Hukum Jual Beli Sebelum Barang Dipindahkan

Hukum Jual Beli Sebelum Barang Dipindahkan

Fikroh.com – Alhamdulillah kembali kami publikasikan kajian fikih muamalah dengan topik pembahasan jual beli. Semoga materi pada artikel ini menambah ilmu agama Allah subhanahu wa Ta’ala yang kita cintai.

Masih bersama matan Kitab Abu Syuja’ atau yang dikenal dengan matan al-ghayah fil ikhtisyar. Kali ini sampai pada pernyataan beliau:

ولا بيع ما ابتاعه حتى يقبضه

“Tidak boleh menjual kembali barang  yang sudah anda beli sampai betul-betul anda menerima barang yang anda beli tersebut.”

Secara tekstual penggalan pernyataan Al-Imam Abu Syuja’ ini menjelaskan tentang hukum menjualbelikan kembali barang yang sudah anda beli baik itu sudah anda beli dan sudah anda bayar secara lunas, ataupun sudah anda beli dan anda baru membayar uang mukanya saja, atau barang yang anda beli dan anda belum melakukan pembayaran sama sekali.

Selama barang yang anda beli tersebut belum anda terima, kalau itu barang yang bisa dipindahkan maka diterima dengan cara dipindahkan ke rumah anda (ke tempat anda) atau kalau itu adalah semisal properti, tanah, rumah maka serah terimanya dengan cara pengosongan dan serah terima kunci. 

Intinya mualif rahimahullah Al-Imam Abu Syuja’ menjelaskan,

Siapapun yang membeli suatu barang, baik dia itu belum melakukan pembayaran, atau baru melakukan sebagian dari pembayaran, atau bahkan mungkin sudah lunas sama sekali, tidak lagi tersisa pembayaran sedikitpun, selama barang yang dia beli belum dia terima, baik itu betul-betul barang yang berada di gudang penjual (di toko penjual) atau barang tersebut masih dalam proses pengiriman.

Seperti halnya ketika anda seorang importir, seorang importir sering kali setelah menerbitkan LC (Letter of Credit), kemudian dia mengurus administrasi, kemudian pihak eksportir di luar negeri sana telah mengirimkan barang dan anda telah mendapatkan Bill of Leading-nya bukti bahwa pihak ekportir telah mengirimkan barang tersebut, sehingga LC yang anda terbitkan sudah diakses oleh eksportir, sedangkan barang yang anda beli tersebut masih dalam proses pengiriman (pengapalan). 

Dan anda sudah mendapatkan Bill of Leading-nya, bahkan anda sudah mulai mengurus administrasi di Bea Cukai (pelabuhan) misalnya, selama barang tersebut belum sampai ke tempat anda, belum anda terima maka secara redaksi dari pernyataan al-mualif, berarti anda belum boleh menjual kembali barang tersebut. 

Karena di sini penulis mengatakan, ولا يبيعو (tidak boleh menjual),  ما ابتاعه (barang yang sudah dibeli), حتى يقبضه (sampai betul-betul barang itu berada dalam genggaman anda). 

Betul-betul sudah anda terima dan kata-kata yang يقبضه yaitu betul-betul anda genggam, anda terima, bukan sekedar anda terima administrasinya, surat menyuratnya. Tidak! Tapi betul-betul fisik barang yang anda beli itu sudah anda terima. 

Kenapa demikian? Ada satu hal yang perlu anda ingat selalu, bahwa Islam menginginkan adanya kepastian hak dan kewajiban. Ketika anda menjual maka anda berkewajiban menyerahkan barang tersebut kepada pembeli dan anda berkewajiban memberikan jaminan (kepastian) bahwa barang yang anda jual betul-betul bisa anda serah terimakan kepada pembeli.

Sebagaimana pembeli berkewajiban memberikan jaminan kepastian bahwa dia akan melakukan pembayaran, baik dengan cara dibayar tunai di saat transaksi, atau dengan komitmen pelunasan pada waktu-waktu yang telah disepakati, atau dengan adanya penjamin hutang, karena akad jual beli itu adalah suatu akad yang berefek terjadinya kepemilikan barang. Barang berpindah dari penjual kepada pembeli. Uang berpindah dari pembeli kepada penjual.

Point yang perlu digaris bawahi Islam menekankan bahwa akad yang anda jalin, karena ini adalah akad komersial, itu harus menghasilkan satu kepastian hak karena Islam mengharuskan adanya kepastian, maka anda selama belum bisa memberikan kepastian, dan kepastian ini betul-betul berdasarkan data, satu fakta yang betul-betul sudah nyata (bukan sekedar asumsi). 

Sehingga kalau barang itu belum anda terima maka yang terjadi anda hanya membangun komitmen berdasarkan asumsi (harapan) yang bisa betul, bisa tidak, bisa terwujud, bisa gagal. 

Ketika barang yang anda beli misalnya dalam proses delivery, bisa jadi pengirimannya salah alamat, bisa jadi sampai ke rumah anda barangnya rusak, bisa jadi perusahaan pengirimannya (pengapalan) misalnya kecelakaan, dirampok oleh bajak laut atau tenggelam sehingga anda gagal mendapatkan barang. 

Ketika anda sebagai penjual gagal mendapatkan barang, anda pun akan gagal menyerahkan barang yang anda jual. Padahal bisa jadi setelah transaksi anda mendapatkan pembayaran bahkan tunai, atau mungkin hanya DP (uang muka). Intinya menjual kembali barang belum anda terima ini menjadikan akad anda, akad yang gambling (tidak ada kepastian hak dan kewajiaban).

Anda tidak bisa memberikan jaminan bahwa anda mampu menyerahkan barang sebagaimana pembeli juga tidak mendapatkan kepastian bahwa dia akan mendapatkan barang yang dia beli. 

Walaupun secara hukum, ketika anda telah melakukan satu transaksi. Apalagi sudah sampai pada level pembayaran lunas misalnya. Barang tersebut secara sah hukumnya telah menjadi milik anda, namun lagi-lagi, walaupun itu sudah sah menjadi milik anda. anda belum bisa memiliki kepastian bahwa anda betul-betul bisa mendapatkan barang tersebut. 

Kalau anda saja belum bisa mendapatkan kepastian akan mendapatkan barang tersebut, masih ada potensi gagal mendapatkan barang, maka mana mungkin anda bisa memberikan kepastian (jaminan) kepada pembeli, bahwa pembeli akan bisa mendapatkan barang dari anda. 

Kalau terjadi gambling semacam ini, ketidakpastian, maka ini membuka celah yang sangat lebar terjadinya praktek memakan harta saudaranya dengan cara-cara yang bathil. Karena ketika anda gagal mendapatkan barang maka anda juga akan gagal memberikan barang tersebut kepada pembeli anda. 

Padahal bisa jadi anda sudah memakan pembayaran dari pembeli tersebut, dari customer anda tersebut. Maka ini bisa jadi praktek memakan harta saudaranya sendiri dengan cara-cara yang tidak syar’i. 

Hal ini sejalan dengan hadits, yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah ibnu Umar dan yang lainnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang kita menjual kembali barang yang sudah kita beli sampai barang tersebut betul-betul kita terima dan kita pindahkan dari tempat penjual. 

Kita belum boleh menjual barang tersebut selama barang itu masih berada di toko (masih berada di tempat penjual pertama) sampai barang itu betul-betul kita bawa ke luar dari toko kita pindahkan tempat, yang tempat tersebut di luar tanggungjawab penjual pertama.

Sehingga ketika anda sudah mendapatkan barang dari penjual berarti anda telah memiliki kepastian yang tetap (yang berkekuatan hukum) memiliki kewenangan untuk melakukan penjualan kembali. 

Apalagi anda ingat bahwa selama barang, selama anda masih satu majelis dengan penjual, maka masih ada peluang gagal mendapatkan barang, karena penjual memiliki hak khiyar majelis, anda sudah membeli, anda sudah menerima barang tersebut, tapi ketika anda masih berada di satu majelis bisa jadi penjual menyesal dan melakukan pembatalan.

Kalau ternyata penjual pertama melakukan pembatalan padahal anda telah menjual barang tersebut kepada orang lain, maka akan terjadi kekacauan. Makanya anda tidak boleh menjual walaupun itu sudah sah menjadi milik anda sampai betul-betul barang itu inkrah (berkekuatan hukum final) telah menjadi milik anda.

Alasan kedua menjual kembali barang yang belum diterima. Apalagi anda menjualnya di tempat penjual pertama. Setelah anda membeli, melakukan pembayaran di toko tersebut, anda kemudian melakukan transaksi kepada orang lain. Praktek semacam ini membuka celah yang sangat lebar terjadinya praktek riba, kenapa?

Anda bisa bayangkan, kalau anda berada di suatu toko, mungkin toko grosir, mungkin dia depo, gudang atau agen, distributor. Anda membeli, anda sudah melakukan pembayaran, barang masih berada di gudang penjual. Kemudian datang orang membeli barang itu kepada anda, padahal dia tahu bahwa anda membeli barang di tempat ini. 

Secara logika patut kita pertanyakan mengapa pembeli kedua tidak langsung membeli kepada agennya? Tidak langsung membeli kepada penjual yang menjual barang tersebut, kenapa dia harus membeli barang dari anda? Tidak langsung kepada tangan pertama padahal dia tahu barang itu ada di toko ini. 

Bahkan mungkin anda telah menyampaikan kepada dia bahwa kalau dia sudah deal, anda hanya memberikan surat kuasa untuk serah terima barang dari siapa? dari penjual pertama. Kenapa orang tersebut mau? padahal dia bisa langsung membeli tidak ada yang menghalangi. Ini menimbulkan satu kecurigaan, biasanya orang yang mau membeli dari tangan kedua padahal dia tahu siapa penjual pertama, siapa agennya, siapa distributornya, dimana, berapa harganya. 

Namun dia memilih membeli dari anda itu pasti ada satu alasan. Ada sebab dan biasanya, sebabnya itu adalah karena dia tidak bisa, tidak mampu melakukan pembayaran tunai karena biasanya agen, distributor itu hanya mau melayani penjulan dengan pembayaran tunai.

Sehingga pembeli kedua ini rela membeli dari anda, karena biasanya anda mau menjualnya dengan pembayaran dicicil, berjangka, cicilannya lunak dengan bunga yang ringan misalnya. Ini biasanya demikian. 

Sehingga kalau kita camkan lebih dalam pada hakikatnya anda hanya sebatas nalangi pembayaran orang kedua tersebut, pembeli kedua tersebut kepada depo, kepada agen, atau kepada distributor, karena anda tidak pernah pegang barang, anda tidak pernah memiliki secara inkrah tidak pernah memiliki barang, anda hanya statusnya saja. Atau kalaupun anda berkata, “Pembeli costumer saya dia bisa melakukan pembayaran tunai bahkan punya, mungkin namun itu kasuistik (kasus langka).”

Dan anda juga bisa bayangkan bisa jadi costumer anda tadi setelah menjalin akad jual beli dengan anda dengan pembayaran berjangka satu bulan misalnya, bisa jadi pembeli kedua itu menjual kembali kepada pembeli ketiga. Barang tidak pernah keluar dari agen atau dari toko, dijual kepada orang ketiga dengan nilai jual yang lebih besar, tempo pembayaran yang lebih pendek. Demikian seterusnya sehingga terjadi mata rantai riba karena hutang menghutangi dan berbunga.

Tentu praktek-praktek semacam ini hanya menjadi benalu (menjadi beban) bagi mata rantai ekonomi masyarakat. Karena itu islam mencegah terjadi praktek-praktek semacam ini. Karena ini hanya membebani perekonomian masyarakat, meningkatkan harga jual tanpa ada manfaat yang berarti. 

Tetapi ketika anda membeli barang kemudian anda bawa pulang, anda angkut terlebih dahulu ke toko anda, ke rumah anda, baru anda jual kembali dengan ketentuan anda mengambil keuntungan, maka praktek jual beli semacam ini adalah praktek jual beli yang sehat. 

Karena ketika anda membeli anda melakukan aktivitas ekonomi dan membuka lapangan ekonomi. Karena ketika anda membeli anda pasti butuh kuli untuk angkut, transportasi untuk angkut barang dan anda ketika mengangkut barang ke rumah anda, anda menanggung resiko dari perpindahan barang tersebut. 

Sampai rumah anda mungkin dirusakkan anak anda, atau mungkin ketika di rumah anda kehujanan atau yang lainnya. Intinya anda menanggung resiko dari memiliki barang. 

Kesanggupan anda menanggung resiko karena sebagai pemilik barang ini secara aturan syari’at (secara hukum syari’at) itu diapresiasi (diakui) secara syari’at sebagai sebuah aktivitas ekonomi yang layak untuk anda akomodir (pertimbangkan) sehingga anda mendapatkan keuntungan (menaikan harga).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

Keuntungan itu halal untuk didapatkan oleh orang yang sanggup (berkewajiban) menanggung kerugian (karena dia berstatus sebagai pemilik).

Ketika anda membeli, barang itu sudah anda terima, anda bawa pulang maka anda berkewajiban menanggung resiko barang. Kenapa berkewajiban menanggung resiko barang? Karena anda sebagai pemilik. Barang itu telah menjadi milik anda (anda beli). 

Kesanggupan untuk menanggung resiko tersebut secara hukum syariat itu sudah diapresiasi dengan diijinkannya anda memungut keuntungan dari barang itu. Karena sebagaimana kalau terjadi kerugian anda menanggung resiko, maka kalau ada keuntungan maka anda boleh mendapatkan keuntungan tersebut.

Dan ini berlaku pada semua barang bukan hanya bahan makanan, semua barang yang diperdagangkan, yang dijualbelikan tidak boleh untuk anda jual kembali setelah anda beli walaupun anda sudah lunas pembayarannya. Walaupun penjual pertama mengijinkan, tetap tidak boleh dijual kembali sampai betul-betul barang itu anda terima, menjadi tanggung jawab anda. Kerusakan dan resiko barang betul-betul penjual pertama telah berlepas tangan, cacat barang, kerugian barang, kerusakan barang sepenuhnya menjadi tanggungjawab anda.

Saat itulah anda halal untuk mendapatkan keuntungan sebagai kompensasi atas resiko usaha, resiko sebagai pemilik barang. Karena kalau anda ingin menjadi seorang pedagang tanpa resiko maka Islam tidak memiliki ruang untuk mengakomodir keinginan anda tersebut. 

Yang namanya perdagangan pasti ada resiko. Ketika anda tidak sanggup, tidak siap untuk menanggung resiko maka yang terjadi adalah praktek riba. anda hanya melakukan pembiayaan saja.

Dan kalau yang anda lakukan hanya pembiayaan (nalangi) memberikan talangan pembayaran maka keuntungan yang anda dapatkan itu pasti riba.

Abdullah Ibnu Abbas ketika ditanya tentang masalah ini, mengapa nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang kita menjual barang dagangan menjual barang yang sudah kita beli dan kala itu dalam riwayat Abdullah Ibnu Abbas  beliau hanya mengetahui larangan yang berkaitan dengan bahan makanan yang sudah dibeli dan sebelum diterima.

Ketika beliau ditanya alasan mengapa kita tidak boleh menjual kembali bahan makanan yang sudah kita beli padahal itu sah menjadi milik kita sampai barang itu kita terima dan barang menjadi tanggungan kita. 

Beliau mengatakan,

)ألا ترى( الدرهم بالدرهم والطعام مرجأ

Tidakkah engkau lihat sebetulnya praktek terjadi adalah adanya orang yang barter uang dengan uang, dirham dengan dirham kemudian ada keuntungan sedangkan bahan makanan yang dijadikan obyek itu tertunda. 

Karena prakteknya bisa jadi anda membeli satu kwintal gabah, satu kwintal beras, berasnya masih di distributor. Sudah anda jual kepada orang kedua, barang masih berada di distributor, kemudian orang kedua dijual lagi pada orang ketiga barang tetap di distributor. Orang ketiga jual lagi kepada orang keempat barang tetap masih berada di distributor, demikian seterusnya. 

Apa yang terjadi? Yang terjadi adalah perputaran dirham dengan dirham, uang dengan uang. Sedangkan bahan makanan tetap berada pada penjual pertama. Dan bisa jadi orang terakhir nanti akan menjual kembali bahan makanan tersebut kepada distributor, kepada penjual pertama. 

Sehingga yang terjadi adalah perputaran uang dengan uang, dengan adanya pertambahan nilai tanpa ada barang yang diputar, tanpa ada barang yang dipindahkan ataupun jasa yang dihasilkan.

Sehingga yang terjadi adalah bubble (gelembung) ekonomi yang tentu ini tidak sehat bagi perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, islam mencegah adanya bubble semacam ini. Adanya gelembung-gelembung ekonomi semacam ini, dan itulah yang disebut dengan praktek riba. 

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang ini bukan hanya pada bahan makanan, tapi pada semua barang. Karena itu Abdullah Ibnu Abbas, walaupun hadits yang beliau riwayatkan hanya berkaitan dengan bahan makanan, namun kemudian beliau memberikan satu analisisa,

وَلَا أَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ مِثْلَهُ [HR Bukhari 2135]

وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ مِثْلَهُ [HR Muslim 1525]

Kata beliau, “Menurut pendapatku segala model barang dagangan apapun bentuknya hukumnya serupa dengan memperjualbelikan bahan makanan sebelum diserahterimakan”.

Dan ternyata hasil analisa Abdullah ibnu Abbas ini sejalan dengan riwayat hadits Abdullah Ibnu Umar yang mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

فَإِنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -نَهَى أَنْ تُبَاعَ اَلسِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ. رواه أحمد ( 5 / 191 )، وأبو داود ( 3499 )، وابن حبان ( 1120 موارد )، والحاكم ( 2 / 40 )

Hadits yang diriwayatkan oleh Zaid Ibnu Tsabit yang kemudian disampaikan kepada Abdullah Ibnu Umar, nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang kita menjual belikan barang di tempat kita membelinya sampai barang itu kita pindahkan ke tempat lain.

Suatu hari Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ketika berada di pasar beliau melakukan jual beli minyak zaitun. Kemudian setelah transaksi ada kesepakatan jualbeli kemudian setelah jualbeli ada orang yang menepuk punggungnya. Barang belum sempat dia pindahkan, barang masih berada ditempat yang sama ketika dia bertransaksi. Belum sempat dipindahkan ternyata sudah ada yang berminat untuk membelinya kembali dan memberikan keuntungan. 

فَأَعْطَانِى بِهِ رِبْحًا حَسَنًا

Kata Ibnu Umar, “dia memberiku keuntungan yang lumayan”

فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ

Ketika aku hendak menjual kembali barang tersebut kepada pembeli kedua tiba-tiba ada seorang laki yang menepuk punggungku dan mengatakan لاَ تَبِعْهُ  jangan engkau jual  فَالْتَفَتُّ  maka Abdullah Ibnu Umar segera menoleh dan ternyata yang menepuk punggung beliau adalah sahabat Zaid Ibnu Tsabit radhiyallahu ta’ala anhu.

Kemudian sahabat Zaid Ibnu Tsabit menyampaikan riwayat bahwa nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang menjual kembali barang yang sudah kita beli di tempat kita membeli sampai barang itu kita pindahkan ke tempat lain. 

Riwayat Zaid Ibnu Tsabit ini yang disampaikan Abdullah Ibnu Umar ini yang bersifat umum bukan hanya bahan makanan namun semua barang, tidak boleh dijual kembali selama barang tersebut belum dipindahkan, belum diserahterimakan masih berada ditempat penjual pertama.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini 

وبالله التوفيق و الهداية

Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A.

Leave a Comment