Tafsir Surat An Nas Ayat 1-6


Oleh : Muhammad Atim
Maksud dari surat An-Nas sebagaimana dikatakan oleh Al-Biqa’i adalah :
سُورَةُ النّاسِ مَقْصُودُها الِاعْتِصامُ بِالإلَهِ الحَقِّ مِن شَرِّ الخَلْقِ الباطِنِ

“Surat An-Nas maksudnya adalah berpegang teguh/bersandar kepada Tuhan Yang Haq dari kejahatan makhluk tersembunyi (syetan)” (Nazhmud Durar).
Di dalamnya berisi bimbingan kepada Nabi saw, dan juga kepada umatnya, untuk berlindung kepada Allah, sebagai Rabb, Raja dan Tuhan manusia, dari godaan syetan yang suka membisikan kejahatan dan tersembunyi.
Surat ini populer dinamakan surat An-Nas (manusia). Sebagai isyarat, Allah memberikan perhatian khusus kepada manusia, makhluk yang diistimewakan, juga secara bahasa berasal dari kata al-uns (lembut) menunjukkan manusia adalah makhluk yang mudah untuk tergoda syetan sehingga memerlukan perlindungan.
Ia bersama surat Al-Falaq disebut sebagai dua surat untuk memohon perlindungan (mu’awwidzatain). Karena kedua-duanya diawali dengan perintah memohon perlindungan.
Surat ini turun berurutan setelah surat Al-Falaq. Hanya para ulama berbeda pendapat apakah surat ini makkiyyah atau madaniyyah. Jabir bin Zaid, Hasan, ‘Atha dan Ikrimah, serta Kuraib meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia makkiyyah. Sedangkan Qatadah berpendapat madaniyyah, serta Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Yang lebih tepat, insya Allah, dia adalah makkiyyah. Karena riwayat Kuraib bisa diterima dari Ibnu Abbas, sedangkan riwayat Abu Shalih diragukan.
Surat Mu’awwidzatain ini tidak ada bandingannya dalam hal memohon perlindungan. Oleh karena itu Rasulullah saw selalu membacanya ketika sakit, sebelum tidur, dll.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Katakanlah olehmu (Nabi Muhammad saw), “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (Ayat 1)
Surat ini diawali dengan perintah kepada Nabi Muhammad saw, yang juga berlaku untuk umatnya, karena beliau merupakan teladan, untuk memohon perlindungan kepada Allah, Rabb manusia. Rabb artinya pencipta, pemelihara dan penguasa.
Allah itu Rabb bagi seluruh makhluknya, mengapa di sini dikhususkan kepada manusia? Ini sebagai bentuk perhatian khusus kepada mereka, makhluk yang diistimewakan dan menjadi maksud utama diturunkannya Al-Qur’an.
مَلِكِ النَّاسِ
“Raja manusia.” (Ayat 2)
إِلَهِ النَّاسِ
Tuhan/sembahan manusia.” (Ayat 3)
Dua ayat ini kedudukannya sebagai ‘athfu bayan (penjelasan). Karenanya ia tidak menggunakan dhamir/kata ganti “mereka”, tapi disebut kembali isim zahir (nama jelas)nya yaitu “manusia”. Karena ‘athfu bayan itu seperti sebuah nama yang mesti disebut secara jelas.
Penyebutan tiga sifat Allah ini mengandung urutan. Yaitu, bahwa rububiyyah (pemeliharaan)  Allah terhadap manusia itu tidaklah seperti pemeliharan makhluk, tapi pemeliharaan yang disertai kekuasaan. Karena Allah Al-Malik, raja/penguasa yang mutlak dan tunggal.
Sebetulnya sifat al-mulk/kekuasaan sudah tercakup dalam sifat rububiyyah, tetapi disebutkan lagi secara khusus untuk lebih menonjolkan sifat kekuasaan-Nya.
Karena Allah memiliki rububiyyah dan kekuasaan, maka sudah selayaknya Allah adalah Al-Ilah, Tuhan yang berhak untuk disembah.
Ini juga sebagai urutan dari yang kesannya umum kepada yang khusus. Yaitu ketika mendengar kata “rabb” (pemelihara/pemilik), semua manusia juga bisa disebut rabb yang disematkan kepada sesuatu yang dimiliki, misalnya rabbul mal (pemilik harta), rabbul bait (pemilik rumah), dlsb.
Ketika mendengar kata “malik” (raja), ini lebih khusus lagi. Hanya segelintir orang yang mampu menjadi raja/penguasa.
Dan ketika mendengar kata “ilah” (tuhan), maka lebih khusus lagi. Tidak ada manusia atau makhluk apapun yang menjadi tuhan. Hanya Allahlah satu-satunya tuhan.
Tiga sifat ini disebutkan agar manusia yakin bahwa Allahlah yang mampu melindunginya.
مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ
“Dari kejahatan (syetan) yang suka membisik-bisikan, yang suka bersembunyi” (ayat 4)
Al-Waswas adalah nama bagi syetan, yang diambil dari kata waswasah (bisikan). Bisa juga bermakna isim fail (pelaku), yang membisikkan. Atau mashdar yang dijadikan sifat sebagai bentuk mubalaghah.
Makna waswasah (الوسوسة) adalah :
الكَلَامُ الخَفِيُّ

“Perkataan yang tersembunyi”
Yang kita artikan dengan “bisikan”.
Ini bisa dimaknai secara hakiki maupun majazi. Sesuai pembagian dua jenis syetan. Jika dari jenis manusia, maka maknanya bisikan secara hakiki. Sedangkan jika dari jenis jin maka maknanya secara majazi, yaitu sesuatu yang terbersit di dalam hati untuk melakukan keburukan (al-khowatir asy-syariroh).
Al-Khonnas merupakan sigot mubalaghah, artinya sangat dan banyak bersembunyi, maksudnya biasa bersembunyi. Dinamai seperti itu karena syetan selalu bersambung dengan akal dan hati manusia tanpa dapat disadari.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadits,
Dari Anas ibnu Malik, Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعٌ خَطْمَهُ  عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ فَإِنْ ذَكَرَ الله خَنَسَ، وَإِنْ نَسِيَ الْتَقَمَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ»
“Sesungguhnya setan itu meletakkan belalainya di hati anak Adam. Jika anak Adam mengingat Allah, maka bersembunyi; dan jika ia lupa kepada Allah, maka setan menelan hatinya; maka itulah yang dimaksud dengan bisikan setan yang tersembunyi.” (Tafsir Ibnu Katsir).
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : «إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا سُوءًا -أَوْ قَالَ- شَيْئًا»
Dari Shafiyyah binti Huyay berkata, Ketika Rasulullah ﷺ sedang melaksanakan iktikaf aku datang menemui beliau di malam hari, lalu aku berbincang-bincang sejenak dengan beliau, kemudian aku berdiri hendak pulang, beliau juga ikut berdiri bersama aku untuk mengantar aku. Saat itu Shafiyyah tingal di rumah Usamah bin Zaid. (Ketika kami sedang berjalan berdua itu) ada dua orang laki-laki yang lewat, dan tatkala melihat Nabi ﷺ keduanya bergegas. Maka Nabi ﷺ, “Kalian tenang saja. Sungguh wanita ini adalah Shofiyah binti Huyay.” Maka keduanya berkata, “Mahasuci Allah, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan lewat aliran darah dan aku khawatir setan telah memasukkan perkara yang buruk pada hati kalian berdua.” Atau beliau mengatakan, memasukkan sesuatu.” (HR. Bukhari, no. 3281).
ٱلَّذِی یُوَسۡوِسُ فِی صُدُورِ ٱلنَّاسِ
“Yang membisik-bisikkan di dalam dada manusia” (ayat 5)
Disebutkan “dada” maksudnya yang ada di dalamnya yaitu hati. Menggunakan kata “dada” menunjukkan bahwa bisikan syetan itu sebenarnya tidak melekat kuat, sehingga bisa disingkirkan dengan zikir kepada Allah.
Kata “manusia” disebut lagi di sini karena memang terselang jauh dari penyebutan sebelumnya.
مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ
“Dari jenis jin dan manusia” (ayat 6)
Ini adalah dua jenis syetan yang membisik-bisikan itu. 
Disebutkan jenis jin terlebih dahulu baru kemudian manusia, karena jenis jin merupakan sumber bisikan.
Sedangkan dalam ayat lain dalam kaitannya dengan para nabi disebutkan jenis manusia terlebih dahulu,
 وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu. (QS. Al-An’am : 112).
Karena syetan dari jenis manusia terkadang lebih berbahaya pengaruhnya, karena lebih nampak bisikannya. Terlebih, para nabi telah dijaga oleh Allah dari bisikan syetan jenis jin. Nabi Muhammad saw menyebutkan, bahwa jin yang ada pada beliau telah menyerah, dan tidak menyuruh kecuali kepada kebaikan.
 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : «مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنْ الْجِنِّ قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ»
“Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang pun dari kalian melainkan dikuasai pendamping dari kalangan jin.” Mereka bertanya: Tuan juga, wahai Rasulullah? beliau menjawab, “Aku juga, hanya saja Allah membantuku mengalahkannya lalu ia menyerah, ia hanya memerintahkan kebaikan padaku.” (HR. Muslim, no. 2814).
Ibnu Juzai menjelaskan tahapan godaan syetan, yaitu pertama kali merusak iman dan membuat keragu-raguan dalam aqidah. Jika tidak mampu, maka menggoda dengan kemaksiatan. Jika tidak mampu, membuat malas pada ketaatan. Jika tidak mampu, membuat riya dengan ketaatan. Atau merasa bangga dan merasa telah banyak beramal. 
Godaannya juga dengan cara menanamkan kedengkian dan kebencian sehingga mendorong kepada prilaku paling buruk. 
Menghadapi godaan tersebut adalah dengan tiga cara. Yaitu, banyak berdzikir, banyak memohon perlindungan terutama dengan dua surat ini, dan menyelisihi dan bertekad untuk mendurhakai bisikan syetan tersebut.
Mengapa Al-Qur’an ditutup dengan dua surat memohon perlindungan (mu’awwidzatain) ? Ibnu Juzai juga menjelaskan rahasianya :
1. Al-Qur’an ini merupakan nikmat terbesar dari Allah. Nikmat ini mengundang kedengkian, maka Allah menurunkan yang dapat memadamkan kedengkian berupa memohon perlindungan kepada Allah.
2. Rasulullah saw menyebut surat Al-Fatihah sebagai surat yang tidak ada bandingannya, begitu pula menyebut dua surat ini sebagai surat yang tidak ada bandingannya. Maka nampaklah keserasian antara awal dan akhirnya
3. Keserasian itu nampak pula ketika kita pertama kali membaca Al-Qur’an diperintahkan untuk membaca ta’awudz, lalu di akhir surat berisi ta’awudz juga. Agar antara awal hingga akhir selalu mendapat perlindungan dari Allah. Wallahu A’lam.
t.me/maisy_institute
t.me/butirpencerahan

Leave a Comment