Zakat Fitrah Uang Atau Beras? Mana Lebih Baik?

Zakat Fitrah Uang Atau Beras?

Fatwapedia.com – Zakat fitrah atau fitri, kedua istilah ini tidak mengapa digunakan karena memiliki maksud yang sama yaitu “shadaqah wajib/zakat yang dikeluarkan ketika berbuka (berakhirnya shaum) pada bulan Ramadhan, dikeluarkannya sebelum orang-orang keluar menuju shalat ‘Iedul Fitri”. 

Meskipun istilah yang digunakan di dalam hadits adalah shadaqah/zakat fitri yang bermakna berbuka. Sedangkan istilah fitrah digunakan oleh para ulama yang berarti khilqah (kondisi penciptaan manusia) dengan tinjauan bahwa ia adalah zakat bagi setiap badan/jiwa manusia yang bertujuan untuk mensucikannya dan mengembangkan amalnya (Lihat Kifayatul Akhyar, Dar Ibnu Jauzi-Mesir, hal.184). Karena umumnya di Indonesia menggunakan istilah zakat fitrah, dalam tulisan ini, saya pun akan menggunakan istilah ini.

Berkenaan dengan jenis harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah dijelaskan di dalam hadits berikut,

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitri satu sha’ dari kurma atau sha’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘Ied) ” (HR. Bukhari, no. 1503, Muslim no.984).

Dalam riwayat lain, disebutkan dengan terdapat redaksi yang lebih umum yaitu “makanan”.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ  :كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata : “Kami mengeluarkan zakat fitri satu sha” makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering (kismis)”. (HR. Bukhari, no.1506, Muslim, no. 985).

Para ulama yang berpegang kepada zahir hadits di atas berpendapat tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan nilai harganya (qimah) atau uang. Ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Zhahiriyyah. Mereka beralasan bahwa Rasulullah ﷺ mencontohkan hanya dengan makanan, lalu makanan tersebut diperjelas lagi dengan : kurma, gandum, keju dan kismis.

Ibnu Mundzir (w.318 H) rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits di atas,

وَذٰلِكَ أَنَّ أَبَا سَعِيْدٍ أَجْمَلَ الطَّعَامَ ثُمَّ فَسَّرَهُ

“Dan hal itu karena Abu Sa’id menyebutkan makanan secara umum, kemudian menafsirkan/merincinya.”

Kemudian ia menyebutkan hadits tersebut dari jalur Hafsh bin Maisaroh,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ

Dari Abu Sa’id Al-Khudrii radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Pada zaman Nabi ﷺ kami mengeluarkan (zakat fitri) pada hari Raya ‘Iedul fitri satu sha’ dari makanan”. Dan Abu Sa’id berkata: “Dan saat itu makanan kami adalah gandum, kismis, keju dan kurma”. (HR. Bukhari, no. 1510, Fathul Bari, jilid 3, hal. 470).

Hanya saja dalam penerapannya ada perbedaan di antara mereka. Madzhab Zhahiri sama sekali tidak membolehkan mengeluarkan selain yang disebutkan dalam hadits di atas, mereka tidak mengqiyaskannya kepada makanan yang lain, karena memang mereka menolak penggunaan qiyas. Sedangkan ulama lainnya menerapkan qiyas. Maka dengan qiyas itu ditariklah ‘illat (alasan) dari makanan yang disebutkan dalam hadits di atas. 

Menurut imam Malik yaitu makanan pokok yang dominan di negerinya. Menurut imam Syafi’i makanan pokok yang mana saja yang dominan bagi seseorang. Lalu para sahabatnya berbeda pendapat kepada tiga pendapat: makanan pokok negerinya, makanan pokok si pembayar zakat, dan memilih di antara berbagai makanan pokok. Dan yang paling shahih dalam madzhabnya adalah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi. (Lihat Minhaj Ath-Thalibin, Dar Ibnul Jauzi-Mesir, hal.66). 

Sedangkan yang mu’tamad di dalam madzhab Hanbali adalah tidak boleh mengeluarkan selain yang disebutkan di dalam hadits, hanya saja mereka membolehkan yang semakna dengan sya’ir (gandum), yaitu bur (satu jenis gandum), daqiq (tepung dari gandum) dan sawiq (makanan yang terbuat dari gandum). Dan jika tidak menemukan hal tersebut, maka beralih kepada makanan pokok, menurut satu pendapat, atau beralih kepada yang dapat menggantikan yang ada dalam nash, menurut pendapat lainnya. Dan tidak boleh dengan biji-bijian yang sudah cacat seperti basah dan berubah aroma, dan tidak boleh pula dengan roti. (Lihat Al-Muqni, Maktabah As-Sawadi-Jeddah, hal. 95).

Yang dimaksud denganالقُوْتُ  (makanan pokok) sebagaimana dikatakan oleh Al-Jauhari adalah :

هُوَ مَا يَقُوْمُ بِهِ بَدَنُ الْإِنْسَانِ مِنَ الطَّعَامِ

“Yaitu sesuatu yang dapat membuat tegaknya badan manusia dari makanan” (Ash-Shihah Tajul Lughah wa Shihahul ‘Arabiyyah, Beirut : Dar Al-Ilmi Al-Malayin, cet.2, hal.261).

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (w.620 H) rahimahullah, ulama besar dalam madzhab Hanbali berkata :

وَلَنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَجْنَاسًا مَعْدُوْدَةً فَلَمْ يَجُزِ الْعُدُوْلُ عَنْهَا كَمَا لَوْ أَخْرَجَ الْقِيْمَةَ وَذٰلِكَ لِأَنَّ ذِكْرَ الْأَجْنَاسِ بَعْدَ ذِكْرِهِ الْفَرْضَ تَفْسِيْرٌ لِلْمَفْرُوْضِ فَمَا أُضِيْفَ إِلَى الْمُفَسَّرِ يَتَعَلَّقُ بِالتَّفْسِيْرِ فَتَكُوْنُ هٰذِهِ الْأَجْنَاسُ مَفْرُوْضَةً فَيَتَعَيَّنُ الإِخْرَاجُ مِنْهَا وَلِأَنَّهُ إِذَا أَخْرَجَ غَيْرَهَا عَدَلَ عَنِ الْمَنْصُوْصِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ

“Dan menurut kamu, bahwa Nabi ﷺ telah mewajibkan zakat fitrah berupa jenis-jenis yang telah terbatas. Maka tidak  boleh berpaling darinya, seperti kalau seorang mengeluarkan nilai dari zakat itu. Karena sesungguhnya penyebutan beberapa jenis setelah sebelumnya menyebutkan suatu perkara yang wajib, merupakan tafsir dari sesuatu yang diwajibkan tersebut. Maka apa yang disandarkan kepada sesuatu yang ditafsiri, berkaitan dengan tafsir. Maka beberapa jenis ini merupakan perkara yang wajib dan ditetapkanlah untuk mengeluarkan darinya. Karena kalau dia mengeluarkan selainnya, maka dia telah berpaling dari dalil-dalil yang menunjukkan atasnya, maka ini tidak boleh.” (Al-Mughni, Dar Alam Al-Kutub-Riyadh, Jilid 4, hal.293).

Imam Nawawi (w.676 H) rahimahullah, ulama besar dalam madzhab Syafi’i berkata:

أَنَّهُ ذَكَرَ أَشْيَاءَ قِيَمُهَا مُخْتَلِفَةٌ وَأَوْجَبَ فِي كُلِّ نَوْعٍ مِنْهَا صَاعًا، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُعْتَبَرَ صَاعٌ لَا نَظْرَ إِلَى قِيْمَتِهِ

“Bahwa Nabi ﷺ menyebutkan beberapa hal yang nilainya berbeda-beda dan mewajibkan pada setiap macamnya satu sha’, maka ini menunjukkan bahwa yang dianggap adalah satu sha’nya tanpa melihat kepada nilainya.” (Syarah Shahih Muslim, Muassasah Qurtubah, Juz 7, hal.84).

Sedangkan yang membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan nilai harganya (qimah) atau uang adalah madzhab Hanafi.

Imam Nawawi (w.676 H) rahimahullah berkata :

وَلَمْ يُجِزْ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ إِخْرَاجَ الْقِيْمَةِ وَأَجَازَهُ أَبُو حَنِيْفَةَ

“Mayoritas ahli fiqih tidak membolehkan mengeluarkan qimah (nilai harga) dan Abu Hanifah membolehkannya.” (Syarah Shahih Muslim, Muassasah Qurtubah, Juz 7, hal.85).

Al-Maushili (w.683 H) salah seorang ulama Hanafiah berkata di dalam matan Al-Mukhtar, ia merupakan matan mu’tamad di dalam madzhab Hanafi :

وَهِيَ نِصْفُ صَاعٍ مِنَ بُرٍّ أَوْ دَقِيْقِهِ أَوْ صَاعُ شَعِيْرٍ أَوْ دَقِيْقِهِ أَوْ تَمْرٍ أَوْ زَبِيْبٍ أَوْ قِيْمَةُ ذٰلِكَ

“Dan dia (jenis zakat fitri) adalah setengah sha dari bur (satu jenis gandum) atau tepungnya, atau satu sha’ sya’ir (satu jenis gandum) atau tepungnya, atau kurma, atau kismis, atau nilai harga dari itu semua.” (Al-Ikhtiyar li Ta’lil Al-Mukhtar, Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah-Damaskus, Jilid 1, hal.389).

Al-Maushili kemudian mengemukakan dalil-dalil dibolehkannya mengeluarkan zakat dengan nilai harganya (qimah) atau uang secara umum, dan hal itu berlaku pula untuk zakat fitrah. (Lihat Al-Ikhtiyar li Ta’lil Al-Mukhtar, Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah-Damaskus, Jilid 1, hal.338-339). Berikut ini saya kemukakan empat dalil yang disebutkan oleh Al-Maushili disertai dengan tambahan penjelasan :

Pertama, asal perintah pengambilan zakat yang disebutkan di dalam ayat adalah harta, dan uang termasuk harta, bahkan para ulama menyebut bahwa asal makna dari mal (harta) adalah emas dan perak (uang), sedangkan penggunaan untuk selainnya dalam bentuk majaz (kiasan).

 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah dari harta-harta mereka sebagai shadaqah (zakat).” (QS. At-Taubah : 103).

Ini adalah nash yang jelas. Maksudnya, harta yang diambil dari mereka dari jenis apa saja, maka ia adalah shadaqah/zakat. Qimah atau uang adalah bagian dari harta.

Kedua, Rasulullah ﷺ pernah menyetujui penukaran satu jenis harta yang wajib dikeluarkan sebagai zakat dengan jenis lain, yaitu dua unta kecil dengan satu unta besar. Ini menunjukkan bahwa jenis harta yang dikeluarkan sebagai zakat itu bukanlah pembatasan, buktinya boleh diganti dengan yang lain. Penukaran ini dilakukan tiada lain karena meninjau kepada nilai harganya. Namun, hadits yang disebutkan di sini dhaif.

عَنِ الصُّنَابِحِ الْأَحْمَسِي قَالَ : أَبْصَرَ النَّبِيُّ ﷺ ناقةً حسنةً في إبلِ الصَّدقةِ فقالَ مَا هٰذِهِ النَّاقةُ ؟ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إنِّي اِرْتَجَعْتُهَا بِبَعِيْرَيْنِ مِنْ حَوَاشِي الْإِبِلِ قَالَ فَنِعْمَ إِذَنْ

Dari Ash-Shunabih Al-Ahmasi radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Nabi ﷺ melihat unta yang bagus (besar) pada unta shadaqah. Lalu beliau bertanya, “Unta apa ini?” Maka ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menjadikannya sebagai pengganti dari dua unta yang kecil. Beliau bersabda : “Bagus kalau begitu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, kitab Al-Buyu wal Aqdhiyyah, bab ke 49 “Fil ‘Abdi bil ‘abdain wal ba’ir bil ba’iroin, no.20802 (tahqiq Abu Muhammad Usamah bin Ibrahim bin Muhammad) penerbit Al-Faruq Al-Haditsah-Kairo, cetakan 1 tahun 2008, jilid 7, hal. 151.

Juga oleh Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra dalam kitab Az-Zakat, bab “Man ajaza akhdzal qiyam fiz zakawat” (Orang yang membolehkan mengambil nilai harga di dalam zakat), penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah-Beirut, cetakan 3 tahun 2003, no. 7374 (tahqiq Muhammad Abdul Qadir Atha), jilid 4, hal. 190.

Kata “irtija’” di dalam zakat maknanya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Atsir, adalah : “Apabila seorang pemilik harta yang dikenai kewajiban zakat terhadap untanya pada usia tertentu, lalu ia mengambil unta lain yang usianya berbeda untuk menggantikan posisinya.” (An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, hal. 348).

Hadits ini jelas membolehkan membayarkan zakat dengan nilai harganya, karena mengganti dua unta dengan satu unta itu tentu dengan melihat kepada nilai harganya.

Namun hadits ini dhaif karena di dalam sanadnya terdapat Mujalid bin Sa’id, ia didhaifkan oleh para ahli hadits. Wallahu A’lam.

Ketiga, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu sebagai sahabat yang dipercaya oleh Rasulullah ﷺ mengambil zakat di Yaman, ia mengambil barang-barang sebagai zakat, yaitu pakaian khamis dan lainnya sebagai pengganti dari gandum dan kurma, karena hal itu lebih mudah mereka keluarkan dan lebih baik bagi para sahabat di Madinah. Ini menunjukkan Mu’adz mengambil nilai harga dari suatu jenis zakat, tidak terpaku kepada jenisnya. Rasulullah ﷺ tidak mengingkari apa yang dilakukan Mu’adz, menunjukkan bahwa beliau menyetujuinya.

وَقَالَ طَاوُوْسُ : قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لِأَهْلِ الْيَمَنِ اِئْتُوْنِي بِعَرْضِ ثِيَابِ خَمِيْصٍ أَوْ لَبِيْسٍ فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيْرِ وَالذُّرَّةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ

“Dan Thawus berkata : Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berkata kepada penduduk Yaman, “Datangkanlah kepadaku barang baju khamis atau pakaian apapun dalam shadaqah (zakat) sebagai pengganti dari gandum dan jagung. Karena hal itu lebih mudah atas kalian dan lebih baik bagi sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ di Madinah.”

Atsar ini dicantumkan oleh imam Bukhari di dalam shahihnya secara mu’allaq (tanpa disebutkan sanadnya) di dalam kitab zakat, bab Al-’Ardh fiz Zakat (Barang selain emas dan perak dalam zakat), maksudnya adalah bolehnya mengeluarkan zakat dengannya. Riwayat mu’allaq ini sanadnya shahih sampai ke Thawus. Namun Thowus tidak mendengar dari Mu’adz bin Jabal. Oleh karena itu, sanadnya munqathi’ (terputus). Walaupun imam Bukhari dalam membawakan riwayat ini dengan shighah jazm (secara memastikan, dengan lafazh “berkata” atau “meriwayatkan”, tidak dengan “dikatakan” atau “diriwayatkan”). Hal itu menunjukkan shahih menurut kebiasaannya. Namun maksudnya di sini shahih sampai kepada Thawus, adapun dari Thawus ke Mu’adz terputus, karena memang tidaklah Thawus lahir kecuali setelah wafatnya Mu’adz.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata :

إِلَّا أَنَّ إِيْرَادَهُ لَهُ فِي مَعْرِضِ الْاِحْتِجَاجِ بِهِ يَقْتَضِي قُوَّتَهُ عِنْدَهُ، وَكَأَنَّهُ عَضَدَهُ عِنْدَهُ الأَحَادِيْثُ الَّتِي ذَكَرَهَا فِي الْبَابِ

“Hanya saja ia (imam Bukhari) mencantumkan atsar tersebut di dalamnya dalam rangka berhujjah dengannya menuntut kuatnya ia di sisinya. Dan seakan-akan hadits-hadits yang ia sebutkan di dalam bab tersebut menguatkannya di sisinya.”

Hal ini jelas menunjukkan bahwa imam Bukhari memilih pendapat bolehnya mengeluarkan zakat dengan nilai harganya (qimah). Oleh karena itu Ibnu Rasyid berkata : “Al-Bukhari sesuai dengan Hanafiah dalam permasalahan ini meskipun ia banyak berbeda dengan mereka. Tetapi yang mengarahkan kepada hal itu adalah dalil.”

Selain itu, atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dalam mushannafnya pada kitab zakat bab “Ma qaaluu fii akhdzi al-‘urudh fii ash-shadaqah” (Apa yang mereka katakan dalam mengambil barang-barang dalam shadaqah/zakat), juga oleh Yahya bin Adam dalam kitab Al-Kharrajnya pada bab “Man qaala ash-shadaqah fil hinthah wasy sya’ir wat tamar waz zabib khashah” (orang yang berkata : shadaqah itu khusus pada hinthah, sya’ir, kurma dan kismis) hadits no.525 dan 526. (Lihat Fathul Bari, jilid 3, hal.393-394)

Berkenaan dengan atsar ini, Syekh Yusuf Al-Qardhawi hafizhahullah berkata : “Thawus, meskipun ia tidak bertemu dengan Mu’adz, tetapi ia mengetahui terhadap perihalnya dan biografi hidupnya, sebagaimana dikatakan oleh imam Asy-Syafi’i. Thawus adalah imam di Yaman pada masa tabi’in, ia memiliki ilmu terhadap keadaan dan kabar tentangnya. Dan masanya pun dekat.” (Fiqh Az-Zakat, hal. 807). Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :

وَطَاوُسُ عَالِمٌ بِأَمْرِ مُعَاذٍ، وَإِنْ كَانَ لَمْ يَلْقَهُ، عَلَى كَثْرَةِ مَنْ لَقِيَ مِمَّنْ أَدْرَكَ مُعَاذًا مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فِيْمَا عَلِمْتُ  

“Dan Thawus mengetahui perihal Mu’adz meskipun ia tidak bertemu dengannya, karena ia banyak bertemu dengan orang-orang yang mengenal Mu’adz dari penduduk Yaman, sepanjang yang aku tahu.” (Al-Umm, jilid 2, hal. 22).

Keempat, Al-Maushili menyebutkan bahwa fiqih dalam masalah zakat fitrah ini adalah memahami tujuannya yaitu memberikan rezeki yang dijanjikan kepada fakir miskin. Dan hal itu telah terealisasi (dengan diberikannya nilai harganya). Baca juga: Doa membayar dan menerima zakat 

Hal ini dapat dipahami dari syari’at diwajibkannya zakat sebagaimana dalam pesan Rasulullah ﷺ kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat ia diutus ke Yaman, beliau bersabda :

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) pada harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (HR. Bukhari, no.1359).

Zakat fitrah pun jelas tujuan dan hikmahnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan fakir miskin pada hari raya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : “Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang shaum dan sebagai makanna bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat (‘ied) maka dia adalah zakat yang diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat (‘ied), maka ia termasuk shadaqah biasa.” (HR. Abu Dawud, kitab zakat, bab zakat al-fithr, no. 1609 dan Ibnu Majah, kitab zakat, bab zakat al-fithr, no. 1827).

Adapun hadits dengan ada tambahan lafazh :

اُغْنُوْهُمْ عَنْ طَوَافِ هٰذَا الْيَوْمِ

“Cukupkanlah mereka dari berkeliling (meminta-minta) pada hari ini (‘iedul fitri).”

Ini terdapat di antaranya di dalam As-Sunan Al-Kubro Al-Baihaqi, kitab zakat, bab waqt ikhraj zakat al-fithr, no. 7739.

Haditsnya dhaif, karena di dalam sanadnya terdapat Abu Ma’shar Najih bin Abdurrahman As-Sindi, ia dhaif, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar. (Lihat Fathul Bari, jilid 3, hal. 473)

Selain empat dalil yang disebutkan oleh Al-Maushili di atas, masih ada dalil-dalil lain yaitu :

Kelima, Nabi ﷺ pernah membolehkan Khalid untuk membuat perhitungan bagi dirinya terhadap hartanya yang terkena kewajiban zakat. Lalu ia mengeluarkannya dalam bentuk senjata dan alat perang untuk fi sabilillah. Ini menunjukkan bahwa beliau membolehkan mengeluarkan nilai harga dalam zakat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَعَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ وَمِثْلُهَا مَعَهَا

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menunaikan shadaqah (zakat). Lalu dikatakan kepada beliau bahwa Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan ‘Abbas bin ‘Abdil-Muthalib tidak mau mengeluarkan zakat. Maka Nabi ﷺ bersabda : “Tidaklah Ibnu Jamil enggan mengeluarkan zakatnya sebab dahulunya dia faqir lalu Allah dan Rasul-Nya menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sungguh kalian telah menzhalimi Khalid, karena dia telah mewaqafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk di jalan Allah. Adapun ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib dia adalah paman Rasulullah ﷺ, namun demikian dia tetap wajib berzakat dan yang semisalnya selain itu”. (HR. Bukhari, no. 1468).

Hadits ini merupakan dalil yang dijadikan hujjah oleh imam Bukhari yang menunjukkan bolehnya mengeluarkan barang-barang (nilai harga) di dalam zakat, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Secara lengkapnya hadits ini dicantumkan dalam kitab zakat bab firman Allah Ta’ala “wafir riqob wal gharimina wafii sabilillah”.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata :

وَاسْتَدَلَّ بِقِصَّةِ خَالِدٍ عَلَى جَوَازِ إِخْرَاجِ مَالِ الزَّكَاةِ فِي شِرَاءِ السِّلَاحِ وَغَيْرِهِ مِنْ آلَاتِ الْحَرْبِ وَالْإِعَانَةِ بِهَا فِي سَبِيْلِ اللهِ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَجَازَ لِخَالِدٍ أَنْ يُحَاسِبَ نَفْسَهُ بِمَا حَبَسَهُ فِيْمَا يَجِبُ عَلَيْهِ كَمَا سَبَقَ وَهِيَ طَرِيْقَةُ الْبُخَارِي

“Dan ia (imam Bukhari) berdalil dengan kisah Khalid atas bolehnya mengeluarkan harta zakat dalam membeli senjata dan lainnya dari alat-alat perang dan menjadinnya untuk membantu di jalan Allah karena Nabi ﷺ membolehkan Khalid membuat perhitungan bagi dirinya terhadap harta yang dia simpan yang terkena kewajiban zakat, sebagaimana telah terdahulu dan ini merupakan metode Bukhari.” (Fathul Bari, jilid 3, hal.421).

Keenam, dalam surat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang berisi ketentuan zakat yang sesuai dengan perintah Allah dan rasul-Nya terdapat ketentuan jika tidak memiliki jenis hewan yang wajib dikeluarkan sebagai zakat maka boleh diganti dengan jenis lain disertai dengan tambahan uang yang senilai dengan harganya. Ini menunjukkan bolehnya mengeluarkan zakat dengan uang.

عَنْ ثُمَامَةَ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ

Dari Tsumamah, bahwasannya Anas radliyallaahu ‘anhu telah menceritakan kepadanya : Bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ﷺ, yaitu : “Barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah; maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah sedangkan dia tidak memiliki hiqqah namun dia memiliki jadza’ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun; maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadl; maka diterima zakat darinya berupa bintu makhadl, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing”. (HR. Bukhari, no. 1453).

Ketujuh, perkataan dan pengamalan para sahabat dan tabi’in yang menunjukkan bolehnya mengeluarkan zakat dengan nilai harganya atau uang.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengambil ‘urudh (barang-barang yang senilai) dalam shadaqah.

عَنْ عَطَاءَ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَأْخُذُ الْعُرُوْضَ فِي الصَّدَقَةِ مِنَ الدَّرَاهِمِ

Dari ‘Atha, ia berkata : “Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengambil ‘urudh (barang yang senilai) dalam shadaqah, yaitu berupa dirham-dirham.”

(Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, jilid 4, hal. 296, dan disebutkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, pada kitab zakat bab “Ma qaaluu fii akhdzi al-‘urudh fii ash-shadaqah” (Apa yang mereka katakan dalam mengambil barang-barang dalam shadaqah/zakat), hadits no. 10534).

Dalam konteks zakat fitrah, ketika tersebar gandum yang kualitasnya lebih tinggi dan harganya lebih mahal yang disebut dengan hinthah atau burr atau qamh, Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya memilih untuk mengeluarkannya dengan ukuran setengah sha’ karena nilainya sebanding dengan satu sha’ gandum dan kurma yang telah ada sebelumnya. Ini tiada lain dilakukan karena mereka memandang bolehnya mengeluarkan nilai harga di dalam zakat, termasuk zakat fitrah. Ibnu Mundzir berkata, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar, “Kami tidak mengetahui dalam masalah “qamh” adanya berita yang kuat dari Nabi ﷺ  yang bisa dijadikan pegangan. Tidak ada “burr” itu di Madinah pada saat itu kecuali sedikit saja. Maka ketika ia banyak di zaman sahabat, mereka memandang bahwa setengah sha’ darinya menyamai satu sha’ dari sya’ir (gandum yang biasa). Mereka adalah para imam. Maka tidak boleh berpaling dari pendapat mereka, kecuali kepada pendapat yang semisal dengan pendapat mereka.” Kemudian Ibnu Mundzir menyebutkan sanad kepada Utsman, Ali, Abu Hurairah, Ibnu Zubair dan ibunya; Asma binti Abi Bakr dengan sanad yang shahih, bahwa mereka memandang bahwa zakat fitrah itu setengah sha dari qamh.” (Fathul Bari, jilid 3, hal.471).

Ath-Thahawi meriwayatkan di dalam kitabnya, Syarh Ma’ani Al-Atsar :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ، أَنَّ أَبَاهُ سَأَلَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ مَمْلُوكٌ، فَهَلْ فِي مَالِي زَكَاةٌ ؟ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : إِنَّمَا زَكَاتُكَ عَلَى سَيِّدِكَ، أَنْ يُؤَدِّيَ عَنْكَ عِنْدَ كُلِّ فِطْر، صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ تَمْرٍ، أَوْ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ

Dari Abdullah bin Nafi’, bahwa ayahnya bertanya kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Sesungguhnya aku ini seorang hamba sahaya, apakah ada kewajiban zakat dalam hartaku? Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata : “Zakatmu hanyalah kewajiban tuanmu, hendaklah dia menunaikan darimu pada setiap fitri satu sha’ dari sya’ir, atau kurma, atau setengah sha’ dari burr.” (Syarh Ma’ani Al-Atsar, kitab zakat, bab Miqdar shadaqah Al-Fithr, no. 3134).

عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ خَطَبَهُمْ فَقَالَ : أَدُّوا زَكَاةَ الْفِطْرِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ

Dari Utsman radhiyallahu bahwa ia berkhutbah kepada mereka, ia berkata : “Tunaikanlah zakat fitrah dengan dua mud (setengah sha’) dari hinthah”.  (Syarh Ma’ani Al-Atsar, kitab zakat, bab Miqdar shadaqah Al-Fithr, no. 3137).

Riwayat Thahawi ini dinukil juga oleh Ibnu Hajar (Fathul Bari, jilid 3, hal.469).

Begitu pula Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pada zamannya ia menerapkan setengah sha’ terhadap gandum yang ia bawa dari Syam yang disebut dengan as-Samro yang termasuk hinthah atau burr. Sebagaimana di dalam Shahih Bukhari disebutkan :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum”. Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Kemudian orang-orang menyamakannya dengan dua mud (setengah sha’) dari hinthah”. (HR. Bukhari, no.1507).

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ فَلَمَّا جَاءَ مُعَاوِيَةُ وَجَاءَتْ السَّمْرَاءُ قَالَ أُرَى مُدًّا مِنْ هَذَا يَعْدِلُ مُدَّيْنِ

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada zaman Nabi ﷺ kami memberikan zakat fitrah dalam bentuk satu sha’ dari makanan atau satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atau satu sha’ dari kismis (anggur kering). Ketika Mu’awiyah datang (untuk melaksanakanhaji) dan gandum dari negeri Syam, dia berkata: “Aku menganggap satu mud ini sama dengan dua mud (gandum negeri Syam) “. (HR. Bukhari, no. 1508).

Ketika Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu datang ke Madinah dalam rangka melaksanakan haji atau umroh sambil membawa gandum Syam yang disebut dengan as-samro, pada saat itu ia sebagai khalifah, ia menyampaikan kepada orang-orang di atas mimbar : “Saya memandang dua mud (setengah sha’) dari samro Syam itu sebanding dengan satu sha’ kurma.”

Namun ijtihad Mu’awiyyah ini tidak diterima oleh seluruh rakyatnya, khususnya para ulama dari kalangan sahabat, yaitu Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhum.

Abu Sa’id Al-Khudri berkata : “Adapun saya, saya tidak akan mengeluarkannya selamanya selama hidupku”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Saya tidak akan mengeluarkannya kecuali dengan ukuran yang pernah aku keluarkan pada zaman Rasulullah ﷺ”. Juga disebutkan, “Saya tidak akan mengeluarkannya kecuali satu sha’”. Ketika ia ditanya tentang ukuran dua mud qamh, ia menjawab : “Tidak, itu adalah qimah (nilai harganya) Mua’awiyyah. Aku tidak menerimanya dan tidak beramal dengannya.” (Fathul Bari, jilid 3, hal.471-472).

Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dalam kitab zakat bab Fii i’tha ad-darohim fiz zakat (tentang memberikan dirham dalam zakat) disebutkan beberapa pendapat dan pengamalan dari tabi’in. Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، قَالَ: سَمِعْتُ كِتَابَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ يُقْرَأُ إِلَى عَدِيٍّ بِالْبَصْرَةِ يُؤْخَذُ مِنْ أَهْلِ الدِّيوَانِ مِنْ أَعْطِيَّاتِهِمْ، عَنْ كُلِّ إِنْسَانٍ نِصْفُ دِرْهَمٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Ibnu ‘Aun, ia berkata : “Aku mendengar surat Umar bin Abdul ‘Aziz dibacakan kepada Adi di Bashrah, “Diambil dari penduduk Diwan dari hadiah pemberian mereka, dari setiap orang setengah dirham.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 10464).

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ قُرَّةَ، قَال : جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ نِصْفُ صَاعٍ عَنْ كُلِّ إِنْسَانٍ أَوْ قِيمَتُهُ نِصْفُ دِرْهَمٍ

Telah menceritakan kepada kami Waqi’ dari Qurrah, ia berkata : “Telah datang kepada kami surat Umar bin Abdul ‘Aziz dalam shadaqah fitri yaitu setengah sha’ dari setiap orang atau nilai harganya yaitu setengah dirham. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 10465).

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ : لَا بَأْسَ أَنْ تُعْطِيَ الدَّرَاهِمَ فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ

Telah menceritakan kepada kami Waqi’ dari Hisyam dari Hasan (Al-Bashri), ia berkata : “Tidak mengapa untuk diberikan dirham-dirham dalam shadaqah fitri.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 10466).

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ زُهَيْرٍ، قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ، يَقُولُ : أَدْرَكْتُهُمْ وَهُمْ يُعْطُونَ فِي صَدَقَةِ رَمَضَانَ الدَّرَاهِمَ بِقِيمَةِ الطَّعَامِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Zuhair, ia berkata, Aku mendengar Abu Ishaq berkata : “Aku menjumpai mereka (para sahabat), mereka memberikan dalam shadaqah ramadhan dirham-dirham yang seharga dengan makanan.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 10467).

Berdasarkan apa yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in inilah imam Abu Hanifah menentukan besaran zakat fitrah bahwa untuk burr dikeluarkan setengah sha’ begitu juga tepungnya, sedangkan untuk sya’ir atau tepungnya, kurma dan kismis, dikeluarkan satu sha’, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Oleh karena itu, sebenarnya kebolehan mengeluarkan zakat dengan nilai harga atau uang bukan hanya pendapat imam Abu Hanifah dan madzhab Hanafi, tetapi juga merupakan ijtihad mayoritas para sahabat dan tabi’in. Juga pendapat yang dipilih oleh imam Bukhari.

Bahkan pendapat ini juga merupakan satu wajh dalam madzhab Syafi’i, satu riwayat dalam madzhab Malik dan satu riwayat dalam madzhab Hanbali. (Lihat Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, 5/429, Al-Kafi fi Fiqh Ahli Madinah, 1/323, Al-Mughni, 4/293-294, Al-Inshaf fi Ma’rifah Ar-Rajih min Al-Khilaf, 6/448-449).

Satu riwayat dari imam Ahmad inilah yang dipilih oleh imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Hanya beliau mensyaratkan kebolehannya harus disertai kemaslahatan yang lebih kuta. Ia berkata :

والأظهر في هذا‏:‏ أن إخراج القيمة لغير حاجة ولا مصلحة راجحة، ممنوع منه؛ ولهذا قَدَّر النبي صلى الله عليه وسلم الجبران بشاتين، أو عشرين درهمًا، ولم يعدل إلى القيمة؛ ولأنه متى جوز إخراج القيمة مطلقًا، فقد يعدل المالك إلى أنواع رديئة، وقد يقع في التقويم ضرر؛ ولأن الزكاة مبناها على المواساة، وهذا معتبر في قدر المال وجنسه، وأما إخراج القيمة للحاجة أو المصلحة أو العدل، فلا بأس به، مثل أن يبيع ثمر بستانه، أو زرعه بدراهم، فهنا إخراج عشر الدراهم يجزيه، ولا يكلف أن يشتري ثمرًا، أو حنطة، إذ كان قد ساوي الفقراء بنفسه، وقد نص أحمد على جواز ذلك‏.‏

ومثل أن يجب عليه شاة في خمس من الإبل، وليس عنده من يبيعه شاة، فإخراج القيمة هنا كاف، ولا يكلف السفر إلى مدينة أخري ليشتري شاة، ومثل أن يكون المستحقون للزكاة طلبوا منه إعطاء القيمة؛ لكونها أنفع، فيعطيهم إياها، أو يرى الساعي أن أخذها أنفع للفقراء، كما نقل عن معاذ بن جبل أنه كان يقول لأهل اليمن‏:‏ ائتوني بخميص، أو لبيس أسهل عليكم، وخير لمن في المدينة من المهاجرين والأنصار‏.‏

“Yang lebih nampak benar dalam permasalahan ini adalah : bahwasannya mengeluarkan (zakat) dengan nilai/harga tanpa adanya kebutuhan ataupun maslahat yang kuat adalah terlarang. Oleh karena itu, Nabi ﷺ telah menetapkan keputusan untuk zakat berupa dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan beliau tidak langsung menyetarakannya dengan nilainya/uang. Sebab, jika diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan nilainya/harganya secara mutlak, maka itu akan dapat menyebabkan pemilik harta menyamakannya dengan sesuatu yang jelek. Bahkan kadangkala hal ini menimbulkan dampak yang buruk, karena zakat dibangun atas asas memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal ini hanya dianggap jika diberikan sesuai jumlah dan jenis harta itu sendiri. Adapun mengeluarkan zakat fitrah dengan nilainya karena kebutuhan, kemaslahatan, atau keadilan, maka tidak mengapa. Misalnya (ada seseorang yang) menjual buah-buahan di kebun atau lahan pertaniannya dengan dirham. Dalam hal ini, jika orang tersebut mengeluarkan sepersepuluh (zakat pertanian) dari uang dirhamnya tersebut diperbolehkan. Ia tidak dibebani untuk membeli (dengan uang dirhamnya itu) buah-buahan atau gandum (dalam pembayaran zakatnya). Pada kondisi tersebut, orang-orang faqir telah mendapatkan kesamaan dalam zakat tersebut. Imam Ahmad telah menyatakan kebolehannya tentang hal itu.

Misalnya, seseorang yang diwajibkan padanya mengeluarkan zakat seekor kambing untuk (kepemilikan) lima ekor unta dimana pada saat itu tidak ada orang yang menjual kambing; maka membayar zakat dengan nilainya pada waktu itu diperbolehkan/mencukupi. Ia tidak dibebankan untuk bersafar ke kota lain hanya untuk membeli seekor kambing. Misal yang lain, ada beberapa orang mustahiq zakat yang meminta kepadanya agar diberikan uang. Karena dipandang lebih bermanfaat atau petugas zakat memandang memberikan uang lebih bermanfaat bagi orang-orang faqir; maka dalam hal ini diperbolehkan memberikan (zakat) dalam bentuk uang kepada mereka. Hal itu sebagaimana dinukil dari Mu’aadz bin Jabal ketika ia berkata kepada penduduk Yaman : ‘Berikanlah kepadaku baju khamiish atau pakaian lainnya, karena itu lebih mudah bagimu dan lebih baik bagi para shahabat Muhaajiriin dan Anshaar yang tinggal di Madinah”. (Majmuu’ Al-Fatawa, 25/82-83).

Memilih pendapat yang paling kuat

Dari penjelasan para ulama berkenaan dengan masalah ini, dapat saya pahami bahwa zakat itu bukanlah semata ibadah mahdhah yang murni tidak dapat dipahami oleh akal. Tetapi di dalamnnya terdapat sisi kemahdhoan seperti harta yang mana saja yang wajib dizakati, hitungan nishabnya dan juga besaran yang wajib dikeluarkannya, juga ada sisi kemaslahatan yang dapat dipahami oleh akal, untuk itulah para ulama menerapkan qiyas pada sisi tertentu dalam zakat ini.

Kemaslahatan yang kita pahami dari zakat ini adalah agar harta itu tidak berputar pada orang-orang kaya saja, juga agar terpenuhinya kebutuhan orang-orang fakir miskin dan juga mustahik zakat lainnya, sebagaimana hal itu dijelaskan di dalam syari’at. Tak terkecuali zakat fitrah. Tujuannya jelas agar orang-orang yang kekurangan itu dapat terpenuhi kebutuhannya pada hara raya ‘Iedul Fitri, karena itu adalah hari kebahagiaan dan kemenangan bagi setiap muslim.

Jika kita hanya berpaku kepada zahir apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ saja, tanpa memperhatikan terealisasinya sisi maslahat ini, maka akan banyak kemaslahatan yang terabaikan. Padahal jelas, seluruh syariat yang diturunkan oleh Allah ini tujuannya adalah untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan hal ini, tidak ada halangan bagi kita untuk memahami bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ itu adalah salah satu contoh pemenuhan kebutuhan yang sesuai di zaman beliau. Gandum, kurma, kismis dan keju adalah makanan yang paling dibutuhkan oleh kaum muslimin pada saat itu. Beliau tidak menunaikannya dengan uang, karena memang uang masih jarang ada di tangan mereka, yang paling mudah dan dekat adalah makanan itu. Disamping, sebenarnya beliau juga menyetujui pelaksanaannya dengan nilai harganya atau uang, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil yang telah dikemukakan. Hal itu tampak pada surat ketentuan zakat yang ditulis oleh Abu Bakar, persetujuan beliau terhadap apa yang dilakukan oleh Khalid dan juga Mu’adz bin Jabal di Yaman. Oleh karena itu, selepas masa beliau, ketika para sahabat menemukan hal-hal baru yang tidak ada di zaman beliau, maka mayoritas mereka dan para tabi’in, menerapkannya dengan memperhatikan nilai harganya. Jika zahir yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ itu dianggap menafikan bolehnya mengeluarkan zakat dengan nilai harganya, maka setelah diketahui kuatnya dalil bahwa beliau menyetujui pelaksanaannya dengan nilai harganya, maka menurut kaidah, yang menetapkan itu lebih didahulukan daripada yang menafikan.

Dari apa yang dikatakan oleh Mu’adz itu jelas bahwa dalam pelaksanaan zakat fitrah harus diperhatikan kemudahan bagi pemberi zakat dan kemaslahatan bagi penerimanya. Ketika makanan-makanan pada zaman Nabi itu tidak menjadi makanan pokok dan yang paling dibutuhkan di suatu negeri, maka tentu bisa dialihkan kepada yang menjadi makanan pokok dan yang paling dibutuhkan. Begitu pula, ketika menyalurkan makanan pokok itu terasa menyulitkan bagi si pemberi zakat, sedangkan uang itu mudah karena ada di tangan-tangan mereka. Juga ketika kondisi penerima zakat yang lebih membutuhkan kepada uang daripada makanan, karena dengan uang dia bisa membeli sesuai dengan yang paling ia butuhkan, maka ini semua menunjukkan bolehnya mengeluarkannya dalam bentuk uang. Terlebih dalam kondisi pandemi wabah seperti sekarang ini, dimana akses dan mobilitas sangat terbatas, maka mengeluarkan dalam bentuk uang menjadi lebih utama. Karena terealisasinya kemudahan dan kemaslahatan adalah tujuan besar dari syariat ini. Wallahu A’lam.

Oleh : Muhammad Atim

Leave a Comment