Kumpulan 20 Hadits One Day One Hadits, Lengkap Dengan Teks Arab, Arti dan Penjelasannya

Kumpulan 20 Hadits One Day One Hadits, Lengkap Dengan Teks Arab, Arti dan Penjelasannya

Fatwapedia.com – Apa itu one day one hadits? Ini merupakan program untuk meningkatkan kemampuan umat islam dalam memahami hadits-hadits nabawi yang merupakan sumber hukum islam kedua setelah al Qur’an dengan sistematis dan metode yang sangat mudah. Selain itu peserta juga bisa menghafalkannya setiap hari minimal 1 hadits lengkap dengan terjemahnya. Dan berikut ini kompilasi hadits one day one hadits yang penulis susun sesuai topik dengan mencantumkan teks hadits arti dan kandungan haditsnya.

LARANGAN BANYAK BERTANYA

عن أبي هريرةَ رضي الله عنه عن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ سُؤالِهِمْ واخْتِلافُهُمْ عَلَى أنْبيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْء فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أمَرْتُكُمْ بشيءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. bersabda: “Tinggalkanlah apa yang saya tinggalkan untukmu semua -maksudnya: Jangan ditanyakan apa yang tidak saya terangkan kepadamu semua, kerana hanyasanya yang menyebabkan kerosakan orang-orang – ummat – yang sebelumnya itu ialah sebab banyaknya mereka bertanya-tanya – yang tidak berfaedah – lagi pula mereka suka menyalahi kepada Nabi-nabi mereka. Oleh sebab itu jikalau saya melarang padamu akan sesuatu hal, maka jauhilah itu dan jikalau saya memerintah padamu semua akan sesuatu perkara, maka lakukanlah itu sekuat usahamu.” (Muttafaq ‘alaih)

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:

1. Sesuatu yang merupakan larangan, maka sama sekali jangan dilakukan, tetapi kalau berupa perintah, cubalah lakukan sedapat-dapatnya dan jangan putus asa untuk memperbaiki dan menyempurnakannya. Misalnya shalat di waktu sakit: Tidak dapat dengan berdiri, lakukan dengan duduk; tidak dapat dengan duduk, boleh dengan berbaring dan pendek kata sedapat mungkin, asal jangan ditinggalkan sekalipun hanya dengan isyarat memejamkan serta membuka mata dalam melakukan shalat it

2. Permintaan yang melampaui batas tidak bermanfaat sedikitpun.

3. Seseorang dilarang bertanya untuk menentang dan mencari-cari kesalahan, serta menanyakan suatu perkara yang tidak penting yang di sisi lain meninggalkan pertanyaan tentang perkara yang lebih penting.Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti ini dan sejenisnya yang dilarang oleh syari’at

4. Adapun pertanyaan untuk mencari bimbingan tentang agama, baik ushul maupun furu’-nya atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah, maka ini merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam

5. Harus ada mujahadah dalam meninggalkan larangan dan menjalankan perintah.

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran :

Pertanyaan yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam darinya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu”[QS. Al-Maaidah : 101].

Adapun pertanyaan untuk mencari bimbingan tentang agama, baik ushul maupun furu’-nya atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah, maka ini merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam. Bahkan hal itu sangat dianjurkan karena merupakan sarana untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan memahami hakekat syari’at ini. Allah ta’ala telah berfirman :

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

”Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS. Al-Anbiyaa’ : 7].

3- Perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam : { وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ } ”Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian”. Ini adalah satu kaidah yang sangat besar, yang ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

”Maka bertaqwalah kamu kepada Alah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16].

QANAAH

Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141.

Hadits tersebut menunjukkan bahwa tiga nikmat di atas jika telah ada dalam diri seorang muslim, maka itu sudah jadi nikmat yang besar. Siapa yang di pagi hari mendapatkan tiga nikmat tersebut berarti ia telah memiliki dunia seisinya.

Hadits tersebut dibawakan oleh Ibnu Majah dalam Bab ”Qana’ah”. Di mana rizki yang disebutkan dalam hadits tersebut dikatakan cukup dan patut disyukuri. Inilah sifat qana’ah yang harus dimiliki oleh setiap muslim.

Pembahasan qana’ah dalam sunan Ibnu Majah tersebut disebutkan pula hadits dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ

”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 4138, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dalam bab yang sama pada Sunan Ibnu Majah disebutkan pula hadits,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ ». قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ « عَلَيْكُمْ »

”Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Lihatlah pada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah perhatikan orang yang berada di atas kalian. Lebih pantas engkau berakhlak seperti itu sehingga engkau tidak meremahkan nikmat yang telah Allah anugerahkan -kata Abu Mu’awiyah- padamu.” (HR. Ibnu Majah no. 4138).

Disebutkan pula hadits Abu Hurairah berikut,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ »

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, Ibnu Majah no. 4137). Ghina nafs dalam hadits ini yang dimaksud adalah tidak pernah tamak pada segala hal yang ada pada orang lain.

Dalam hadits tersebut terdapat pelajaran dari Ibnu Baththol di mana beliau berkata ketika menjelaskan hadits dalam Shahih Bukhari,

يريد ليس حقيقة الغنى عن كثرة متاع الدنيا، لأن كثيرًا ممن وسع الله عليه فى المال يكون فقير النفس لا يقنع بما أعطى فهو يجتهد دائبًا فى الزيادة، ولا يبالى من أين يأتيه، فكأنه فقير من المال؛ لشدة شرهه وحرصه على الجمع، وإنما حقيقة الغنى غنى النفس، الذى استغنى صاحبه بالقليل وقنع به، ولم يحرص على الزيادة فيه

”Yang dimaksud kaya bukanlah dengan banyaknya perbendaharaan harta. Karena betapa banyak orang yang telah dianugerahi oleh Allah harta malah masih merasa tidak cukup (alias: fakir). Ia ingin terus menambah dan menambah. Ia pun tidak ambil peduli dari manakah harta tersebut datang. Inilah orang yang fakir terhadap harta (tidak merasa cukup dengan harta). Sikapnya demikian karena niatan jelek dan kerakusannya untuk terus mengumpulkan harta. Padahal hakikat kaya adalah kaya hati, yaitu seseorang yang merasa cukup dengan yang sedikit yang Allah beri. Ia pun tidak begitu rakus untuk terus menambah.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

مَنْ كَانَ طَالِبًا لِلزِّيَادَةِ لَمْ يَسْتَغْنِ بِمَا مَعَهُ فَلَيْسَ لَهُ غِنًى

”Siapa yang terus ingin menambah dan menambah lalu tidak pernah merasa cukup atas apa yang Allah beri, maka ia tidak disebut kaya hati.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 140).

Yang dimaksud qana’ahsebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththol,

الرضا بقضاء الله تعالى والتسليم لأمره علم أن ما عند الله خير للأبرار،

”Ridho dengan ketetapan Allah Ta’ala dan berserah diri pada keputusan-Nya yaitu segala yang dari Allah itulah yang terbaik.” Itulah qana’ah.

Namun Tak Mengapa dengan Kaya Harta sebagai mana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

”Tidak mengapa seseorang itu kaya asalkan bertakwa. Sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan hati yang bahagia adalah bagian dari nikmat.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4: 69).

Jadi tak mengapa kaya asalkan bertakwa. Yang namanya bertakwa, selalu merasa cukup dengan kekayaan tersebut. Ia tidak rakus dengan terus menambah. Kalau pun menambah karena hartanya dikembangkan, ia pun merasa cukup dengan karunia Allah yang ada. Dan yang namanya bertakwa berarti selalu menunaikan kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut melalui zakat, menempuh jalan yang benar dalam mencari harta dan menjauhi cara memperoleh harta yang diharamkan Islam.

SOMBONG PENGHALANG KE SURGA

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi SAW, baginda bersabda: “Tidak akan masuk syurga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan kasutnya bagus – cantik (apakah ini termasuk kesombongan)?” Baginda menjawab: “Sesungguhnya Allah itu cantik dan menyukai yang cantik, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim No: 131) Status: Hadis Sahih

Kandungan hadits :

1. Sifat sombong adalah turunan iblis, merasa dirinya lebih baik dari yang lain

2. Imam Nawawi berkata: Hadis ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merasa diri sendiri lebih benar, paling lurus, paling khusuk, disertai merendahkan orang lain, serta merasa bosan, jenuh, bahkan menolak kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya

3. Tidak masuk syurga orang yang memiliki sifat sombong dalam dirinya walaupun sebesar biji sawi

4. Sifat sombong, adalah merasa dia saja yang betul dan benar, kondisi demikian akan mendorong seseorang menolak kebenaran dan merendah serta menyepelekan orang lain.

5. Dalam kitab Riyadusshalihin, Sombong itu adalah menolak kebenaran dengan menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apa dan melihat dirinya lebih dibandingkan dengan orang lain

6. Suka kepada keindahan pakaian tidak termasuk kepada sifat kesombongan.

Rasulullah SAW dalam hadis menjelaskan definisi sombong :

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Sombong ialah tidak menerima kebenaran dan menghina sesama manusia. HR Muslim 131

Menurut Raghib Al Asfahani Ia mengatakan, “Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri . Memandang dirinya lebih besar dari pada orang lain, Kesombongan yang paling parah adalah sombong kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatanataupun mengesakan-Nya”. Fathul Bari 10 hal 601

Dalam buku ihya’ ulumuddin Al-Ghazali nendefinisikan sombong adalah suatu sifat yang ada didalam jiwa yang tumbuh dari penglihatan nafsu dan tampak dalam perbuatan lahir. Mutiara Ihya Ulumuddin 1997:293

Secara universal maka, perbuatan sombong dapat dipahami dengan membanggakan diri sendiri, mengganggap dirinya lebih dari orang lain. perbuatan sombong dibagi beberapa tingkatan yaitu:

Kesombongan terhadap Allah SWT, yaitu dengan cara tidak tunduk terhadap perintahnya, enggan menjalankan perintahnya

Sombong terhadap rasul, yaitu perbuatan enggan mengkuti apa yang diajarkannya dan menganggap Rasulullah sama sebagaimana dirinya hanya manusia biasa.

Sombong terhadap sesama manusia dan hamba ciptaanya, yaitu menganggap dirinya lebih dari orang lain dan makhluk ciptaan Allah yang lain dengan kata lain menghina orang lain atau ciptaan Allah lainya.

Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Isra’: 37

وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا (٣٧)

dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

مَرَحًا :

Kesombongan dan kecongkakan. dalam tafsir Al-Qurtubi pengertiannya adalah kegembiraan yang sangat, sombong dalam berjalan.

لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ :

Kamu takkan dapat menjadikan jalan di bumi dengan pijakanmu dan jejakmu yang hebat.

Dalam ayat ini Allah SWT melarang hambanya berjalan dengan sikap congkak dan sombong di muka bumi. Sebab kedua sikap ini adalah termasuk memuji diri sendiri yang tidak disukai oleh Allah dan orang lain.

Almaraghi dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini bahwa, seorang manusia hendaknya jangan berjalan dengan sikap sombong, bergoyang-goyang seperti jalannya raja yang angkuh. Sebab dibawahnya terdapat bumi yang tidak akan mampu manusia menembusnya dengan hentakkan dan injakkan kakinya yang keras terhadapnya. sedang diatasnya terdapat gunung yang takkan mampu manusia menggapai, menyamai dengan ketinggian atau kesombongannya.

Dalam tafsir Al-Qurtubi maksud menyamai gunung adalah manusia dengan dengan kemampuanya ia tidak akan bisa mencapai ukuran seperti itu. Sebab manusia adalah hamba yang sangat hina yang dibatasi dari bawah dan atasnya. Sedang sesuatu yang dibatasi itu terkungkung dan lemah. Dan yang dimaksud dengan bumi, adalah engkau menembusnya dan bukan menempuh jaraknya. Jadi manusia dilingkupi oleh dua benda mati yang kamu lemah dari keduanya. Maka bagi orang yang lemah dan terbatas, tak patut baginya bersikap sombong.

ANAK PEREMPUAN TAMENG NERAKA

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda.

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ لَمْ يَبْلُغُوْا الحنث إلاَّ أدْخَلَهُ الله اْلْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إيَّاهُمْ.

Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga anakanya yang belum mencapai umur baligh, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga karena karunia dan rahmatNya kepada mereka.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَمُوْتُ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَا تَمَسُّهُ النَّارُ إلَّا تِحْلَةُ الْقَسَمِ.

Tidaklah seorang muslim tiga anaknya meninggal dunia tidak akan terkena neraka, kecuali hanya sekedar penebus ketentuan. HR Bukhari dalam Fathul Bari jilid 3/461-463.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَمُوْتُ لإحْدَاكُنَّ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ. وَاثْنَانِ

Tidaklah salah seorang di antara kalian tiga anaknya meninggal dunia lalu bersabar, kecuali ia masuk surga. Dan dua anak juga. [HR Bukhari dan Muslim].

Allah Azza wa Jalla juga akan memberi penghargaan kepada seorang mukmin, berupa pertemuan di surga dengan anak cucunya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآأَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [Ath Thur:21].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa anak kecil lalu berkata, ”Wahai, Rasulullah. Berdo’alah untuknya, karena aku menguburkan tiga anak.” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ”Engkau telah memasang tirai yang kuat dari api neraka. Ia memanggil di pintu surga, lalu diantara mereka yang bertemu dengan bapaknya lalu memegang baju orang tuanya dan tidak dilepaskan hingga memasukkan ke dalam surga.” [HR Muslim].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami tidak mampu bertemu denganmu di suatu majlis, maka berilah janji waktu pada suatu hari agar kami bertanya tentang agama?” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda,”Kita akan bertemu di rumah fulan.” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang pada hari yang telah dijanjikan dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَا مِنْكُمْ امْرَأةٌ يَمُوْتَ لَهَا ثَلَاثٌ مِنَ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتْ الْجَنَّةَ. قاَلَتِ امْرَأةٌ وَاثْناَنِ قَالَ: وَاثْناَنِ.

Tidaklah salah seorang wanita di antara kalian tiga anaknya meninggal dunia lalu bersabar berharap pahala, kecuali ia masuk surga. Seorang wanita bertanya,”Bila yang meninggal dunia dua anak?” Beliau bersabda,”Dan dua anak juga.” [HR Muslim].

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda

من كان له ابنتان فأحسن إليهما كن له سترا من النار

“Siapa yang memiliki dua anak perempuan dan berbuat baik kepada keduanya, maka keduanya akan menjadi penghalangnya dari neraka.”

Demikian pula jika dia memiliki saudara perempuan, bibi atau semacamnya, lalu dia berbuat baik kepadanya, maka kami harapkan mereka semuanya akan menjadi penyebabnya masuk surga. Karena kapan saja seseorang berbuat baik kepada mereka, maka dirinya akan mendapatkan pahala yang besar dan terhalang dari api neraka dengan amal baiknya.

Hal ini hanya khusus berlaku bagi orang-orang muslim. Yang tentunya selama hidupnya meninggalkan dosa dosa besar, mengerjakan kewajiban agama, dan wafat dalam keadaan muslim, maka jika seorang muslim, ketika mengamalkan hal ini dengan berharap pahala dari Allah Ta’ala, akan menjadi sebab keselamatan baginya dari neraka. Selamatnya seseorang dari neraka dan masuknya dia ke dalam surga memiliki sebab yang banyak, hendaknya seorang mukmin memperbanyak sebab-sebab tersebut. Islam itu sendiri merupakan satu-satunya sebab utama seseorang masuk surga dan selamat dari neraka.

Ada pula amalan yang apabila dilakukan seorang muslim, akan menyebabkannya masuk surga dan selamat dari neraka. Seperti orang yang mendapatkan karunia anak-anak dan saudara perempuan, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka semuanya akan menjadi penghalangnya dari neraka.

Mereka (para sahabat) berkata, “Bagaimana jika anaknya hanya dua.” Beliau berkata, “Ya, dua orang (juga termasuk)” Mereka tidak bertanya kepada beliau bagaimana jika anaknya satu.

Terdapat riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

يقول الله عز وجل ما لعبدي المؤمن جزاء إذا أخذت صفيه من أهل الدنيا فاحتسب إلا الجنة

“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang beriman apabila dia (sabar dengan) mengharap pahala saat orang yang dia cintai diambil (wafat), kecuali surga.”

MERENDAHKAN KAUM BERIMAN

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ فَلَمْ يَنْصُرْهُ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ أَذَلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif dari bapaknya, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang di sampingnya ada seorang Mukmin yang direndahkan, lalu dia tidak menolongnya padahal dia mampu, nescaya Allah Azzawajalla akan merendahkannya di hadapan semua makhluk pada Hari Kiamat”.(HR Ahmad No: 15416) Status: Hadis Sahih

Kandungan hadits :

1. Setiap Muslim dituntut memelihara hak persaudaraan dengan memiliki sifat berkasih sayang dan bersaling bantu dalam perkara kebenaran

2. Jika saudara sesama muslim dizalimi, tertimpa fitnah atau semisalnya, maka menjadi tanggungjawabnya untuk membantu

3. Mukmin yang membiarkan saudaranya direndahkan sedangkan dia mampu untuk menolongnya, di akhirat nanti dia akan direndahkan di hadapan semua makhluk

4. Bantulah saudaramu yang terdzalimi hartanya, diri dan kehormatannya, Jangan sesekali kita biarkan orang lain menzalimi kehidupan saudara sesama muslim.

Allah SWT berfirman;

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍ۬‌ۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥۤ‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ۬

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagiannya menjadi penolong bagi sebagian yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan dan mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana”. (QS At-Taubah [9]: 71)

Di dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu ada beberapa orang yang bukan nabi dan bukan syuhada, namun menginginkan keadaan seperti mereka, karena kedudukannya di sisi Allah.” Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, tolong kami beritahu siapa mereka?”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Mereka adalah satu kaum yang cinta-mencintai dengan ruh Allah padahal tidak ada hubungan sanak saudara, kerabat di antara mereka, serta tidak ada hubungan harta benda yang ada pada mereka. Maka, demi Allah wajah-wajah mereka sungguh bercahaya, sedang mereka tidak takut apa-apa di kala orang lain takut, dan mereka tidak berduka cita di kala orang lain berduka cita.” (HR.Abu Daud)

MUNAFIQ

عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عَلَامَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلَاثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الْعَمِّيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ أَبُو زُكَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ الْعَلَاءَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يُحَدِّثُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Di antara tanda orang munafik ada tiga: apabila dia berkata, dia berbohong, apabila dia berjanji dia mengingkari, dan apabila dia diberi amanah, dia berkhianat.”

Telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Mukram al-Ammi telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin Qais Abu Zuhair dia berkata, saya mendengar al-Ala’ bin Abdurrahman menceritakan dengan sanad ini seraya berkata, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, walaupun dia berpuasa dan solat serta menuntut atau mengaku bahwa dia seorang Muslim.” (HR Muslim No: 90) Status: Hadis Sahih

Kandungan hadits

1. Munafik adalah seseorang yang menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan

2. Tiga tanda orang munafik yang perlu dijauhi yaitu berbohong, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah yang diberi

3. Sifat munafik akan kekal walaupun dia mengerjakan shalat, berpuasa dan mengaku sebagai Muslim

4. “Berkata” termasuk dalam bentuk tulisan, gambar, dan video di medsos

5. “Amanah” adalah tanggungjawab disemua level untuk segala orang. Di dunia birokrasi bentuk dari khianat terhadap amanah adalah jika gaji diambil tapi pekerjaan tidak sempurna. Bertambah tidak amanah bila gaji diambil, sogok, suap dan pungli diterim

6. “Janji” tidak hanya dibuat karena ingin meraih dukungan. Janji adalah “hutang” yang wajib dipenuhi. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلا عَدْلٌ

Barangsiapa yang tidak menepati janji seorang muslim, maka dia mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan tebusan.” (HR. Bukhari, 1870 dan Muslim, 1370)

7. Jadikan shalat dan puasa kita sebagai perisai dari sifat munafik. Hadis Nabi SAW:

اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ

Puasa adalah perisai atau benteng (yang melindungi pelakunya daripada keburukan) (Riwayat Tirmidzi No: 2749).

KENIKMATAN HIDUP

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَمُجَاهِدُ بْنُ مُوسَى قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي شُمَيْلَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مِحْصَنٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ، قال: قال رَسُولُ اللَّهِ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’id dan Mujahid bin Musa, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abu Syumailah dari Salamah bin ‘Ubaidillah bin Mihshan al-Anshari dari ayahnya dia berkata, “Barangsiapa yang di pagi hari sehat badannya, tenang jiwanya, dan dia mempunyai makanan di hari itu, maka seolah-olah dunia ini dikaruniakan kepadanya.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah dalam “Sunan”-nya dalam kitab “az-Zuhd”, bab “al-Qana’ah”, dengan nomer hadits (4141),

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist :

1. Setiap manusia, apalagi sebagai muslim, tentu mendambakan kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, bahkan kalau perlu seolah-olah dunia ini menjadi milik kita

2. Untuk bisa merasakan kehikmatan hidup di dunia ini, ada tiga perkara yang harus dicapai oleh seorang muslim, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- di atas,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa yang di pagi hari sehat badannya, tenang jiwanya, dan dia mempunyai makanan di hari itu, maka seolah-olah dunia ini dikaruniakan kepadanya

3. Badan yang sehat merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi manusia yang tidak ternilai harganya, rasanya tidak ada artinya segala sesuatu yang kita miliki bila kita tidak memiliki kesehatan jasmani. Apa artinya harta yang berlimpah dengan mobil yang mahal harganya, rumah yang besar dan bagus, kedudukan yang tinggi dan segala sesuatu yang sebenarnya menyenangkan untuk hidup di dunia ini bila kita tidak sehat. Oleh karena kesehatan bukan hanya harus dibanggakan dihadapan orang lain, tetapi yang lebih penting lagi adalah harus disyukuri kepada yang menganugerahkannya, yakni Allah –subhaanahu wa ta’ala-.

4. Hal yang tidak kalah pentingnya dari badan yang sehat adalah jiwa yang tenang, sebab apa artinya manusia memiliki jiwa yang sehat bila jiwanya tidak tenang, bahkan badan yang sakit sekalipun tidak menjadi persoalan yang terlalu memberatkan bila dihadapi dengan jiwa yang tenang, apalagi ketenangan jiwa bila menjadi modal yang besar untuk bisa sembuh dari berbagai penyakit

5. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu berorientasi kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-, karena itu, orang yang ingin meraih ketenangan hidup dijalani kehidupan dengan segala aktivitasnya karena Allah, dengan ketentuan yang telah digariskan Allah–subhaanahu wa ta’ala-dan untuk meraih ridha dari Allah–subhaanahu wa ta’ala

6. Dengan demikian, sumber ketenangan hidup bagi seorang muslim adalah keimanan kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala- dan ia selalu berdzikir kepada Allah

7. Oleh karena itu, memiliki makanan yang cukup atau perekonomian yang memadai merupakan suatu kenikmatan tersendiri dalam hidup ini, sedangkan bila kondisi kehidupan seseorang dalam keadaan lapar, dan ia tidur dalam keadaan yang demikian, maka hal itu merupakan sesuatu yang sangat jelek, karenanya Rasulullah Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- selalu berdo’a sebagaimana terdapat dalam hadits,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُوعِ فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lapar, karena ia adalah teman tidur yang paling jelek”. HR. Abu Dawud, dalam kitab: Witir, bab: al-Isti’adzah (Minta Perlindungan)

Tema hadist yang berkaitan dengan Al Qur’an :

1. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu berorientasi kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-, karena itu, orang yang ingin meraih ketenangan hidup dijalani kehidupan dengan segala aktivitasnya karena Allah, dengan ketentuan yang telah digariskan Allah–subhaanahu wa ta’ala-dan untuk meraih ridha dari Allah–subhaanahu wa ta’ala-. Dengan demikian, sumber ketenangan hidup bagi seorang muslim adalah keimanan kepada Allah .

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram (tenang) dengan mengingat Allah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’ad: 28).

2. Disamping itu, seandainya kematian akan menjemput dirinya, keimanan kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala– dengan segala aplikasinya tidak akan membuat seorang muslim takut kepada mati, bahkan ia akan menyambut kematian itu dengan jiwa yang tenang, Allah –subhaanahu wa ta’ala- pun memanggilnya dengan panggilan yang menyenangkan,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ، ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً، فَادْخُلِي فِي عِبَادِي، وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr : 27 – 30).

JALAN MENUJU SURGA

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرْ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ . [رواه مسلم]

Dari Abu Abdullah, Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiallahuanhuma : Seseorang bertanya kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata : Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram ) dan saya tidak tambah sedikitpun, apakah saya akan masuk surga ?. Beliau bersabda : Ya. (Riwayat Muslim)

Pelajaran yang terdapat dalam hadits :

1. Setiap muslim dituntut untuk bertanya kepada ulama tentang syariat Islam, tentang kewajibannya dan apa yang dihalalkan dan diharamkan baginya jika hal tersebut tidak diketahuinya

2. Penghalalan dan pengharaman merupan aturan syariat, tidak ada yang berhak menentukannya kecuali Allah ta’ala

3. Amal saleh merupakan sebab masuknya seseorang kedalam syurga

4. Keinginan dan perhatian yang besar dari para shahabat serta kerinduan mereka terhadap syurga serta upaya mereka dalam mencari jalan untuk sampai kesana.

Tema hadits yang berkaitan dengan Al-Quran

1. Evaluasi diri / muhasabah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Hasyr: 18]

2. Rindu syurga

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika ia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,” (At-Tahrim: 11)

3. Memperhatikan halal haram dalam kehidupan

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk. [At-taubah:29]

BERTERIMA KASIH ATAS PEMBERIAN ORANG LAIN

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Abu Hurairah RA berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia.” HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, 1/702.

Kandungan hadits :

1. Orang yang tidak berterima kasih di atas kebaikan orang lain terhadapnya bermakna, ia tidak bersyukur kepada Allah atas limpah nikmat yang diperoleh

2. Al-Khaththaby: barangsiapa kebiasaannya adalah kufur terhadap nikmat (kebaikan) orang dan tidak bersyukur atas kebaikan mereka, maka niscaya termasuk kebiasaannya adalah kufur terhadap nikmat Allah Ta’ala dan tidak bersyukur kepada-Nya

3. Bahwa Allah SWT tidak menerima syukur seorang hamba atas kebaikan Allah kepadanya, jika seorang hamba tidak bersyukur kepada kebaikan orang lain. Lihat kitab Sunan Abu Daud dengan Syarah Al Khaththaby, 5/ 157-158.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ أُعْطِىَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ.

Jabir bin Abdullah RA berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang diberikan sebuah hadiah, lalu ia mendapati kecukupan maka hendaknya ia membalasnya, jika ia tidak mendapati maka doakan ia (yang memberi itu) barangsiapa yang memujinya, maka sungguh ia telah bersyukur kepadanya, barangsiapa menyembunyikannya sungguh ia telah kufur.” (HR. Abu Daud no. 617)

4. Cara membalas kebaikan dan pemberian orang lain:

a. Membalas pemberian tersebut

b. Memuji/berkata baik kepada orang tersebut

c. Mengucapkan Jazakallah khairan kepada orang tersebut

d. Mendoakan orang tersebut

DENGKI

عَنْ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّام

Dari Anas bin Malik RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Janganlah kamu saling membenci, jangan saling iri hati, saling bermusuhan, saling memutuskan hubungan dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari” (HR Bukhari No: 5605) Status: Hadis Sahih

Hadits yang semakna dari jalur lain adalah sebagai berikut

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا ، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” HR. Muslim (no. 2564), Imam Ahmad (II/277), dll.

Kandungan hadits :

1. Sifat dengki ada pada watak manusia karena manusia tidak suka diungguli orang lain dalam kebaikan apa pun.

Terkait perasaaan dengki ini, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok:

Kelompok Pertama

Kelompok ini terbagi menjadi :

1. yang berusaha menghilangkan kenikmatan yang ada pada orang yang didengki dengan berbuat zhalim kepadanya, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Kemudian berusaha mengalihkan kenikmatan tersebut kepada dirinya.

2. yang berusaha menghilangkan kenikmatan dari orang yang ia dengki tanpa menginginkan nikmat itu berpindah kepadanya. Ini merupakan dengki paling buruk dan paling jelek.

Ini adalah dengki yang tercela, dilarang dan merupakan dosa iblis yang dengki kepada Nabi Adam Alaihissallam ketika melihat beliau mengungguli para malaikat, karena Allâh menciptakan beliau dengan tangan-Nya sendiri, menyuruh para malaikat sujud kepada beliau, mengajarkan nama segala hal kepada beliau, dan menempatkan beliau di dekat-Nya. Iblis tidak henti-hentinya berusaha mengeluarkan Nabi Adam Alaihissallam dari surga hingga akhirnya beliau dikeluarkan darinya.

Sifat dengki seperti inilah yang melekat pada orang-orang yahudi. Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dalam banyak ayat al-Qur’ân tentang hal itu. Seperti firman-Nya :

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Banyak diantara ahli kitab yang ingin sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam hati mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka…” [al-Baqarah/2:109]

Atau firman Allâh Azza wa Jalla :

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allâh kepadany ? (an-Nisâ’/4:54)

Imam Ahmad rahimahullah dan at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan hadits dari az-Zubair bin al-Awwâm Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ ، حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ.

Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling mencintai ? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR at Tirmidzi 2510)

Kelompok Kedua

Kelompok ini, jika dengki kepada orang lain, mereka tidak menuruti perasaan dengkinya dan tidak berbuat zhalim kepada orang yang ia dengki, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Mereka ini terbagi dalam dua jenis

1. Yang tidak kuasa memupus rasa dengki dari hatinya. Perasaan ini telah menguasai dirinya. Orang yang seperti ini tidak berdosa, terapi mengundang penyakit untuk dirinya sendiri, biasanya penyebab penyakit jantung.

2. Yang sengaja memunculkan kedengkian pada dirinya, mengulangi lagi. Ini dilakukan berulang kali disertai harapan kenikmatan yang melekat pada orang yang didengki sirna. Dengki seperti ini mirip dengan azam (tekad) untuk melakukan kemaksiatan. Dengki semacam ini mengotori hati, sehingga menjadi qolbun maridlun.

Kelompok Ketiga

Kelompok ini, jika dengki, ia tidak mengharapkan nikmat orang yang ada pada orang yang didengki itu hilang, namun ia berusaha mendapatkan kenikmatan yang sama dan ingin seperti dia. Jika kenikmatan yang dikejarnya adalah kenikmatan dunia, maka itu tidak ada nilai kebaikannya, seperti perkataan orang-orang yang mabuk dunia

“…Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun ”( al-Qashash/28:79)

Jika nikmat yang dikejar itu nikmat akhirat, maka itu baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٍ آتَاهُ الله مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ.

Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang : Orang yang diberi al-Qur’ân oleh Allâh kemudian ia melaksanakannya di pertengahan malam dan pertengahan siang, dan orang yang diberi harta oleh Allâh kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang. HR Bukhari 5025)

Dengki seperti ini dinamakan ghibthah.

Kelompok Keempat

Kelompok ini, jika mendapati sifat dengki pada dirinya, ia berusaha memusnahkannya, berbuat baik kepada yang didengki, mendo’akannya dan menceritakan kelebihan-kelebihan orang yang didengki. Dia tidak hanya berusaha menghilangkan rasa dengki pada dirinya namun dia juga berusaha menggantikannya dengan rasa senang melihat saudaranya lebih baik lagi. Ini termasuk derajat iman tertinggi. Orang yang seperti ini adalah mukmin sejati yang mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.

Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh dengki. Karena ia adalah sifat tercela, sifat orang-orang Yahudi dan dapat merusak amal. Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang manusia mengharapkan segala kelebihan dan keutamaan yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang dilebihkan Allâh kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allâh sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu. [an-Nisâ’/4:32]

SOMBONG PENGHALANG KE SURGA

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi SAW, baginda bersabda: “Tidak akan masuk syurga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan kasutnya bagus – cantik (apakah ini termasuk kesombongan)?” Baginda menjawab: “Sesungguhnya Allah itu cantik dan menyukai yang cantik, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim No: 131) Status: Hadis Sahih

Kandungan hadits

1. Sifat sombong adalah turunan iblis, merasa dirinya lebih baik dari yang lain.

2. Imam Nawawi berkata: Hadis ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merasa diri sendiri lebih benar, paling lurus, paling khusuk, disertai merendahkan orang lain, serta merasa bosan, jenuh, bahkan menolak kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.

3. Tidak masuk syurga orang yang memiliki sifat sombong dalam dirinya walaupun sebesar biji sawi.

4. Sifat sombong, adalah merasa dia saja yang betul dan benar, kondisi demikian akan mendorong seseorang menolak kebenaran dan merendah serta menyepelekan orang lain.

5. Dalam kitab Riyadusshalihin, Sombong itu adalah menolak kebenaran dengan menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apa dan melihat dirinya lebih dibandingkan dengan orang lain.

6. Suka kepada keindahan pakaian tidak termasuk kepada sifat kesombongan.

Rasulullah SAW dalam hadis menjelaskan definisi sombong :

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Sombong ialah tidak menerima kebenaran dan menghina sesama manusia. HR Muslim 131

Menurut Raghib Al Asfahani Ia mengatakan, “Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri . Memandang dirinya lebih besar dari pada orang lain, Kesombongan yang paling parah adalah sombong kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatanataupun mengesakan-Nya”. Fathul Bari 10 hal 601

Dalam buku ihya’ ulumuddin Al-Ghazali nendefinisikan sombong adalah suatu sifat yang ada didalam jiwa yang tumbuh dari penglihatan nafsu dan tampak dalam perbuatan lahir. Mutiara Ihya Ulumuddin 1997:293

Secara universal maka, perbuatan sombong dapat dipahami dengan membanggakan diri sendiri, mengganggap dirinya lebih dari orang lain. perbuatan sombong dibagi beberapa tingkatan yaitu:

Kesombongan terhadap Allah SWT, yaitu dengan cara tidak tunduk terhadap perintahnya, enggan menjalankan perintahnya

Sombong terhadap rasul, yaitu perbuatan enggan mengkuti apa yang diajarkannya dan menganggap Rasulullah sama sebagaimana dirinya hanya manusia biasa.

Sombong terhadap sesama manusia dan hamba ciptaanya, yaitu menganggap dirinya lebih dari orang lain dan makhluk ciptaan Allah yang lain dengan kata lain menghina orang lain atau ciptaan Allah lainya.

Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Isra’: 37

وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا (٣٧)

dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

مَرَحًا :

Kesombongan dan kecongkakan. dalam tafsir Al-Qurtubi pengertiannya adalah kegembiraan yang sangat, sombong dalam berjalan.

لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ :

Kamu takkan dapat menjadikan jalan di bumi dengan pijakanmu dan jejakmu yang hebat.[

Dalam ayat ini Allah SWT melarang hambanya berjalan dengan sikap congkak dan sombong di muka bumi. Sebab kedua sikap ini adalah termasuk memuji diri sendiri yang tidak disukai oleh Allah dan orang lain.

Almaraghi dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini bahwa, seorang manusia hendaknya jangan berjalan dengan sikap sombong, bergoyang-goyang seperti jalannya raja yang angkuh. Sebab dibawahnya terdapat bumi yang tidak akan mampu manusia menembusnya dengan hentakkan dan injakkan kakinya yang keras terhadapnya. sedang diatasnya terdapat gunung yang takkan mampu manusia menggapai, menyamai dengan ketinggian atau kesombongannya.

Dalam tafsir Al-Qurtubi maksud menyamai gunung adalah manusia dengan dengan kemampuanya ia tidak akan bisa mencapai ukuran seperti itu. Sebab manusia adalah hamba yang sangat hina yang dibatasi dari bawah dan atasnya. Sedang sesuatu yang dibatasi itu terkungkung dan lemah. Dan yang dimaksud dengan bumi, adalah engkau menembusnya dan bukan menempuh jaraknya. Jadi manusia dilingkupi oleh dua benda mati yang kamu lemah dari keduanya. Maka bagi orang yang lemah dan terbatas, tak patut baginya bersikap sombong.

TAWAKAL BURUNG

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Dari Umar bin Al Khaththab RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika sekiranya kamu bersungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, niscaya Allah memberi rezeki kepada kamu seperti rezeki seekor burung yang keluar di waktu pagi dengan perut kosong dan pulang di waktu petang dengan perut terisi penuh kenyang.” (HR Tirmidzi No: 2266) Status: Hadis Sahih

Kandungan hadits

1. Setiap Muslim diperintahkan agar bertawakal yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan penuh keyakinan tanpa ragu-ragu setelah usaha dan ikhtiar yang bersungguh-sungguh.

2. Bertawakal dengan menyerahkan semata-mata kepada Allah tanpa usaha dan ikhtiar adalah menyalahi pesan daripada hadis ini.

3. Jadilah seperti burung yang keluar pada waktu pagi dalam keadaan perutnya kosong namun berusaha mencari makanan dan akan pulang pada waktu petang dalam keadaan perut yang penuh dengan makanan.

4. Muslim yang berusaha mencari rezeki dan bertawakal bersungguh-sungguh, niscaya dia tetap akan memperoleh rezeki.

5. Muslim tidak boleh menganggur dan tanpa usaha dan ikhtiar. Inspirasi burung yang keluar dari sarang mencari makanan mengikut sebab dan musabab. Tidak ada burung yang menjadi pengemis.

6. Tawakal akan menimbulkan ketenangan jiwa dan ketenteraman dalam menghadapi segala persoalan danb perkara hidup.

BEKERJA

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ ثُمَّ يَغْدُوَ أَحْسِبُهُ قَالَ إِلَى الْجَبَلِ فَيَحْتَطِبَ فَيَبِيعَ فَيَأْكُلَ وَيَتَصَدَّقَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: “Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu pergi ke gunung lalu dia mencari kayu bakar kemudian dia menjualnya lalu dari hasil jualan itu dia dapat makan dan bersedekah, itu lebih baik baginya daripada meminta kepada manusia”. (HR Bukhari No:1386) Status: Hadis Sahih

Kandungan hadits

1. Bekerja dan berusaha mencari rezeki bagi keperluan hidup adalah kewajiban yang bernilai ibadah

2. Berusaha mencari rezeki yang halal perlu dilakukan walaupun dengan melakukan kerja yang sukar seperti mengambil kayu di dalam hutan untuk dijual. Termasuk juga pekerjaan yang mungkin kotor, berat dan beresiko.

3. Hasil kerja dan usaha sendiri untuk mencari rizki agar bisa bersedekah, itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى

Dari Nabi SAW bersabda: “Tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang di bawah. (HR Bukhari No: 1338) Status: Hadis Sahih

4. Tidak ada baiknya hidup dari mengemis. Tidak ada makhluk Allah selain manusia yang mengemis kepada sesama nya.

Dari Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (Shahih: HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa-i, dan selainnya).

Hadits ini menunjukkan bahwa meminta-minta adalah haram, tidak dihalalkan, kecuali untuk tiga orang:

(1) Seseorang yang menanggung hutang dari orang lain, baik disebabkan menanggung diyat orang maupun untuk mendamaikan antara dua kelompok yang saling memerangi. Maka ia boleh meminta-minta meskipun ia orang kaya.

(2) Seseorang yang hartanya tertimpa musibah, atau tertimpa peceklik dan gagal panen secara total, maka ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.

(3) Seseorang yang menyatakan bahwa dirinya ditimpa kemelaratan, maka apabila ada tiga orang yang berakal dari kaumnya memberi kesaksian atas hal itu, maka ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.

ARWAH KEMBALI KE DUNIA

Dari Abu Hurairah r.a.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ الْمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْرًا فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِيَالِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذَا أَتَمَّ شَهْرًا رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قُبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْلَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِ

Artinya : (Diriwayatkan) dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka arwahnya berkeliling-keliling diseputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka arwahnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling –keliling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka arwahnya dinaikkan ditempat dimana para arwah berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala.

Hasil penelusuran dan penelitian dengan menggunakan Program al-Maktabah asy-Syamilah (edisi 2), Program al-Jami’ al-Akbar (edisi 2), dan Program al-Jami’ al-Kabir (edisis 4, 2007-2008) tidak ditemukan sumber hadits yang dinyatakan di atas. Dapat dinyatakan bahwa hadits tersebut tidak tercantum dalam satupun dari sumber-sumber orisinal hadits yang ada.

Oleh karena itu, bahwa ada ruh-ruh yang bergentayangan itu adalah setan yang melakukan tipu daya dengan menyerupai orang yang sudah meninggal. Dan ketika ruh akan dibangkitkan dari alam barzakh (alam kubur) ke alam akhirat, ruh itu dikembalikan ke jasad yang baru yang diciptakan untuk alam akhirat. Begitu juga kaitannya dengan Jin, bahwa Jin itu makhluk yang dapat menjelma atau merubah fisiknya menyerupai bentuk manusia atau makhluk-makhluk yang lain. Setan yang berasal dari Jin, ingin menyebarkan tipu daya dan keraguan pada keimanan manusia, maka salah satu caranya adalah dengan menjelma menyerupai seseorang yang telah meninggal. Akibat dari penjelmaan tersebut, orang-orang yang melihat menganggap dan berkeyakinan bahwa yang mereka lihat adalah ruh dari orang yang mereka kenal sebelumnya. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh kaum awam tentang adanya ruh gentayangan tidaklah benar menurut ajaran Islam.

Hal yang berkaitan dengan arwah karena urusan ghaib, sebaiknya dikembalikan Kepada dalil (Firman Allah dan penjelasan Rasul-Nya). Prinsip ini jangan sampai lepas dari lubuk hati kita. Apapun yang kita dengar, siapapun yang menyampaikan, kembalikan keterangan itu kepada dalil. Tidak semua keterangan yang disampaikan tokoh agama itu benar adanya. Mereka yang punya dalil, itulah yang menjadi pegangan. Karena informasi tentang syariat, apalagi terkait keyakinan ghaib baru boleh kita terima ketika ada dasar pijakannya. Mengingat semua harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Sebagaimana yang Allah tegaskan,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra’: 36).

Allah mengingkari permintaan orang mati untuk dikembalikan ke dunia

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ( ) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), ( ) agar aku bisa berbuat amal yang saleh yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang dia ucapkan saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminun: 99 – 100)

Allah mengabarkan bagaimana orang kafir menyesali hidupnya. Mereka berharap agar dikembalikan ke dunia di detik-detik menghadapi kematian. Sehingga mereka mendapat tambahan usia untuk memperbaiki dirinya. Namun itu hanya ucapan lisan, yang sama sekali tidak bermanfaat baginya. Kemudian Allah menyatakan bahwa setelah mereka mati akan ada barzakh, dinding pemisah antara dirinya dengan kehidupan dunia. Mereka yang sudah memasuki barzakh, tidak akan lagi bisa keluar darinya. Baik itu arwah orang beriman, terlebih lagi ruh orang kafir. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 559).

Firrman Allah di surat Az-Zumar ayat 42.

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) ruh (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah ruh (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan ruh yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az-Zumar : 42)

Ada dua pendapat ahli tafsir tentang ayat ini. Salah satunya, bahwa ruh orang yang ditahan adalah ruh orang yang sudah meninggal, sehingga dia tidak bisa kembali ke jasadnya di dunia. Sedangkan ruh orang yang dilepas adalah ruh orang yang tidur.

Diriwayatkan dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menjelaskan tafsir ayat tersebut,

إِنَّ أَرْوَاحَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ تَلْتَقِي فِي الْمَنَامِ فَتَتَعَارَفُ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْهَا، فَإِذَا أَرَادَ جَمِيعُهَا الرُّجُوعَ إِلَى الْأَجْسَادِ أَمْسَكَ اللَّهُ أَرْوَاحَ الْأَمْوَاتِ عِنْدَهُ، وَأَرْسَلَ أَرْوَاحَ الْأَحْيَاءِ إِلَى أَجْسَادِهَا

Sesungguhnya ruh orang yang hidup dan ruh orang mati bertemu dalam mimpi. Mereka saling mengenal sesuai yang Allah kehendaki. Ketika masing-masing hendak kembali ke jasadnya, Allah menahan ruh orang yang sudah mati di sisi-Nya, dan Allah melepaskan ruh orang yang masih hidup ke jasadnya. (Tafsir At-Thabari 21/298, Al-Qurthubi 15/260, An-Nasafi 4/56, Zadul Masir Ibnul Jauzi 4/20, dan beberapa tafsir lainnya).

Arwah mereka berada di alam yang lain, alam kubur, yang berbeda dengan alam dunia

Pada surat Al-Mukminun di atas, Allah telah menegaskan bahwa ada barzakh (dinding pemisah) antara orang yang telah meninggal dan kehidupan dunia. Dan itu terjadi sejak mereka meninggal dunia. Selanjutnya masing-masing sudah sibuk dengan balasan yang Allah berikan kepada mereka. Ruh orang baik, berada di tempat yang baik, sebaliknya, ruh orang jelek berada di tempat yang jelek.

Dalam sebuah riwayat, seorang tabiin bernama Masruq pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, tentang tafsir firman Allah,

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali Imran: 169)

Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya pernah tanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menjawab,

أرواحهم في جوف طير خضر لها قناديل معلقة بالعرش تسرح من الجنة حيث شاءت ثم تأوي إلى تلك القناديل فاطلع إليهم ربهم اطلاعة ، فقال : هل تشتهون شيئا ؟ قالوا : أي شيء نشتهي ونحن نسرح من الجنة حيث شئنا . ففعل ذلك بهم ثلاث مرات ، فلما رأوا أنهم لن يُترَكوا من أن يَسألوا قالوا : يا رب نريد أن ترد أرواحنا في أجسادنا حتى نقتل في سبيلك مرة أخرى ، فلما رأى أن ليس لهم حاجة تُركوا

“Ruh-ruh mereka di perut burung hijau. Burung ini memiliki sarang yang tergantung di bawah ‘Arsy. Mereka bisa terbang kemanapun di surga yang mereka inginkan. Kemudian mereka kembali ke sarangnya. Kemudian Allah memperhatikan mereka, dan berfirman: ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab: ‘Apa lagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang di surga ke manapun yang kami inginkan.’ Namun Allah selalu menanyai mereka 3 kali. Sehingga ketika mereka merasa akan selalu ditanya, mereka meminta: ‘Ya Allah, kami ingin Engkau mengembalikan ruh kami di jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya.’ Ketika Allah melihat mereka sudah tidak membutuhkan apapun lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1887)

Kemudian disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لما أُصِيب إخوانكم بأُحُد جعل الله أرواحهم في جوف طير خضر تَرِد أنهار الجنة تأكل من ثمارها وتأوي إلى قناديل من ذهب معلقة في ظل العرش ، فلما وجدوا طيب مأكلهم ومشربهم ومَقِيلهم قالوا : من يُبلِّغ إخواننا عنّـا أنا أحياء في الجنة نُرزق لئلا يزهدوا في الجهاد ولا ينكلوا عند الحرب ، فقال الله سبحانه أنا أبلغهم عنكم . قال فأنزل الله : ( ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله )

Ketika saudara kalian meninggal di perang Uhud, Allah menjadikan ruh mereka di perut burung hijau. Mendatangi sungai surga, makan buah surga, dan beristirahat di sarang dari emas, menggantung di bawah ‘Arsy. Ketika mereka merasakan lezatnya makanan, minuman, dan tempat istirahat, mereka mengatakan: ‘Siapa yang bisa memberi tahu kepada saudara-saudara muslim lainnya tentang kabar kami bahwa kami hidup di surga, dan kami mendapat rizki. Agar mereka tidak menghindari jihad dan tidak pengecut ketika perang. Lalu Allah menjawab: ‘Aku yang akan sampaikan kabar kalian kepada mereka.’ Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya…” (HR. Abu Daud 2520)

Demikian pula ruh orang yang jahat. Mereka mendapat hukuman dari Allah sesuai dengan kemaksiatan yang mereka lakukan. Jika ruh itu bisa kembali dan tinggal bersama keluarganya selama rentang tertentu, tentu yang paling layak mendapatkan keadaan ini adalah ruh para nabi, para sahabat, atau para syuhada yang meninggal di medan jihad. Sementara hadis-hadis di atas merupakan bukti bahwa hal itu tidak terjadi. Allah tempatkan ruh mereka di surga, dan terpisah sepenuhnya dengan alam dunia.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak pernah ditanya, benarkan ruh orang yang meninggal akan kembali ke keluarganya dan bisa melihat semua keadaan keluarganya selama 40 hari? Jawaban beliau,

الإنسان إذا مات يغيب عن هذه الحياة ويصير إلى عالم آخر ، ولا تعود روحه إلى أهله ولا يشعرون بشيء عنه ، وما ذكر من عودة الروح لمدة أربعين يوما فهي من الخرافات التي لا أصل لها ، والميت كذلك لا يعلم بشيء من أحوالهم لأنه غائب عنهم في نعيم أو عذاب

Seseorang setelah meninggal, dia menghilang dari kehidupan dunia ini, (beda dimensi) dan berpindah ke alam akhirat. Dan ruhnya tidak kembali ke keluarganya, dan tidak mengetahui semua keadaan keluarganya. Kabar yang menyebutkan bahwa ruh kembali ke keluarga selama 40 hari adalah tidak berdasar (orang sering menyebutnya dengan, khurafat), yang sama sekali tidak memiliki dalil. Demikian pula mayit, dia tidak mengetahui keadaan keluarganya, karena dia tidak ada di tengah-tengah mereka. Mereka sibuk dalam kenikmatan atau adzab. (Fatwa Islam, 13183)

DOA SEBELUM SALAM DALAM SHALAT

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا بَدَا لَهُ

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud (membaca tahayat akhir ketika shalat), maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara, yaitu dari siksaan neraka Jahannam, siksaan azab kubur, fitnah kesulitan hidup dan fitnah kesulitan kematian dan dari kejahatan Al-Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa sahaja yang ia inginkan.” (HR Nasai No: 1293) Status: Hadis Sahih

Kandungan hadit:

1. Kita disuruh berdoa agar dijauhkan dari azab dan ujian kejahatan hidup, kejahatan dajjal, di saat kematian, azab kubur serta azab neraka.

2. Sebaik dan seutama doa adalah dalam shalat, dan Nabi menganjurkan untuk berlindung dari empat perkara yang menyusahkan di tahiyat akhir sebelum salam.

3. Lafal doa dengan redaksi lain adalah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW berdoa: Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur dan dari siksa api neraka dan dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah Al Masih Dajjal. (HR Bukhari No: 1288) Status: Hadis Sahih.

4. Doa yang dibaca setekah bacaan tahiyat akhir setelah shalawat di dalam solat ialah lafaz yang ma’tsur (berasal dari al-Quran serta hadis) dan dibaca dalam bahasa arab seperti di atas. Tidak boleh menambahkan doa sekehendak hati dalam shalat. Bila mendesak, silahkan baca doa yang dianggap penting setelah shalat, tentunya didahului dzikir, Fatihah, shalawat, Asmaul Husna, baru kemudian berdoa.

Dari Abu Umamah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menjawab.

جَوْفَ اللَّيْلِ اْلآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكتُوْبَاتِ

“Di pertengahan malam yang akhir dan setiap selesai shalat fardhu” (Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da’awaat 13/30. Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/167-168 No. 27)

AGAMA ISLAM MENGHENDAKI KEMUDAHAN

عن ابن مسعود رضي الله عنه: أنّ النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: ((هَلَكَ المُتَنَطِّعُونَ)). قالها ثَلاثًا. رواه مسلم.

Dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Binasalah orang-orang yang memperdalam-dalamkan.” Beliau s.a.w. menyabdakan ini sampai tiga kali banyaknya.” (Riwayat Muslim)

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:

1. Kata “al-Mutanatha’un” adalah orang-orang yang berlebihan dan melampaui batas dalam menjelaskan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.

2. Maksud dari kehancuran mereka adalah di akhirat.

3. Pada hadits ini tampak peringatan untuk menghindari sifat keras dan berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama.

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran:

– Islam ini adalah agama yang sarat dengan kemudahan diantaranya adalah firman Allah:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

“… Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (kesusahan)…” [QS. Al Hajj 78]

ADAB TERHADAP ORANG TUA

Hadits Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengenai bagaimana adab para Sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, disebutkan di dalamnya:
وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له
“Jika para Sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).
*Beberapa Pelajaran yang terdapat dalam Hadits :*
Adab – adab yang baik dan akhlak yang mulia kepada orang tua diantaranya :
1⃣ Tidak memandang orang tua dengan pandangan yang tajam atau tidak menyenangkan
2⃣ Tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan orang tua
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan: “setiap adab di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa adab-adab tersebut merupakan sikap penghormatan”.
Maka dari hadits ini merendahkan suara dan tidak memandang dengan tajam merupakan akhlak yang mulia dan sikap penghormatan yang tentu sangat layak untuk kita terapkan kepada orang tua. Karena merekalah orang yang paling layak mendapatkan perlakuan yang paling baik dari kita. Sebagaimana telah dijelaskan pada materi sebelumnya.
3⃣ Tidak mendahului mereka dalam berkata-kata
Diantara adab yang mulia kepada orang tua adalah tidak mendahului mereka dalam berkata-kata dan mempersilakan serta membiarkan mereka berkata-kata terlebih dahulu hingga selesai. Lihatlah bagaimana Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu menerapkan adab ini. Beliau berkata:
كنَّا عندَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فأتيَ بِجُمَّارٍ، فقالَ: إنَّ منَ الشَّجرةِ شجَرةً، مثلُها كمَثلِ المسلِمِ ، فأردتُ أن أقولَ: هيَ النَّخلةُ، فإذا أنا أصغرُ القومِ، فسَكتُّ، فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: هيَ النَّخلةُ
“kami pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di Jummar, kemudian Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘sebetulnya aku ingin menjawab: pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini maka aku diam’. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberi tahu jawabannya (kepada orang-orang): ‘ia adalah pohon kurma’” (HR. Al Bukhari 82, Muslim 2811).
Ibnu Umar radhiallahu’anhuma melakukan demikian karena adanya para sahabat lain yang lebih tua usianya walau bukan orang tuanya. Maka tentu adab ini lebih layak lagi diterapkan kepada orang tua.
4⃣ Tidak duduk di depan orang tua sedangkan mereka berdiri
Dalilnya hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:
اشتكى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فصلينا وراءَه وهو قاعدٌ, وأبو بكرٍ يُسْمِعُ الناسَ تكبيرَه, فالتفتَ إلينا فرآنا قيامًا فأشار إلينا فقعدنا, فصلينا بصلاتِه قعودًا. فلما سلَّمَ قال: إن كدتُم آنفًا لتفعلون فعلَ فارسَ والرومِ, يقومون على ملوكِهم وهم قعودٌ. فلا تفعلوا. ائتموا بأئمَّتِكم. إن صلى قائمًا فصلوا قيامًا وإن صلى قاعدًا فصلوا قعودًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaduh (karena sakit), ketika itu kami shalat bermakmum di belakang beliau, sedangkan beliau dalam keadaan duduk, dan Abu Bakar memperdengarkan takbirnya kepada orang-orang. Lalu beliau menoleh kepada kami, maka beliau melihat kami shalat dalam keadaan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat kepada kami untuk duduk, lalu kami shalat dengan mengikuti shalatnya dalam keadaan duduk. Ketika beliau mengucapkan salam, maka beliau bersabda, ‘kalian baru saja hampir melakukan perbuatan kaum Persia dan Romawi, mereka berdiri di hadapan raja mereka, sedangkan mereka dalam keadaan duduk, maka janganlah kalian melakukannya. Berimamlah dengan imam kalian. Jika dia shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian dalam keadaan berdiri, dan jika dia shalat dalam keadaan duduk, maka kalian shalatlah dalam keadaan duduk” (HR. Muslim, no. 413).
Para ulama mengatakan dilarangnya hal tersebut karena merupakan kebiasaan orang kafir Persia dan Romawi. Maka hendaknya kita menyelisihi mereka.
5⃣ Lebih mengutamakan orang tua daripada diri sendiri atau iitsaar dalam perkara duniawi
Hendaknya kita tidak mengutamakan diri kita sendiri dari orang tua dalam perkara duniawi seperti makan, minum, dan perkara lainnya. Sebagaimana hadits dalam Shahihain mengenai kisah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai tiga orang yang terjebak di dalam gua yang tertutup batu besar, kemudian mereka bertawassul kepada Allah dengan amalan-amalan mereka, salah satunya berkata:
اللهمّ ! إنه كان لي والدان شيخان كبيران . وامرأتي . ولي صبيةٌ صغارٌ أرعى عليهم . فإذا أرحتُ عليهم ، حلبتُ فبدأتُ بوالدي فسقيتُهما قبل بنيّ . وأنه نأى بي ذاتَ يومٍ الشجرُ . فلم آتِ حتى أمسيتُ فوجدتُهما قد ناما . فحلبتُ كما كنت أحلبُ . فجئتُ بالحلابِ . فقمت عند رؤوسِهما . أكرهُ أن أوقظَهما من نومِهما . وأكرهُ أن أسقيَ الصبيةَ قبلهما . والصبيةُ يتضاغون عند قدمي . فلم يزلْ ذلك دأبي ودأبُهم حتى طلع الفجرُ . فإن كنت تعلم أني فعلتُ ذلك ابتغاءَ وجهِك ، فافرجْ لنا منه فرجةً ، نرى منها السماءَ . ففرج اللهُ منه فرجةً . فرأوا منها السماءَ
“Ya Allah sesungguhnya saya memiliki orang tua yang sudah tua renta, dan saya juga memiliki istri dan anak perempuan yang aku beri mereka makan dari mengembala ternak. Ketika selesai menggembala, aku perahkan susu untuk mereka. Aku selalu dahulukan orang tuaku sebelum keluargaku. Lalu suatu hari ketika panen aku harus pergi jauh, dan aku tidak pulang kecuali sudah sangat sore, dan aku dapati orang tuaku sudah tidur. Lalu aku perahkan untuk mereka susu sebagaimana biasanya, lalu aku bawakan bejana berisi susu itu kepada mereka. Aku berdiri di sisi mereka, tapi aku enggan untuk membangunkan mereka. Dan aku pun enggan memberi susu pada anak perempuanku sebelum orang tuaku. Padahal anakku sudah meronta-ronta di kakiku karena kelaparan. Dan demikianlah terus keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau tahu aku melakukan hal itu demi mengharap wajahMu, maka bukalah celah bagi kami yang kami bisa melihat langit dari situ. Maka Allah pun membukakan sedikit celah yang membuat mereka bisa melihat langit darinya“.
*Tema Hadits yang Berkaitan dengan Al-Qur’an*
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya” [Al-Isra : 23]
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil” [Al-Isra : 24]
Surat An-Nisa ayat 36.
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak…..” [An-Nisa : 36]
Surat Luqman ayat 14 -15.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali” [Luqman : 14]
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu maka Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu kerjakan” [Luqman : 15]
 Allah berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
“Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya..” [Al-Ankabut : 8]
Surat Al-Ahqaaf ayat 15-16.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
” Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo’a “Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk menysukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [Al-Ahqaaf : 15]
*Demikian, Semoga Bermanfaat. Aamiin*
Aqulu qauli hadza, wa astaghfirullahal Adzim li wa lakum. 
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ
Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik… 
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu”.
==================================
🍃 Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺑَﻠِّﻐُﻮﺍ ﻋَﻨِّﻰ ﻭَﻟَﻮْ ﺁﻳَﺔً
*“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”*
*(HR.Bukhari)*
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻫُﺪًﻯ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﺟْﺮِ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺟُﻮْﺭِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ، ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ ﻣِﺜْﻞُ ﺁﺛَﺎﻡِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺁﺛَﺎﻣِﻬِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ
*Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.*
*(HR.Muslim)*
Dakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla merupakan amal yang sangat mulia, ketaatan yang besar dan ibadah yang tinggi kedudukannya di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
*Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang  yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS.Ali-Imran [3] :104)*
Dinukil dari berbagai Sumber Yang In Syaa Allah amanah, dengan sedikit perubahan (terjemah bebas) sesuai dengan Pemahaman Shalafus Shalih (Alhus Sunnah Wal Jamaah)

ADAB BERTAMU & MEMULIAKAN TAMU

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari).
*Beberapa Pelajaran yang terdapat dalam Hadits :*
1⃣ Adab-adab Bagi Tuan Rumah : 
1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)
5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.
10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ
“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.
2⃣ Adab-adab Bagi Tamu :
1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut :
-Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
-Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
-Orang yang mengundang adalah muslim.
-Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
-Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
-Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.
3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.
7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)
9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ
“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”” (HR. Bukhari)
11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ
“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)
اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)
اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)
12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.
*Tema Hadits yang Berkaitan dengan Al-Qur’an*
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
*Demikian, Semoga Bermanfaat. Aamiin*
Aqulu qauli hadza, wa astaghfirullahal Adzim li wa lakum. 
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ
Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik… 
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu”.
==================================
🍃 Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺑَﻠِّﻐُﻮﺍ ﻋَﻨِّﻰ ﻭَﻟَﻮْ ﺁﻳَﺔً
*“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”*
*(HR.Bukhari)*
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻫُﺪًﻯ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﺟْﺮِ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺟُﻮْﺭِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ، ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ ﻣِﺜْﻞُ ﺁﺛَﺎﻡِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺁﺛَﺎﻣِﻬِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ
*Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.*
*(HR.Muslim)*
Dakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla merupakan amal yang sangat mulia, ketaatan yang besar dan ibadah yang tinggi kedudukannya di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
*Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang  yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

EMOSI

Diriwayatkan dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya, Rasul SAW bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ
Barang siapa menahan emosinya padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, maka kelak Allah Azza wa jalla akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan semua makhluk untuk diberi kesempatan memilih bidadari yang disukainya. [HR Abu Dawud]
Catatan Alvers
Secara terotis, Emosi didefinisikan sebagai perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi adalah reaksi terhadap seseorang atau kejadian.  Emosi dapat ditunjukkan ketika merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu. [situs wikipedia] Dengan demikian Emosi bisa berupa emosi positif seperti bahagia, gembira, suka, ceria, semangat, cinta, kekaguman dan lain sebagainya. Sebaliknya, emosi juga bisa berupa emosi negatif seperti sedih, benci, kecewa, marah, dan masih banyak yang lainnya. Namun dalam tataran praktisnya, emosi lebih banyak dimaksudkan kepada pengertian yang negatif seperti marah dan kecewa.
Emosi timbul secara alamiah pada diri seseorang tatkala menghadapi
problem namun begitu bukan berarti emosi dibiarkan begitu saja karena emosi yang
tak terkontrol  menjadikan seseorang
sebagai budak dari emosi mereka sendiri dan sejurus kemudian emosinya akan menjadi boomerang yang menyerang diri sendiri karena emosi bisa menyebabkan
permasalahan serius bahkan bisa mematikannya.
Mengapa mematikan? Karena : 
(1) Secara medis, Emosi dapat menurunkan sistem imun (kekebalan tubuh) akan mudah melemah dan menurun karena produksi hormon stres dalam tubuh meningkat tajam. (2) Emosi menyebabkan meningkatnya resiko terserang berbagai penyakit akibat menurunnya sistem imun (kekebalan tubuh).(3) Mempercepat proses penuaan. Kondisi emosional akan mengaktifkan hormon stres dalam tubuh yang berefek percepatan proses kerja seluruh fungsi organ dalam tubuh, hingga cepat aus, otot-otot tubuh menjadi lebih tegang sehingga mempercepat munculnya keriput pada wajah lalu proses penuaan cepat terjadi. (4) Mempersingkat usia. Hal ini terjadi karena saat marah, berbagai organ tubuh seperti jantung, otak, pembuluh darah dan lain-lain
bekerja lebih keras dari biasanya, sehingga mengakibatkan munculnya berbagai
gangguan kesehatan yang pada akhirnya dapat mempersingkat usia seseorang karena
kematian mendadak akibat serangan jantung.
Terdapat berbagai metode yang ditawarkan untuk terapi emosi mulai cara-cara alami dan sederhana, hingga menggunakan obat-obatan tertentu. Yang jelas, kita sepakat bahwa emosi memang harus dikendalikan, apalagi dalam situasi yang menuntut kita untuk bersikap secara profesional.  
Masih ingatkah anda dengan insiden yang terjadi dalam dunia tinju pada tahun 1997 yaitu saat pertarungan antara Mike Tyson dan Evander Holyfield yang
bergelar “The Real Deal”. Si Leher Beton tidak mampu mengontrol emosinya pada ronde ke tiga. Ia menggigit telinga kanan Holyfield sampai putus. Maka benarlah Rasul SAW yang bersabda : “Bukanlah dikatakan orang yang kuat karena dapat membanting lawannya, tetapi orang yang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya di waktu marah”. [HR Baihaqi]
Ada beberapa hal unik untuk meredakan emosi. Di Serbia, Ada sebuah kamar yang disewakan untuk melampiaskan emosi. Penyewa bisa memukul benda-benda apa saja yang ada didalamnya untuk melampiaskan emosi. Ia boleh memecah gelas, menghancurkan lemari dll. Di Amerika, ada terapi emosi dengan cara berdansa dan berjoget bahkan tertawa lepas bebas dengan siapapun yang ada dalam gedung terapi.
Melengkapi tulisan 1D1H Resep Nabi mengatasi Amarah pada edisi sebelumnya maka kami kemukakan tulisan mengenai terapi emosi ini.  Dalam Islam, Nabi mengajarkan untuk terapi emosi
diantaranya dengan aksi tuutp mulut, Rasul SAW bersabda :
 إِذاَغَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“apabila salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah dia diam.” [HR Ahmad]
Selanjutnya adalah dengan merubah posisi : dari berdiri menjadi duduk, dari duduk menjadi berbaring. Rasul SAW menjelaskan :
 إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَب
وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring [H.R Abu Dawud]
Dan terakhir dan yang terpenting dalam terapi emosi ini, kita selalu ingat hadits di atas yaitu balasan menahan amarah adalah bidadari surga. Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membukakan pintu hati dan pikiran kita untuk senantiasa tenang dan dapat mengendalikan emosi dalam situasi apapaun.

HUKUMAN PENCURI 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :
لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ
Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur lalu dipotong tangannya dan mencuri seutas tali lalu ia dipotong tangannya. [HR Bukhari]
Catatan Alvers
Pada tahun 1930, saat Amerika mengalami krisis ekonomi, Dikisahkan ada seorang nenek tertangkap mencuri sepotong roti dengan dalih karena anak perempuannya sakit, cucunya kelaparan, dan suaminya telah meninggalkan dirinya namun si penjaga toko menolak untuk membatalkan tuntutan supaya kasus tersebut menjadi contoh bagi orang lainnya. Hakimpun dengan berat hati tetap menjatuhkan hukuman kepada  sang nenek karena semua orang sama di mata hukum, yaitu dengan membayar 10 dolar, atau penjara selama sepuluh hari. Sang nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk. Tanpa disadarinya, sang hakim mencopot topinya lalu meletakkan uang 10 dolar dalam topinya dan Ia berkata: 
“Saya juga mendenda masing-masing orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar 50 sen karena tinggal dan hidup di kota ini dan membiarkan seseorang kelaparan sampai sang nenek mencuri harus untuk menyelamatkan cucunya dari kelaparan.  Dan belakangan kisah ini disebut dengan legenda karena diragukan faktanya. Kisah yang mirip juga sempat viral terjadi di Prabumulih Lampung dengan kejadian nenek mencuri singkong dan hakim marzuki yang kemudian diduga merupakan adaptasi dari kisah di atas.  [Detik com] Lantas bagaimana hukum pencurian di dalam hukum Islam?
Islam sangat menjaga hak asasi manusia, utamanya dalam enam perkara yang dikenal dengan istilah “Al-Kulliyat As-Sittah”. Imam Al-Laqqany mengumpulkannya dalam nadzam :
وَحِفْظُ دِيْنٍ ثُمَّ نَفْسٍ مَالْ نَسَبْ :: وَ مِثْلُهَا عَقْلٌ وَعِرْضٌ قَدْ وَجَبْ
Wajib hukumnya menjaga (1) Agama, (2) Jiwa, (3) Harta, (4) Nasab, (5) Akal dan (6) Harga Diri. [I’anatut Thalibin]
Islam menjaganya dengan cara menerapkan hadd (sanksi, Hukuman) atas setiap pelanggaran dalam enam perkara tersebut.  Sanksi Riddah, Murtad; keluar dari agama adalah hukuman mati oleh pemerintah jika tidak bertaubat. Sanksi dari Pelanggaran dalam Jiwa (membunuh) adalah Qishash, Sanksi dari pelanggaran dalam Harta (mencuri  minimal seperempat dinar, 1 Dinar = 4.25 Gram emas) adalah potong tangan, Sanksi dari pelanggaran dalam Nasab (berzina) adalah Hukum Rajam atau dicambuk 80 kali, (5) Pelanggaran dalam Akal (minum miras) adalah dicambuk 80 kali dan (6) Pelanggaran dalam Harga Diri (menuduh zina tanpa bukti) adalah dicambuk 80 kali.
Hadd arti letterlijk-nya adalah mencegah. Hukuman disebut dengan hadd karena hadd bisa mencegah seseorang dari melakukan perbuatan tercela. [I’anatut Thalibin] Hadd mencuri dijelaskan dalam firman Allah SWT :
.وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Pencuri Laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS Al-Maidah : 38]
Dahulu terdapat wanita terpandang dari kalangan Makhzumiyyah, ia tertuduh mencuri dan terancam akan dipotong tangannya. Lalu mereka menghubungi sahabat Utsamah ibnu Zaid yang menjadi kesayangan Nabi, agar ia menegosiasi kepada Nabi SAW. Mendengar hal itu Nabi SAW bersabda : “Apakah kamu meminta grasi terhadap salah satu hukuman hadd Allah?” “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dibinasakan karena Jika orang yang mulia mencuri maka mereka biarkan saja namun jika orang lemah yang mencuri maka mereka menerapkan hukuman hadd kepadanya”.
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Demi dzat yang mana jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya.” [HR Bukhari]
Mencuri adalah dosa besar hukumnya. Hal ini tidak hanya dilihat dari besarnya hukuman dan laknat Allah terhadapnya, akan tetapi juga keimanan seseorang akan hilang ketika ia mencuri. Nabi SAW bersabda :
وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Tidaklah seseorang pencuri ketika mencuri dia dalam keadaan beriman. [HR Bukhari]
Mencuri adalah perbuatan tercela terlepas dari besar atau kecil harta yang dicuri. Mencuri sebutir telur atau tali bekas yang tak seberapa harganya jika hal itu dilakukan sampai menjadi kebiasaan maka tidak mustahil satu saat pelakunya akan mencuri benda yang lebih mahal (seperempat dinar atau lebih) sehingga ia akan terkena hadd potong tangan. Hal ini sebagaimana ditegaskan Nabi SAW dalam hadits utama di atas. [Fathul Bari]
Namun demikian dalam sejarah Islam, hadd sebagaimana di atas tidak diberlakukan jika pelakunya melakukan pencurian karena unsur “dlarurat” (terpaksa). Di zaman Khalifah Umar, terjadi pencurian seekor unta milik orang dari kabilah Muzainah yang ternyata kemudian ditemukan pencurinya adalah seorang budak dari Hatib bin Abi Balta’ah. Khalifah Umar mengetahui bahwa pencurian terjadi karena sang budak tidak diberikan makan oleh majikan sehingga ia kelaparan maka khalifah mengampuninyan dan tidak jadi menjatuhkan hadd kepada budak yang mencuri namun khalifah memberikan sanksi berat kepada sang majikan. Khalifah umar berkata :
وَاللَّهِ لَأُغَرِّمَنَّكَ غُرْمًا يَشُقُّ عَلَيْكَ
Demi Allah, Aku akan menyuruhmu memberi ganti rugi yang berat atasmu (yaitu dua kali lipat harga unta). [Al-Muwattha’]
Hal ini mengingatkan kita kepada jawaban Bahlul Al-Majnun ketika ditanya oleh Raja Harun Al-Rasyid. Dalam kisah yang dikutip oleh Dr. Abdullah An-Nasher, Bahlul menjawab :
اَلسَّارِقُ نَوْعَانِ سَارِقٌ عَنْ مِهْنَةٍ وَسَارِقٌ عَنْ حَاجَةٍ. السَّارِقُ عَنْ مِهْنَةٍ تُقْطَعُ يَدُهُ أَمَّا السَّارِقُ عَنْ حَاجَةٍ فَتُقْطَعُ رَقَبَةُ الْحَاكِمِ
Pencuri itu ada dua macam, pencuri sebagai profesi dan pencuri atas dasar keterpaksaan. Dalam kasus pencuri pertama maka yang dipotong adalah tangan si pencuri dan dalam kasus pencuri kedua maka yang dipotong adalah leher hakimnya. [elnaser wordpress com]
Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk makan sesuai porsi kebutuhan dan kita selalu teringat mereka yang kelaparan sehingga mudah berempati kepada fakir miskin di sekitar kita.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata: Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah.
Demikian kumpulan hadist one day one hadits yang bisa kami tulis disini. Semoga bermanfaat.

Leave a Comment