ الْحَصَى». [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 332)]
Artinya, “Sesungguhnya malaikat pada malam itu lebih banyak bilangannya daripada jumlah pasir di bumi” (H.R Ibnu Khuzaimah)
Para malaikat ini turun atas izin Allah untuk melaksanakan berbagai perintah Allah dan menetapkan semua takdir-takdir sampai satu tahun kedepan. 
Dalam tafsir al-Jalālain disebutkan bahwa para malaikat itu setiap bertemu dengan mukmin, maka mereka akan memberikan salam kepada mikmin tersebut. Al-Maḥalli berkata,
«سَلَامًا لِكَثْرَةِ السَّلَام فِيهَا مِنْ الْمَلَائِكَة لا تَمُرّ بِمُؤْمِنٍ وَلَا بِمُؤْمِنَةٍ إِلَّا سَلَّمَتْ عَلَيْهِ». [«تفسير الجلالين» (ص816)]
Artinya, “Malam itu penuh kedamaian karena banyaknya ucapan salam di dalamnya dari malaikat. Tidaklah mereka melewati seorang mukmin atau mukminah kecuali akan mengucapkan salam untuknya” (Tafsir al-Jalālain hlm 816)
Kata al-Sya‘bi, ucapan salam malaikat waktu itu berbunyi, “Assalāmu ‘alaika ayyuhal mu’min”
Jika seperti ini kondisinya, yakni banyaknya malaikat yang turun ke bumi dan banyaknya malaikat yang mengucapkan salam kebaikan untuk orang-orang mukmin, semnetara kita tahu doa malaikat itu mustajab, maka wajar jika bumi dipenuhi suasana damai dan tenang. Suasana menjadi damai dan hatipun juga damai.
Demikian dominan pengaruh malaikat di malam itu sampai-sampai pengaruh setanpun kalah. Setan tidak kuasa memasuki hati mukmin yang menghidupkan malam tersebut. Wajar jika dada mereka terasa lapang, lega dan tidak ada yang mengganjal. Tidak ada dendam, benci, sakit hati dan semisalnya. Aḥmad meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
« لَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya, “Tidak halal bagi setan keluar bersama malam itu pada hari itu” (H.R.Ahmad)
Riwayat senada ada juga dalam ṣaḥih Ibnu ḥibbān,
«لَا يَخْرُجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيءَ فَجْرُهَا». [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 330)]
Artinya, “Syetan tidak keluar di malam itu hingga tiba waktu fajar” (H.R.Ibnu Khuzaimah)
Mujāhid berkata,
« هِيَ لَيْلَةٌ سَالِمَةٌ لَا يَسْتَطِيعُ الشَّيْطَانُ أَنْ يَعْمَلَ فِيهَا سُوءًا وَلَا أَذًى». [«فتح القدير للشوكاني» (5/ 576)]
Artinya, “Malam itu adalah malam yang damai dimana setan tidak mampu berbuat keburukan dan gangguan” (Fatḥu al-Qadir, juz 5 hlm 576)
Ketenangan suasana Lailatul Kadar juga dikuatkan dalam salah satu riwayat hadis. Diriwayatkan Rasulullah ﷺ bersabda,
« سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya, “(Lailatul Kadar itu) tenang nan stabil tidak ribut” (H.R.Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan  bahwa  hingga anginpun juga tenang. Al-Ṭabarāni meriwayatkan,
وَلَا رِيحَ. [«المعجم الكبير للطبراني» (22/ 59)]
Artinya, “Tidak ada angin (ribut)” (H.R. Al-Ṭabarāni)
Di antara tanda Lailatul Kadar terpenting yang lain (selain ciri ketenangan sebagaimana saya jelaskan dalam catatan sebelumnya) adalah kuatnya nur di malam itu. Nur demikian kuat dan dominan sehingga dampaknya terasa bukan hanya di waktu malam, tetapi juga sampai waktu pagi.
Di malam itu, bulan seakan bersinar terang berkilauan. Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
« كَأَنَّ فِيهَا ‌قَمَرًا ‌سَاطِعًا». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya, “Seakan-akan di malam itu bulan berkilauan” (H.R. Ahmad)
Dalam riwayat lain, Lailatul Kadar digambarkan suasana malamnya itu “ceria”. Seperti wajah orang yang bahagia dan berseri-seri karena gembira yang mana nur meliputi wajahnya.  Abū Dāwūd  meriwayatkan,
عَنِ ‌ابْنِ عَبَّاسٍ ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: ‌لَيْلَةٌ ‌سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ. [«مسند أبي داود الطيالسي» (4/ 401)]
Artinya, “Dari Ibnu ‘Abbās dari Nabi ﷺ terkait Lailatul Kadar, ‘ (ia adalah) Malam yang nyaman berseri-seri”
Riwayat senada ada dalam Ṣaḥīḥ Ibnu Khuzaimah,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: «لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ. [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 331)]
Artinya, “Dari Ibnu ‘Abbās dari Nabi ﷺ terkait Lailatul Kadar, ‘(ia adalah)Malam yang berseri-seri” (H.R. Ibnu Khuzaimah)
Dalam riwayat Ahmad, malam itu disifati sebagai “baljah”. Makna bahasa baljah sama dengan ṭalqah, yakni berseri-seri. Ahmad meriwayatkan,
« إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya, “Sesungguhnya tanda Lailatul Kadar itu malamnya cerah berseri-seri” (H.R.Ahmad)
Riwayat yang mengandung kata “baljah” juga ada dalam al-Mu‘jam al-Kabīr karya al-Ṭabarānī,
«لَيْلَةُ الْقَدْرِ بَلْجَةٌ. [«المعجم الكبير للطبراني» (22/ 59)]
Artinya, “Lailatul Kadar itu berseri-seri” (H.R. al-Ṭabarānī)
Riwayat senada juga ada dalam Ṣaḥīḥ Ibnu Khuzaimah,
وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ. [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 330)]
Artinya, “Malam itu adalah malam yang berseri-seri” (H.R. Ibnu Khuzaimah)
Kadang-kadang Allah menampakkan kuatnya nur di malam itu pada sebagian hambaNya yang dikehendakiNya seperti pengalaman al-Nawawī. Ibnu al-‘Aṭṭār menuturkan,
وَذَكَرَ لِيْ وَالِدُهُ أَنَّ الشَّيْخَ كَانَ نَائِماً إِلى جَنْبِهِ، وَقَدْ بَلَغَ مِنَ العُمُرِ سَبْعَ سِنِيْنَ لَيْلَةَ السَّابِع وَالعِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ؛ قَالَ: “فَانْتَبَهَ نَحْوَ نِصْفِ اللَّيْلِ، وَأَيْقَظَنِيْ، وَقَالَ: “يَا أَبَة! مَا هذَا الضَّوْءُ الَّذِيْ قَدْ مَلَأَ الدَّارَ؟! “. وَاسْتَيْقَظَ أَهْلُهُ جَمِيْعاً، فَلَمْ نَرَ كُلُّنا شَيْئاً”. قَالَ وَالِدُهُ: “فَعَرَفْتُ/ أَنَّهَا لَيْلَةُ القَدْرِ”
Artinya: “Ayah beliau (An-Nawawi) menceritakan kepada saya (Ibnu Al-’Atthor) bahwasanya An-Nawawi pada malam ke 27 Ramadan tidur di sampingnya sementara waktu itu usianya telah mencapai 7 tahun. (Ayah An-Nawawi berkata) ‘Lalu An-Nawawi bangun kira-kira di tengah malam dan membangunkan saya dan berkata, ‘Wahai Ayah, cahaya apa ini yang memenuhi rumah?’ Seluruh keluarga pun bangun tetapi kami semua tidak melihat apa pun.’ Ayah An-Nawawi berkata, ‘Dari situ aku pun tahu bahwasanya malam itu adalah Lailatul Qadar.’” 
Kuatnya nur ini membuat matahari yang terbit di pagi hari muncul tanpa disertai syu‘ā‘, yakni sinar yang membentuk seperti garis. Jadi, di pagi itu matahari terbit dengan cahaya yang agak lemah, putih dan tanpa berkas sinar yang kuat. Muslim meriwayatkan, 
«وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ ‌لَا ‌شُعَاعَ ‌لَهَا». [«صحيح مسلم» (2/ 178 ط التركية)]
Artinya, “Tanda Lailatul Kadar adalah matahari terbit dipagi harinya dalam keadaan berwarna putih tanpa syu‘ā’” (H.R. Muslim)
Matahari terbit berwarna putih tanpa syu‘ā’ adalah tanda Lailatul Kadar terkuat yang dinyatakan dalam hadis. Mullā al-Qārī mengatakan bahwa penyebab matahari terbit dengan kondisi cahaya seperti itu karena nur Lailatul Kadar mengalahkan cahaya matahari terbit. Beliau berkata, 
«نَعَمْ لَوْ قِيلَ: غَلَبَ ‌نُورُ ‌تِلْكَ ‌اللَّيْلَةِ ‌ضَوْءَ ‌الشَّمْسِ مَعَ بُعْدِ الْمَسَافَةِ الزَّمَانِيَّةِ مُبَالَغَةً فِي إِظْهَارِ أَنْوَارِهَا الرَّبَّانِيَّةِ لَكَانَ وَجْهًا وَجِيهًا وَتَنْبِيهًا نَبِيهًا». [«مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح» (4/ 1440)]
Artinya, “Ya, seandainya dikatakan bahwa nur Lailatul Kadar mengalahkan cahaya matahari padahal jarak waktunya jauh sebagai bentuk mubalagah untuk menampakkan nur rabbānī, maka itu adalah makna yang berharga dan catatan penjelas yang penting” (Mirqāt al-Mafātīḥ, juz 4 hlm 1440)
Sebagian ulama yang lain berpendapat, cahaya matahari agak redup seperti itu adalah karena banyaknya malaikat yang turun di malam itu. Di pagi hari para malaikat naik kembali ke langit dan menghalangi sebagian cahaya matahari. 
(bersambung)

Leave a Comment