Penjelasan Ikhtilaf Mathali’ Dalam Madzhab Syafi’i

Penjelasan Ikhtilaf Mathali' Dalam Madzhab Syafi'i

Oleh : Ust. Ahmad Syahrin Thoriq 
Fatwapedia.com – Di tulisan kali ini dan beberapa tulisan selanjutnya, saya akan membahas secara berseri tentang konsep ikhtilaful Mathali’menurut madzhab syafi’i. Saya buat menjadi beberapa seri agar lebih mudah untuk dicerna dan tidak memberatkan siapapun  alias membosankan untuk dibaca karena terlalu panjang.
Meskipun saya nanti dalam tulisan ini menyertakan pendapat dari madzhab lainnya, itu semata-mata untuk menguatkan bahasan. Saya hanya akan focus di pendapat madzhab Syafi’i saja agar tidak melebar kemana-mana. 
Genre tulisan perlu saya sampaikan supaya tidak ada yang salah paham, mengapa kali  ini saya agak berbeda, biasanya bahasannya mengetengahkan pendapat empat madzhab secara seimbang, koq tiba-tiba berubah jadi syafi’i orientit. Apalagi sampai ada yang gagal paham menuduh saya menyalahkan pendapat yang berbeda dari madzhab syafi’i.
Juga agar tujuan saya menulis dalam rangka menjawab kesalahpahaman atau kebingungan sebagian orang tentang konsep ikhtilaful mathali menurut madzhab mayoritas muslim di Indonesia ini, bisa tercapai dengan baik.
Karena ketika saya mempostkan beberapa tulisan sebelumnya, ada kalimat yang bernada belum paham, tidak paham atau sebagian  bahkan gagal paham, semisal kalimat :
(1) Bulannya sama, Tuhannya sama, agamanya sama, nabinya juga sama, koq hari rayanya berbeda?
(2) Sebenarnya beda-beda mathla’ ini mengikuti madzhab Syafi’i  atau keputusan negara?
(3) Bukankah kalau mau konsisten dengan madzhab Syafi’i, wilayah seluas Indonesia seharusnya dibagi-bagi menjadi banyak mathla’?
(4) Masalah mathla’ ini sebenarnya murni masalah fiqih atau politik sih ?
(5) Koq repot amat sih. Kan tinggal mengikuti Arab Saudi selesai !
Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat serupa. Saya sampai lupa sangking banyaknya. Silahkan ditambahkan di kolom komentar jika dianggap penting, jika beruntung akan saya bahas insyaallah. Saya akan jawab satu persatu, sesuai tema pertanyaan tentunya. Supaya semua bisa menjadi jelas, gamblang dan kita bisa legowo menyikapi perbedaan khilafiyah mu’tabarah seperti ini.
Ya kalaupun tidak bisa paham sepenuhnya, minimal supaya jelas terbedakan mana yang tidak paham sama yang nggak mau memahami, juga bisa terpilah antara yang bingung dan yang suka bingung sendiri…
Kan yang tidak paham tinggal dipahamkan, yang bingung tinggal ditenangkan. Sedangkan yang cuma mau dipahami tapi tidak mau memahami, atau yang cuma pengen membingungkan umat dengan opininya, biarkan saja mereka diurus sama yang punya Syariat.
Dan sebelum menjawab pernyataan dan pertanyaan diatas. Kita back to basic dulu, memahami apa itu mathla’, hilal, rukyat dan mengapa ulama sampai berbeda pendapat ? Apa dalilnya masing -masing khususnya madzhab syafi’i hingga berani berbeda dengan jumhur dan seterusnya. Saya akan membagi tulisan ini menjadi 10 seri, semoga Allah mudahkan.
Tak usah berlama-lama, mari kita langsung masuk kebahasannya point demi point. Cekidot !

Definisi Mathla’

Mathla’ (‌مطلع) berasal dari kata طلع yang artinya adalah muncul atau terbit. Mathla’ secara bahasa berarti :
موضع الطلوع أو الظهور
“Tempat terbit atau nampak.”
Kalimat ini seperti yang terdapat dalam firman Allah ta’ala :
حَتَّى إِذَا بَلَغَ ‌مَطْلِعَ الشَّمْسِ
“Hingga ketika dia sampai di tempat terbitnya matahari.” (QS. Al Kahfi : 90)
Jama’ dari kata Mathla’ adalah Mathali’. Dan secara istilah tidak keluar dari pengertian bahasa diatas, yakni Mathla’ adalah :
موضع الطلوع أو الظهور، ويقصد به – هنا – موضع طلوع الهلال من الغرب
“Tempat muncul atau nampak – dan yang dimaksud di sini adalah – tempat terbit hilal di waktu maghrib.”[1]

Istilah Rukyat dan Hilal

Kata yang juga lekat dengan istilah mathla’ yang pertama adalah rukyat. Secara bahasa rukyat adalah menemukan sesuatu lewat penglihatan. Dan dalam konteks ini, rukyat adalah :
معاينته ومشاهدته بالعين الباصرة بعد غروب شمس اليوم التاسع والعشرين من الشهر السابق ممن يعتمد خبره وتقبل شهادته، فيثبت دخول الشهر برؤيته
“Penjelasan dan Persaksian melalui penglihatan mata setelah terbenamnya matahari pada hari ke dua puluh sembilan dari bulan sebelumnya, dari seseorang  yang bisa dipegang (dipercaya) beritanya dan kesaksiannya, dan ditetapkan masuknya bulan baru dengan sebab rukyatnya.”[2]
Sedangkan pengertian hilal adalah nama bulan dalam keadaan tertentu. Yang terkadang disitilahkan :
ما يرى من المضيء من القمر أول ليلة
“Apa yang telah terlihat dari cahaya bulan diawal malam (suatu bulan baru)”.[3]
Sehingga dapat disimpulkan hubungan tiga kata diatas antara Mathla’, rukyat dan hilal adalah sebagai berikut :  Rukyat itu adalah aktivitas untuk melihat hilal di tempat terbitnya (mathla’).

Konsep wihdatul Mathali’ dan i’khtilaful Mathali’

Kita tahu bahwa tempat atau wilayah di bumi ini antara satu sama lainnya terjadi perbedaan waktu. Ada yang hanya beda beberapa menit, ada yang hingga beberapa jam, bahkan ada yang berbeda keadaan yang satu wilayah mengalami siang dan yang lain mengalami waktu malam hari.
Dari situlah kemudian ulama menjadi berbeda pendapat, apakah mathla’ hilal bulan baru itu cukup mengacu kepada satu tempat atau berbeda-beda sesuai tempat yang waktunya juga berbeda-beda. 
Sebagian ulama memegang konsep satu mathla’, inilah yang diistilahkan dengan wihdatul mathali’, sedangkan ulama yang lainnya berpegang kepada konsep berbeda-beda tempat hilal atau diistilahkan dengan ikhtilaful mathali’.
Bersambung… InsyaAllah…
________
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (38/110).
[2] Hasyiah Ibn Abidin (2/90).
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (42/297).
Bagian kedua:
Telah disebutkan di bahasan sebelumnya bahwa para ulama berbeda pendapat tentang mathla’nya hilal. Apakah bila hilal terlihat di suatu negeri sehingga ditetapkan bulan baru otomatis itu juga berlaku untuk negeri-negeri lainnya yang tidak melihat hilal, baik yang berdekatan ataupun berjauhan ?
Dan kita ketahui sebagian ulama berpendapat dengan konsep wihdatul mathali’ (satu mathla’) sedangkan ulama lainnya memegang ikhtilaful mathali’ (berbeda mathla’).
Namun ternyata, yang menggunakan wihdatul mathali’ masih terbagi menjadi dua pendapat lagi, ada yang bersifat muthlaq ada yang tidak. Karena kelompok pendapat ini masih membedakan antara negeri-negeri yang saling berdekatan, agak jauh dengan negeri yang terlalu jauh.[1]
1. Wihdatul Mathali’ Mutlaq
Umumnya kalangan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila ada sebuah negeri telah melihat hilal, maka negeri manapun, dekat ataupun jauh maupun sangat jauh, baik di timur maupun di barat, harus menggunakan rukyat tersebut.[2]
Berkata Ibn Najim al Hanafi :
ولا عبرة باختلاف ‌المطالع فإذا رآه أهل بلدة، ولم يره أهل بلدة أخرى وجب عليهم أن يصوموا برؤية أولئك إذا ثبت عندهم بطريق موجب، ويلزم أهل المشرق برؤية أهل المغرب
“Dan tidaklah boleh ada perbedaan Mathla’. Jika penduduk suatu negeri telah melihat (hilal), maka penduduk negeri yang lain yang tidak melihat wajib berpuasa dengan adanya ketetapan hilal tersebut. Begitu juga penduduk Timur mengikuti rukyatnya penduduk negeri Barat.” [3]
Berkata al Imam Ibnu Qudamah al Hanbali :
وإذا رأى الهلال أهل بلد، لزم جميع البلاد
“Jika penduduk suatu negeri melihat hilal, maka penduduk yang lain mengikuti…”[4]
 Dalil pendapat ini adalah keumuman makna hadits :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya“. (HR. Bukhari)
2. Wihdatul Mathali’ tidak mutlaq
Pendapat kedua ini dipegang oleh kalangan ulama Malikiyah. Yakni mereka berpendapat bahwa negeri-negeri yang saling berdekatan seperti Bashrah dengan Kuffah Makkah dengan Suriah, dan lainnya maka mereka terikat dengan satu mathla’. Apabila satu negeri telah melihat hilal maka negeri lainnya mengikutinya. Berbeda dengan negeri yang berjauhan seperti Andalusia dan wilayah Khurasan.[5]
Berkata al Imam Qarafi rahimahullah :
إذا تقرر الاتفاق على أن أوقات الصلوات تختلف باختلاف الآفاق وأن لكل قوم فجرهم وزوالهم وغير ذلك من الأوقات، فيلزم ذلك في الأهلة بسبب أن البلاد المشرقية إذا كان الهلال فيها في الشعاع وبقيت الشمس تتحرك مع القمر إلى الجهة الغربية، فما تصل الشمس إلى أفق المغرب إلا وقد خرج الهلال من الشعاع، فيراه أهل المغرب، ولا يراه أهل المشرق
“Telah diketahui dengan pasti adanya kesepakatan bahwa waktu shalat itu berbeda (satu negeri dengan lainnya) dengan disebabkan adanya perbedaan ufuq, dan (ditetapkan) setiap kaum waktu terbit fajarnya, tergelincirnya matahari dan selainnya mengikuti waktu-waktu tersebut, maka itu bisa berlaku juga pada kasus hilal. 
Dikarenakan negeri di timur dalam keadaan cahaya hilal masih tertutupi oleh sinar matahari, lalu ketika mahatahari bergerak ke arah barat bersama hilal, maka ketika sinar matahari sudah redup di waktu maghrib hilal tidak tertutupi lagi dengan sinar (matahari). Maka hasilnya penduduk negeri Barat bisa melihat hilal, sedangkan negeri timur tidak bisa melihatnya.”[6]
Al imam Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah mengakui adanya pendapat kedua ini dalam kitabnya al Mughni :
إن كان بين البلدين مسافة قريبة، لا تختلف المطالع لأجلها كبغداد والبصرة، لزم أهلهما الصوم برؤية الهلال في أحدهما، وإن كان بينهما بعد، كالعراق والحجاز والشام، فلكل أهل بلد رؤيتهم. وروي عن عكرمة، أنه قال: لكل أهل بلد رؤيتهم
“Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: “Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing.”[7]
3. Ikhtilaful Mathali’
Sedangkan kalangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa masing-masing negeri memiliki Mathla’ yang berbeda-beda antara satu sama lainnya. Satu wilayah hanya wajib mengikuti rukyat hilal negeri lainnya bila jaraknya berdekatan. Artinya bila jaraknya suatu negeri itu berdekatan, tidak boleh ada perbedaan waktu, negeri yang tidak melihat hilal, wajib mengikuti negeri yang telah melihatnya. Sedangkan bila jauh tidak ada kewajiban.[8]
 Dan dalam madzhab ini dekat dan jauh standarnya menurut sebagian ulama syafi’iyyah adalah jarak bolehnya mengqashar shalat. Berkata ad Dimyathi rahimahullah :
لا يمكن اختلافها في أقل من أربعة وعشرين فرسخا
“Tidak dimungkinkan adanya perbedaan mathla’ yang kurang dari 24 Farsakh (jarak minimal qashar shalat).”[9]
Sedangkan dalam pendapat lain dari madzhab ini, dekat dan jauh itu dibedakan oleh iklim (pemerintahan) suatu negeri. Berkata ash Shoimiri :
إن كان إقليما واحدا لزم جميع أهله برؤية بعضهم، وإن كانا إقليمين.. لم يلزم أهل أحدهما برؤية أهل الآخر
“Jika keadaannya dalam satu iklim, maka penduduknya saling berkaitan rukyatnya. Dan bila terbagi menjadi dua iklim tidak saling berkaitan satu sama lainnya dalam rukyat.”[10]
Diantaranya kesalahpahaman memahami pendapat syafi’iyah dalam masalah ikhtilaf al Mathali’ ini adalah pernyataan : “Kalau mau konsisten dengan pendapat madzhab syafi’i seharusnya wilayah-wilayah indonesia harusnya rukyat sendiri-sendiri karena sudah lebih dari 24 farsakh.”
Selain karena ada pendapat lain, harus dibedakan antara kalimat “tidak boleh berbeda pendapat bila kurang 24 farsakh” dengan kalimat “harus berbeda jika telah 24 farsakh”. Insyallah hal ini akan kami jawab di bab selanjutnya.
Khilaf yang tidak bisa dihindarkan
Terbukti bahwa para ulama dahulu hingga hari ini terbukti tidak pernah sepakat tentang penetapan awal bulan. Bahkan dikatakan perbedaan ini sebagai sebuah keniscayaan karena adanya jarak yang sangat jauh yang mustahil khabar dilihatnya hilal di suatu negeri bisa diterima di negeri lain dalam waktu yang singkat.
Ini membantah klaim tanpa data yang menyatakan : Dahulu umat Islam tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah penetapan waktu…”
Ibnu Taimiyah rahimahullah – yang notabene mendukung satu mathla’- mengatakan :
مَسأَلةُ: (رُؤيةُ بعض البلاد رؤيةٌ لجميعها) فيها اضطراب؛ فإنَّه قد حكى ابنُ عبدالبَرِّ الإجماعَ على أنَّ الاختلاف فيما يُمكِن اتِّفاق المَطالِع فيه، فأمَّا ما كان مثل الأندلُس وخُراسان؛ فلا خلافَ أنَّه لا يُعتبَر.
“Rukyatnya suatu negeri menjadi rukyat bagi semua negeri lainnya. Pada klaim ini ada kontradiksi. Ibnu Abdil Barr menukil adanya ijma ulama bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama itu bisa saja berlaku antara sesama pemegang konsep satu mathla’ (apalagi yang memegang konsep berbeda mathla’) Semisal negeri Andalusia dan Khurasan  tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya keduanya tidak saling mengikuti.”[11]
Jadi pemahamannya, menurut sebagian ulama kemungkinan adanya perbedaan dalam masalah ini juga menjadi  Ijma’. Wallahu a’lam.
Bersambung : (Bagian III) Pendapat kalangan syafi’iyah dan dalil-dalilnya…
 _________
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (22/36).
[2] Wasail Ibn Abidin (1/228), al Mughni (3/88).
[3] Bahrur Raqaid (2/290)
[4] Al Mughni (3/108).
[5] Al Furuq (2/203), Mawahib al Jalil (2/384)
[6] Al Furuq (2/204).
[7] Al Mughni (3/108).
[8] Syarh shaih Muslim ( 5/58)
[9]  I’anah Thalibin (2/246).
[10] Bayan fi Madzhab asy Syafi’i (3/479).
[11] Majmu Fatwa (25/103).

Leave a Comment