Fatwapedia.com – Bagi anda yang kebetulan punya hutang puasa Ramadhan yang hendak diqadha, namun disisi lain anda punya puasa wajib lainnya seperti Puasa Denda Sumpah atau Nadzar. Lantas mana yang didahulukan?
Pertanyaan:
Saya mempunyai hutang puasa Ramadhan dan saya juga mempunyai hutang puasa denda sumpah, saya pernah mendengar bahwa yang pertama kali harus saya penuhi adalah qadha’ puasa Ramadhan dan berikutnya adalah puasa denda sumpah?, dan apakah urutan ini wajib atau boleh menyelisihinya?
Jawaban:
Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah. Barang siapa yang masih mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka dia masih boleh menundanya sampai sebelum masuk Ramadhan tahun berikutnya.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Kesimpulannya adalah bahwa barang siapa yang masih mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka dia masih boleh menundanya sampai sebelum masuk Ramadhan pada tahun berikutnya, berdasarkan riwayat ‘Aisyah bahwa ia berkata:
( كان يكون علي الصيام من شهر رمضان ، فما أقضيه حتى يجيء شعبان .
“Bahwa saya masih mempunyai hutang puasa Ramadhan, dan saya tidak menggantinya kecuali sampai pada bulan Sya’ban”. (HR. Muttafaq ‘Alaihi)
Tidak dibolehkan baginya untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya tanpa udzur; karena ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- tidak menundanya demikian, dan kalau hal itu dibolehkan maka beliau juga akan menundanya”. (Al Mughni: 3/85)
Adapun kaffarat sumpah, maka para ulama telah berbeda pendapat apakah wajib dilakukan segera atau boleh menundanya ?
Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (10/14):
“Jumhur ulama berpendapat, bahwa tidak boleh menunda kaffarat sumpah dan wajib ditunaikan segera setelah melakukan pelanggaran sumpah; karena hukum asal dari perintah adalah muthlak (umum)”.
Syiekh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Termasuk menjaga sumpah adalah menunaikan kaffaratnya sesaat setelah melakukan pelanggaran sumpah, kaffarat itu wajib dilaksanakan langsung; karena hukum asal dari kewajiban adalah segera ditunaikan, yaitu dengan melaksanakan apa yang menjadi tuntutan sumpahnya”. (Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab Tauhid: 2/456, Baca juga As Syarh Al Mumti’: 15/159)
Asy Syafi’iyyah berpendapat yang benar adalah wajib menunaikan kaffarat segera sesaat setelah melanggar sumpahnya, seperti; dia bersumpah untuk meninggalkan maksiat tertentu, kemudian dia melakukannya, mereka berkata: “Pada kondisi seperti ini dia wajib segera menunaikan kaffaratnya”.
Imam An Nawawi –rahimahullah- berkata:
“Adapun kaffarat jika tidak menyangkut orang lain, seperti; kaffarat pembunuhan tidak sengaja, kaffarat sumpah pada kondisi tertentu, maka pelaksanaannya lebih longgar tidak ada perbedaan dalam masalah ini; karena hal itu memang dibolehkan. Namun jika kaffarat itu menyangkut orang lain, apakah dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda ?, dalam masalah ini ada dua pendapat yang disebutkan oleh Qaffal dan rekan-rekan kami dalam madzhab, pendapat yang benar adalah yang dilakukan sesegera mungkin”. (Al Majmu’: 3/70)
Maka sesuai dengan madzhab jumhur ulama diharuskan untuk mendahulukan kaffarat sumpah; karena menunjukkan langsung, sementara puasa qadha’ Ramadhan menunjukkan kelonggaran.
Jika waktu pelaksanaannya sempit dan tinggal beberapa hari lagi sudah memasuki Ramadhan berikutnya dan tidak cukup untuk puasa qadha’ dan puasa kaffarat, maka dalam kondisi seperti ini didahulukan puasa qadha’; karena hal itu lebih kuat dan mereka sudah menjelaskannya secara tekstual untuk mendahulukan puasa qadha’ dari pada pusa nadzar.
Imam Nawawi –rahimahullah berkata:
“Maka jika ketinggalan puasa Ramadhan karena udzur, lalu udzur tersebut menghilang, maka ia wajib mengqadha’ yang ketinggalan dari Ramadhan tersebut; karena yang demikian lebih kuat dari pada pusa nadzar”. (Al Majmu’: 6/391). Wallahu A’lam.