Penjelasan Hadits Kisah Ummu Zara‘, dan Beberapa Pelajaran Bagi Suami

Penjelasan Hadits Kisah Ummu Zara‘, dan Beberapa Pelajaran Bagi Suami


Fatwapedia.com – Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah duduk mendengarkan cerita istrinya, Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, tentang percakapan sejumlah perempuan yang sedang duduk mengobrol dan saling berjanji untuk tidak menyembunyikan cerita apapun tentang diri suami-suami mereka. Ini adalah cerita tentang Ummu Zara‘, suatu cerita yang panjang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bosan mendengarkan Aisyah mengisahkannya. Adapun redaksi haditsnya bisa dilihat DISINI.

Berikut ini penulis sebutkan hadits tentang cerita itu dengan beberapa pelajaran di dalamnya

[1] Dalam riwayat lain: “di atas puncak gunung yang terjal”.

[2] Maksudnya, mendakinya susah karena sangat terjal.

[3] Secara umum, perempuan ini –wallahu a‘lam– ingin menyerupakan suaminya dengan daging unta yang ringkih lagi kurus. Sekali pun daging itu daging unta yang ringkih kurus, tetapi berada di atas puncak gunung yang terjal sehingga susah untuk didaki. Jadi, gunung itu tidak mudah untuk didaki, sementara daging yang ada di puncaknya bukanlah daging gemuk yang layak diperoleh dengan susah payah.

Penerapan kiasan ini pada sang suami adalah sebagai berikut. Perempuan ini mencela suaminya dengan mengatakan bahwa dagingnya seperti daging unta, bukan daging domba yang bagus. Artinya, dia tidak bisa merasakan kenikmatan yang dia harapkan dari keberadaan suaminya karena suaminya seorang laki-laki yang lemah dan dagingnya tidak bagus. Seolah-olah dia ingin menggambarkan cara suaminya menyetubuhi dirinya dengan berkata, “Jika aku bercumbu dengannya seakan-akan aku tengah memakan daging unta yang ringkih (dagingnya tidak seenak daging kambing). Di samping keringkihan dan kekurusannya itu, akhlaknya pun jelek. Tidak ada seorang pun yang merasa bisa berkomunikasi dan bergaul dengannya karena keburukan akhlaknya. Bahkan sekali pun aku berhasil berkomunikasi dengannya setelah mengerahkan segala upaya, tidak banyak yang bisa aku peroleh darinya. Setelah bersusah payah untuk menjangkaunya, aku tetap tidak mendapatkan apapun yang bermanfaat dan bisa kunikmati darinya.” Wallahu a‘lam.

[4] ‘Ujar dan bujar. ‘Ujar adalah urat dan saraf yang tampak menonjol di wajah dan tubuh seseorang saat marah atau menyombongkan diri. Sedangkan bujar adalah seperti ‘ujar, namun khusus di daerah perut.

Maknanya secara ringkas –wallahu a‘lam–, perempuan ini ingin mengisyaratkan bahwa suaminya penuh dengan aib. Dia berkata, “Jika aku menceritakan tentang dirinya dan membeberkan seluk-beluknya, aku khawatir aku tidak akan bisa berhenti menceritakannya karena begitu banyaknya kejelekan dan kebobrokannya. Apa lagi yang bisa aku sebutkan tentang dirinya andaipun aku harus menyebutkan sesuatu tentang dirinya? Satu-satunya yang bisa aku sebutkan hanyalah tentang saraf-saraf yang ada di wajahnya, tentang urat lehernya yang menonjol jika marah, dan tentang urat-urat yang menonjol di perut dan wajahnya. Itulah sebagian yang bisa aku ceritakan tentang dirinya.”

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa makna ucapan perempuan ini “aku khawatir tidak bisa meninggalkannya” adalah “Aku khawatir aku tidak akan sanggup berpisah darinya, karena jika sampai dia mendengar bahwa aku berbicara tentang dirinya, maka dia akan menceraikanku. Aku takut berpisah darinya karena memikirkan anak-anakku dan hubunganku dengannya.”

Namun, pendapat pertama yang lebih utama. Wallahu a‘lam.

[5] Al-‘Asyannaq artinya orang yang jangkung dengan kejangkungan yang tidak disukai. Ada ulama yang berpendapat bahwa artinya adalah orang yang jelek akhlaknya. Ulama yang lain berpendapat bahwa artinya adalah orang yang cerdik yang memikirkan sendiri semua urusannya dan tidak ada seorang perempuan pun yang bisa mengendalikannya. Ulama yang lain lagi berpendapat sebaliknya bahwa artinya adalah pemberani yang bertindak tanpa perhitungan, tidak punya pendirian.

[6] Adapun ucapannya: “jika aku berbicara, dia akan menceraikanku, tetapi jika aku diam, aku digantungnya”, maknanya –wallahu a‘lam– adalah: “Jika aku berbicara di hadapannya dan membantahnya dalam suatu masalah, maka dia akan menceraikanku. Tetapi jika aku diam saja, maka dia tidak akan menoleh sedikit pun kepadaku dan tidak memperdulikanku bagaikan seorang istri yang digantung statusnya, tidak punya suami tetapi bukan pula janda. Tidak punya suami yang bisa mengurusnya, dan bukan pula janda sehingga bisa mencari suami baru.” Wallahu a‘lam.

[7] Tihamah di sini adalah negeri Tihamah yang terkenal. Malam di negeri ini seimbang. Cuacanya pada malam hari menyenangkan. Dengan ungkapan ini, perempuan ini ingin menggambarkan suaminya sebagai suami yang lembut sikapnya dan tenang pembawaannya.

[8] Mukhafah dari kata al-khauf (takut), sedangkan sa’amah adalah bentuk turunan dari kata sa’amadalam kalimat sa’ama ar-rajul yang berarti bosan dan capek. Makna ungkapannya ini adalah “Aku hidup bersama suamiku dalam keadaan aman tenteram. Pikiranku tenang. Tidak pernah merasa takut dan tidak pula bosan hidup bersamanya. Keadaanku bersamanya persis seperti keadaan penduduk kota Tihamah. Mereka merasakan kenikmatan dari malamnya yang tenang dan cuacanya yang menyenangkan.”

[9] Fahida (bertingkah seperti fahd) dari kata al-fahd. Artinya, dia memiliki karakter seekor fahd(macan/harimau).

[10] Asida (bertingkah seperti asad) dari kata al-asad. Artinya, dia memiliki karakter seekor singa.

[11] Ungkapan yang dipakai perempuan ini untuk menggambarkan suaminya mengandung dua kemungkinan makna. Bisa bermakna memuji dan bisa pula mencela.

Bila berarti memuji, maka ungkapan ini mengandung beberapa makna. Di antaranya bahwa dia menggambarkan suaminya bagai seekor fahd karena sering mencumbui dan menyetubuhi dirinya. Sang suami sangat mencintai dirinya dan tidak bisa menahan diri jika melihat dirinya. Sedangkan jika sang suami keluar rumah bertemu orang-orang, maka akan tampil berani seperti seekor singa.

Adapun maksud perkataannya bahwa sang suami “tidak pernah bertanya tentang apa yang dia ketahui” adalah dia datang membawa banyak barang berupa makanan, minuman dan pakaian, dan tidak pernah menanyakan ke mana dan bagaimana habisnya barang-barang itu.

Makna kedua dari ungkapan ini yang berkesan memuji adalah bahwa jika dia masuk ke dalam rumah, maka akan seperti fahd dalam hal lalai [Kata fahida bisa juga berarti lupa dan lalai. -Pent.] menanyakan kekurangan apa saja yang ada di dalam rumah dan tidak menghukum dirinya atas kekurangan yang terdapat di dalam rumah. Dan jika keluar rumah menemui orang-orang, maka dia akan jadi pemberani seperti asad. Sedangkan ungkapan bahwa suaminya “tidak menanyakan apa yang dia ketahui” artinya sang suami memaklumi kekurangan yang dimilikinya saat bergaul dengannya.

Adapun makna yang mencela yaitu dengan menggambarkan sang suami, jika masuk menemui dirinya, akan berperilaku seperti seekor fahd dalam hal tidak mau melakukan percumbuan sebelum menyetubuhinya, dan karena dia berakhlak jelek, berlaku kasar dan suka memukul, serta tidak peduli dengan dirinya. Sedangkan jika keluar meninggalkan dirinya yang sedang sakit lalu kembali, maka dia tidak menanyakan keadaan dirinya dan anak-anaknya. Wallahu a‘lam.

[12] Maksudnya, jika mendapati semua jenis makanan terhidang di atas meja makan, maka dia akan menghabiskan seluruhnya.

[13] Isytaffa artinya meminum air hingga tuntas.

[14] Maksudnya, berselimut sendirian di atas ranjang dengan menjauhi diriku.

[15] Tidak memasukkan tangannya ke bawah pakaianku untuk meraba tubuhku dan merasakan kesedihan yang sedang menderaku. Dengan ungkapan ini, dia ingin menggambarkan suaminya dengan sifat seorang suami yang jelek, yaitu banyak makan dan minum, dan jarang menyetubuhi istri. Wallahu a‘lam.

[16] Ghayaya’ adalah orang yang pandir, sedangkan ‘ayaya’ adalah orang yang impoten, tidak bisa menyetubuhi istrinya.

[17] Thabaqa’ adalah orang yang sangat pandir/idiot.

[18] Syajjaki (memukul kepalamu hingga pecah). Maksudnya, jika kamu berbicara kepadanya, dia akan memukul kepalamu hingga pecah. Asy-Syajju adalah luka di kepala.

[19] Al-Falul adalah luka dan memar di tubuh. Maksud ungkapan ini adalah: “Jika aku membantahnya dalam suatu masalah, maka dia akan memukul kepalaku hingga pecah, atau memukul tubuhku hingga memar, atau melakukan kedua-duanya padaku. Yaitu, dia akan memukulku di kepala (asy-syajju) dan tubuh (al-falul) sekaligus hingga luka dan memar.” Wallahu a‘lam.

[20] Ucapannya “menyentuh suamiku seperti menyentuh kelinci” maksudnya adalah bahwa jika dia menyentuh tubuh suaminya, maka dia merasakan tubuh suaminya itu halus sehalus bulu-bulu kelinci. Ada pula yang menjelaskan bahwa perempuan ini menyerupakan suaminya seperti itu untuk menggambarkan akhlaknya yang bagus dan pembawaannya yang halus, serta memiliki tubuh yang bersih karena sering membersihkannya dan menggunakan wangi-wangian.

Di dalam riwayat lain disebutkan tambahan: “aku menundukkannya, dan dia menundukkan orang-orang”.

[21] Zarnab adalah sejenis tumbuhan yang memiliki bau yang wangi. Dengan ungkapan ini, perempuan ini ingin menggambarkan suaminya sebagai orang yang senang berhias dan memakai wangi-wangian untuk si istri.

[22] Ungkapan “tinggi tiang rumahnya” berarti rumahnya tinggi layaknya rumah para tokoh dan orang-orang yang terkenal sehingga menjadi tujuan para tamu dan pendatang.

[23] Ungkapan “panjang sarung pedangnya” untuk menggambarkan bahwa suaminya seorang pemberani.

[24] Maksud abu di sini adalah kayu bakar. Abu yang dihasilkan dari pembakaran kayu bakar. Menyatakan suaminya sebagai orang yang memiliki banyak abu tungku adalah untuk menggambarkannya sebagai orang yang sangat dermawan. Dia sering menerima banyak tamu yang datang kepadanya sehingga banyak pula menyembelih hewan dan memasak masakan untuk mereka. Akibatnya, dia memiliki banyak abu tungku di rumahnya. Di samping itu, dia pun dermawan kepada keluarganya sendiri.

[25] Ungkapan “rumahnya dekat dengan balai pertemuan” mengandung arti bahwa orang-orang banyak datang kepadanya untuk mengadukan permasalahan yang mereka hadapi. Artinya, dia menggambarkan suaminya sebagai orang yang memiliki sifat seorang pemimpin, dermawan, berakhlak baik, dan baik dalam bergaul. Wallahu a ‘lam.

[26] Suaminya bernama Malik.

[27] Maksudnya, suaminya lebih baik dari suami-suami yang disebutkan sebelumnya.

[28] Maksudnya, di antara unta-unta itu ada yang dilepas ke padang rumput untuk digembalakan, tetapi lebih banyak yang dibiarkan tetap di dekatnya agar siap disembelih kapan saja untuk menghormati tamu yang datang.

[29] Al-Miz-har adalah alat musik sejenis tabuhan –menurut sebagian ulama– yang ditabuh untuk menyambut tamu yang datang.

Makna ungkapan ini adalah bahwa unta-unta tersebut jika mendengar suara miz-har maka mereka tahu dan yakin bahwa ada tamu yang datang dan itu berarti mereka akan disembelih. Wallahu a‘lam.

[30] Kata anasa berasal dari kata dasar an-naus yang berarti gerakan. Maknanya adalah “dia menggerakkan kedua telingaku dengan perhiasan”. Makna lainnya adalah “dia memasang banyak perhiasan di kedua telingaku sehingga turun dan mendentingkan bunyi-bunyian yang terdengar olehnya”.

[31] Maksudnya, kedua lengan atasnya berisi dan padat dengan lemak.

[32] Kalimat bajjahani artinya dia memuliakanku dan berusaha menjadikan aku merasa bangga, maka jiwaku pun merasa bangga dan bahagia.

[33] Ada yang mengatakan bahwa syaq di sini adalah nama suatu tempat, sedangkan yang lain mengatakan bahwa artinya adalah sisi bukit/gunung. Makna ungkapan ini adalah “saat datang untuk menikahiku, dia mendapatiku tengah hidup bersama keluargaku dalam kemiskinan dan menggembala kambing-kambing kecil di sisi suatu gunung”.

[34] Ringkikan kuda-kuda.

[35] Yaitu lenguhan unta. Maksudnya, dia sekarang hidup dalam kemewahan setelah sebelumnya berada dalam kesusahan hidup.

[36] Ad-Da’is berarti sesuatu yang ditebah (dipukul dengan benda pipih), yaitu bulir gandum yang ditebah agar keluar bijinya dan terpisah dari jeraminya sebagaimana yang banyak dilakukan zaman sekarang di wilayah ar-Raif di mana penduduknya menaruh bulir-bulir gandum di jalan raya agar dilindas oleh mobil-mobil yang lewat sehingga terpisah antara biji dan jeraminya. Pada zaman Salaf,ad-da’is adalah hewan melata.

[37] Al-Munaqq adalah hewan yang berkicau atau berkotek. Sebagian ulama mengatakan ayam.

Makna ungkapan ini adalah bahwa dia kini berada dalam limpahan kekayaan berupa kuda, unta, tanaman, unggas, dan sebagainya.

[38] Maksudnya, suamiku tidak pernah mencela dan tidak pula membantah ucapan-ucapanku, bahkan aku adalah seorang penasihat di sisinya.

[39] Maksudnya, aku bisa tidur hingga pagi tanpa seorang pun berani membangunkan aku agar bekerja. Sebaliknya, disediakan pelayan-pelayan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu untukku. Suamiku tidak pernah berkata kepadaku, “Bangun dan siapkan makan.” Tidak pula dia mengatakan, “Berilah makan ternak-ternak.” Atau, “Siapkanlah hewan tungganganku.” Bahkan dia menyiapkan pelayan-pelayan yang melakukan semua itu.

[40] Maksudnya, aku bisa puas minum sampai tuntas. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah: aku minum dengan rileks karena aku tidak khawatir susu yang disiapkan akan habis karena selalu ada disiapkan.

[41] Al-‘Ukum adalah karung-karung dan kotak-kotak penyimpanan barang-barang.

[42] Radah artinya sangat luas. Maksud dari ucapannya ini adalah dia ingin menggambarkan bahwa ibu suaminya adalah perempuan yang memiliki banyak sekali perkakas dan perabotan rumah tangga serta pakaian. Rumahnya juga sangat besar dan luas, dan hartanya pun banyak. Dia hidup dengan penuh kecukupan dan gelimang harta.

[43] Asy-Syathbah adalah pelepah pohon kurma yang dibelah lalu diambil bagian batangnya yang tipis untuk dianyam menjadi tikar. Sedangkan al-masall adalah potongan kayu yang ditarik lepas dari tikar tadi. Maksud ungkapan ini adalah bahwa tempat tidur yang dipakai oleh si anak berukuran kecil seukuran potongan kayu yang dilepas dari anyaman tikar. Artinya, si anak tidak membutuhkan ruang yang besar di dalam rumah.

Adapun al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata di dalam Fath al-Bari (IX/179), “Menurut saya, perempuan ini ingin menggambarkan bahwa putra suaminya jarang menemuinya karena umumnya istri seseorang merasa berat dengan kehadiran anak tirinya, maka anak ini pun jarang menemuinya. Jika dia masuk rumah, lalu ingin tidur di dalamnya misalnya, maka dia tidak akan berbaring kecuali di ruang selebar dia bisa melepas pedang dari sarungnya hingga terbangun. Ini untuk menggambarkan betapa dia sangat jarang menemuinya.

[44] Al-Jafrah adalah kambing betina berumur empat bulan. Maksudnya dengan ungkapan ini adalah bahwa si anak tidak banyak makan dan minum.

[45] Maksudnya, tubuhnya montok sehingga dengan itu Allah memberinya tubuh yang sempurna.

[46] Ada yang berpendapat bahwa jarah di sini maksudnya adalah madu seorang perempuan (yaitu: istri lain suaminya). Ulama yang lain berpendapat bahwa jarah di sini adalah jarah (tetangga perempuan) sesungguhnya.

[47] Maksudnya, tidak menyebarkan dan membongkarnya.

[48] Maksudnya, tidak mengkhianati kami dalam hal itu dan tidak pula mencurinya.

[49] Di dalam riwayat lain berbunyi miratuna (مِيرَتُنا) yang berarti persediaan makanan.

[50] Maksudnya, bahwa dia perempuan yang bersih dan suka membersihkan rumah. Dia tidak akan membiarkan rumah kotor penuh dengan sampah dan barang-barang tak berguna. Makna lainnya adalah bahwa dia tidak akan memasukkan ke dalam rumah kami barang-barang haram, dan juga tidak akan membiarkan ada makanan yang rusak.

[51] Al-Awthab adalah periuk dan bejana tempat menampung susu. Tamkhadhu berarti mengaduk susu agar menghasilkan mentega dan minyak samin. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa Abu Zara‘ keluar rumah saat Ummu Zara‘ sedang mengaduk susu. Setelah capek mengaduk, dia pun berbaring. Pada saat itulah, Abu Zara‘ melihatnya yang tampak capek, maka dia pun meninggalkannya.

[52] Maksudnya, dia merasa senang dengan kedua anak itu dan dari situ timbul keinginannya untuk mendapatkan anak darinya.

[53] Sebagian ulama menyebutkan bahwa maknanya adalah bahwa kedua bokong perempuan tersebut besar. Jika dia berbaring dengan telentang, maka bagian tubuhnya di daerah pinggang akan terangkat sehingga jika kedua anaknya melemparkan buah delima ke bawah tubuhnya, maka buah itu akan melewati pinggangnya yang terangkat itu, dan itu karena bokongnya yang besar. Ulama yang lain berpendapat bahwa kedua anaknya itu bermain di sampingnya. Di antara ulama ada juga yang berpendapat bahwa maksud dua buah delima di sini adalah kedua buah dadanya yang menunjukkan bahwa usianya masih sangat muda karena kedua buah dada itu masih montok dan belum lagi mengendur.

[54] Sariyyan dari kata surat an-nas, yaitu orang-orang pilihan di tengah masyarakat dalam hal rupa dan penampilan.

[55] Syariyyan adalah kuda balap pilihan dan trengginas yang bisa berlari lama tanpa merasa lelah.

[56] Yaitu tombak Khaththi yang didatangkan dari suatu tempat bernama Khath di pinggiran negeri Bahrain.

[57] Kalimat araha di sini berarti dia datang dengan membawa tombak itu ke al-murah, yaitu kandang ternak, atau dia kembali kepadaku selepas perginya.

[58] Ats-Tsara adalah harta yang banyak berupa unta dan hewan ternak lainnya.

[59] Di dalam riwayat lain berbunyi: dzabihah (hewan sembelihan). Makna ungkapannya ini adalah: dia memberikan kepadaku dua jenis dari setiap yang dia bawa setiap kali pergi lalu kembali, misalnya unta dan kambing, atau sapi dan budak, dan sebagainya. Semua yang dia bawa setiap kali pergi dan kembali –atau yang dia sembelih–, dia berikan kepadaku sebagiannya berupa dua jenis atau satu jenis.

[60] Al-Mirah adalah makanan, seperti yang terdapat dalam ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf yang disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wata’ala:

وَنَمِيرُ أَهْلَنَا

“Dan kami akan dapat memberi makan keluarga kami.” (Yusuf: 65)

Maksudnya: kami berikan kepada mereka makanan.

Maksud ungkapan ini adalah bahwa dia berkata kepada Ummu Zara‘, “Sambunglah silaturahim dengan mereka dan berikan makanan ini kepada mereka.”

Perempuan ini ingin menyifati suami keduanya dengan sifat kepemimpinan, keberanian, kemuliaan, dan kedermawanan. Dia berkata, “Suamiku adalah laki-laki yang menunggang kuda tunggangan terbaik. Dengannya, dia pergi berperang sambil membawa salah satu tombak terbagus lalu kembali dengan kemenangan sambil membawa ghanimah. Dia membawakan kepadaku sepasang dari setiap jenis hewan yang disembelih. Dan dia tidak menghalangi aku untuk menghadiahkannya kepada orang lain dan menyambung silaturahim dengan keluargaku. Bahkan dia berkata, ‘Makanlah, wahai Ummu Zara‘, dan sambunglah silaturahim dengan keluargamu dan muliakanlah mereka.”

[61] Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa semua yang didapatkan suami kedua ini dari peperangan jika dibagi jumlah hari setelah perang pertama hingga tiba perang kedua, maka bagian setiap hari dari hari-hari itu tidak akan memenuhi satu bejana kecil milik Abu Zara‘. Akan tetapi, menurut Penulis, ungkapan ini hanyalah bentuk hiperbola Ummu Zara‘ dalam mengungkapkan keutamaan Abu Zara‘. Wallahu a‘lam.

[62] Ini adalah bagian yang marfu‘ dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Selanjutnya, berikut ini beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits Ummu Zara‘ ini yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu. Dia berkata,

Di dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran di luar pelajaran-pelajaran yang telah disebutkan, antara lain:

1) Suami harus bisa mempergauli istri dengan cara yang baik dengan bersikap lembut kepadanya dan bercakap-cakap dengannya tentang hal-hal yang mubah, selama hal itu tidak berakibat kepada hal-hal yang terlarang.

2) Suami boleh bercanda, bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, serta menyampaikan rasa cinta kepadanya selama tidak menimbulkan mafsadat yang berakibat istri bersikap menjauh dan berpaling darinya.

3) Dilarang berbangga-banggaan dengan kekayaan, dan boleh menyebutkan keutamaan seseorang dalam hal-hal yang berhubungan dengan agama, serta suami boleh menyebut-nyebut di hadapan istri-istrinya peri kehidupannya bersama mereka dan mengingatkan mereka akan hal itu terlebih-lebih saat tampak pada mereka sikap mengingkari kebaikan suami, suatu sikap yang umumnya menjadi tabiat istri terhadap suaminya.

4) Seorang istri boleh menyebut-nyebut perbuatan baik suaminya.

5) Seorang suami boleh memuliakan salah seorang dari istri-istrinya dengan suatu ucapan atau perbuatan yang dia khususkan untuknya saja meski disaksikan oleh madu-madunya. Tentunya itu dia lakukan saat dia yakin terhindar dari kecondongan kepada salah seorang dari mereka yang bisa berdampak pada berlaku tidak adil. Telah disebutkan di dalam bab-bab tentang hibah bolehnya mengkhususkan salah seorang dari istri-istri dengan hadiah dan pemberian jika memang dia telah memenuhi hak istri-istrinya yang lain.

6) Seorang suami boleh bercakap-cakap dengan istrinya di luar waktu giliran istri tersebut.

7) Cerita tentang umat-umat terdahulu, dan menjadikan mereka sebagai contoh untuk diambil ibrahnya.

8) Boleh menghibur diri dengan menyebutkan berita-berita dan cerita-cerita jenaka dan unik untuk memberi semangat pada jiwa.

9) Anjuran kepada para istri agar memenuhi hak-hak suami, tidak banyak menuntut, dan bersyukur atas kebaikan mereka.

10) Istri boleh mendeskripsikan suaminya dengan kebaikan dan keburukan yang dia ketahui, dan boleh melakukannya dengan cara hiperbolis, asalkan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan karena akan menyebabkan jatuhnya harga diri suami.

11) Boleh memberi keterangan tambahan terhadap berita yang disampaikan secara global oleh penyampai berita, baik dengan cara menanyakannya atau pun dengan menambahkan sendiri secara langsung.

12) Menyebut-nyebut seseorang dengan aib yang dimilikinya adalah boleh selama dimaksudkan untuk membuat orang menjauhi perbuatan yang aib tersebut, dan itu bukan termasuk gibah sebagaimana diisyaratkan oleh al-Khaththabi. Akan tetapi, isyarat tersebut dikomentari oleh Abu Abdullah at-Tamimi, guru ‘Iyadh, dengan mengatakan bahwa menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi hal tersebut hanya bisa dilakukan jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang mendengar para istri tersebut menggibahi suami-suami mereka lalu beliau mentakrirnya (diam dan tidak melarang). Adapun menyampaikan berita suatu kejadian dari orang yang tidak mengalami langsung, maka tidak bisa dikatakan gibah. Ini kasusnya sama dengan perkataan seseorang, “Di tengah masyarakat ini, ada orang yang telah melakukan kejelekan.” Barangkali inilah yang diinginkan oleh al-Khaththabi, dan dengan begitu tidak perlu lagi dikomentari. Al-Maziri berkata, “Sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan para istri tersebut yang menceritakan hal-hal yang mereka benci pada suami-suami mereka bukanlah gibah karena mereka tidak menyebutkan identitas dan nama suami-suami mereka.” Kemudian, Al-Maziri berkata, “Pendalihan seperti ini hanya dibutuhkan jika memang orang yang kepadanya disampaikan cerita itu mendengar langsung perkataan mereka yang menggibahi suami-suami mereka lalu mentakrir perbuatan mereka itu. Akan tetapi, realitanya berbeda sama sekali, yaitu Aisyah menyampaikan kisah tentang sejumlah perempuan yang tidak diketahui identitasnya, maka hal itu tidak berlaku. Seandainya ada seorang perempuan menggambarkan suaminya dengan sifat-sifat yang tidak dia sukai, maka itu merupakan gibah yang diharamkan baik bagi yang mendengar ataupun yang mengatakannya, kecuali jika dia dalam keadaan mengadukan suaminya di hadapan hakim. Ketentuan ini berlaku untuk orang yang diketahui identitasnya. Adapun orang yang tidak diketahui identitasnya, maka tidak masalah mendengarkan cerita tentang dirinya karena dia tidak akan merasa tersakiti, kecuali jika diketahui bahwa orang yang mendengar cerita itu mengetahui orang yang dimaksud. Kemudian, selain itu, orang-orang yang diceritakan dalam hadits itu adalah orang-orang yang tidak diketahui sosoknya, apalagi identitasnya. Demikian pula, para perempuan yang bercakap-cakap tersebut pun tidak bisa dipastikan keislaman mereka sehingga bisa diberlakukan pada mereka hukum gibah. Oleh karena itu, berdalil dengan hadits ini untuk hal tersebut menjadi batal.”

13) Pegangan bagi orang yang tidak menyukai pernikahan dengan laki-laki yang menjadi suaminya berdasarkan sikap Ummu Zara terhadap suami keduanya di mana dia mengakui upaya suaminya itu yang berusaha memuliakan dirinya dengan segenap kemampuannya, tetapi pada saat yang bersamaan dia merendahkannya dan mengecilkannya dibanding dengan suami pertamanya.

14) Perasaan cinta bisa menutupi perlakuan jelek yang dilakukan seseorang. Meskipun Abu Zara‘ telah berlaku buruk kepadanya dengan menceraikan dirinya, hal itu tidak menghalangi Ummu Zara‘ dari mendeskripsikan sifat-sifat Abu Zara‘ secara hiperbolis hingga pada batas-batas yang sangat berlebihan. Di dalam beberapa jalan periwayatan hadits ini terdapat isyarat bahwa Abu Zara‘ akhirnya menyesal telah menceraikan dirinya dan menggubah satu syair untuk menyatakan hal itu. Di dalam riwayat Umar bin Abdullah bin ‘Urwah dari kakeknya dari Aisyah bahwa dia menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Abu Zara‘ dan Ummu Zara‘ lalu dia menyebutkan syair Abu Zara‘ tentang Ummu Zara‘.

15) Boleh mendeskripsikan sifat-sifat dan kecantikan seorang perempuan kepada laki-laki lain asalkan perempuan tersebut tidak disebutkan identitasnya. Sedangkan yang terlarang adalah mendeskripsikan sifat dan kecantikan seorang perempuan tertentu (yang disebutkan identitasnya) kepada laki-laki lain, atau mendeskripsikan hal-hal atau bagian-bagian perempuan tersebut yang tidak boleh seorang laki-laki sengaja memandangnya.

16) Penyerupaan antara dua hal tidak melazimkan keserupaan dua hal tersebut dalam segala hal. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Aku bagimu adalah seperti Abu Zara‘.” Maksud penyerupaan di sini telah dijelaskan di dalam riwayat al-Haitsam, yaitu dalam hal kecintaan dan seterusnya, dan bukan dalam segala sifat yang dimiliki Abu Zara‘, seperti kelebihan harta, anak laki-laki, pelayan, dan sebagainya, dan semua hal yang disebutkan berkait dengan perkara-perkara agama.

17) Menyatakan talak secara kinayah tidak membuat talak otomatis jatuh kecuali jika disertai dengan niat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini menyerupakan dirinya dengan Abu Zara‘, padahal Abu Zara‘ telah menceraikan istrinya, namun hal itu tidak berarti beliau juga menjatuhkan talaknya karena beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meniatkan begitu.

18) Bolehnya meneladani siapa pun dari umat mana pun yang memiliki keutamaan. (Dinukil dari kitab Fiqh at-Ta‘amul baina az-Zaujain).

Demikian penjelasan hadits kisah Ummu Zara’ dari Aisyah hadits riwayat Bukhari 5189 dan Muslim 2448. Semoga bermanfaat.

Leave a Comment