Fatwapedia.com – Meski sedang berpuasa, kumur-kumur sebagai salah satu sunah berwudhu tidak lantas hilang kesunahannya seiring masuknya bulan puasa.
Bedanya, jika di luar puasa disunahkan berkumur dengan penetrasi kuat atau mubalaghoh, sedangkan di bulan puasa kumur-kumur dilakukan tanpa mubalaghoh, tanpa penekanan yang kuat dan berlebih.
Berkumur yang mubalaghoh ditandai dengan memasukkan air ke mulut atau hidung dengan cara yang menurut pengalaman manusia (adat kebiasaan) dapat menyebabkan tertelan atau terhisap.
أن يملأ فمه وأنفه ماء بحيث يسبق غالبا إلى الجوف ( تحفة المحتاج، ٤٠٦/٣)
Berkumur berlebih (mubalaghoh) dihukumi makruh oleh fuqoha dari kalangan Syafi’iyyah, karena dikhawatirkan ada air yang tertelan.
Karena hukumnya makruh, konsekuensinya jika tertelan, walau itu tidak sengaja, menjadikan puasanya batal.
Hukum yang sama berlaku pada semua yang dimakruhkan saat berpuasa, lalu tanpa sengaja ada materi yang masuk ke dalam tubuh, seperti berenang, berendam, mencicipi makanan tanpa hajat, dll.
Hal ini sejalan dengan bunyi kaidah dalam fiqh Syafi’i, bahwa mengerjakan yang makruh saat puasa, lalu tanpa sengaja jatuh pada yang membatalkan, puasanya dihukumi batal.
Hukum yang berbeda berlaku pada amalan yang tidak makruh, seperti berkumur dan menghirup air wudhu tanpa _mubalaghoh_, kalaupun tertelan puasanya tetap dihukumi sah.
Yang telah disebutkan di atas berlaku pada kondisi seseorang yakin atau berpengetahuan kuat (dhonn) ada yang tertelan, sedangkan dalam kondisi ragu-ragu ( syakk) memiliki penjelasan sendiri.
Adakalanya seseorang ragu dengan puasanya, seperti ragu ada air yang tertelan saat wudhu, ragu ada yang masuk ke bokong atau terminum saat berenang.
Sebelum menjawabnya kita pilah dulu contoh ini menjadi dua kondisi, pertama dalam kondisi yang dibenarkan, kedua kondisi yang tidak dibenarkan.
Kondisi pertama yang dibenarkan, yaitu ragu tertelan saat berkumur tanpa penetrasi. Seperti ini sama sekali tidak memengaruhi puasa. Jangankan baru sebatas ragu, yakin tertelan pun tidak merusak puasa.
Kondisi kedua ragu tertelan saat kumur berlebih (mubalaghoh), atau ragu ada yang masuk saat berenang. Seperti ini tidak juga merusak jalannya puasa.
Karena dari awal ia yakin puasanya sah hanya saja di tengah puasa mengalami keraguan. Keraguannya tidak cukup menghilangkan keyakinan awal. Alasan ini sejalan dengan kaidah populer yang berbunyi :
اليقين لا يزال بالشك
Bukan hanya berlaku bagi puasa saja, kaidah ini pun berlaku masif di banyak tempat, seperti ragu dengan larangan-larangan ihrom, baik ihrom haji maupun umroh.
Seperti saat seorang muhrim (pelaku ihrom) merasa ada rambut yang lepas namun tidak mendapati bukti sehingga ia menjadi ragu.
Begitu pun saat sedang tawaf terasa ada sentuhan kulit, namun ragu apakah sentuhan dengan wanita sehingga harus wudlu lagi atau dengan laki-laki sehingga tidak perlu wudhu lagi.
Kedua ilustrasi di atas tidak memiliki konsekuensi hukum di dalam fiqih, apakah konsekuensi membayar dam karena rambut jatuh, atau mengulangi wudhu karena bersentuhan, karena keraguan (syakk) tidak cukup alasan untuk menyingkirkan yaqin. Wallohu a’lam.
Oleh: Aa Deni