Istinja, Pengertian, Hukum Dan Adab-Adabnya Dalam Islam

Istinja, Pengertian, Hukum Dan Adab-Adabnya Dalam Islam


Fatwapedia.com – Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak ada satu aspek kehidupan manusia luput dari perhatian Islam. Termasuk dalam hal membersihkan kotoran setelah buang air besar. Dan berikut ini penjelasan hukum istinja dan adab-adabnya

Pengertian Istinja’ Dan Hukumnya

Istinja’ adalah wazan dari istif’al dari kalimat najautu min asy-syajarah, aku memotong pohon, seolah-olah orang yang beristinja’ memotong kotoran darinya.

Istinja’ menurut istilah adalah menghilangkan apa yang keluar dari dua jalan (kelamin dan dubur) menggunakan air, batu, daun dan lain sebagainya. Kadang disebut juga istijmaar dari kata jamar yang artinya batu kecil. Disebut demikian karena mengunakan batu kecil untuk bersuci. Selain itu juga disebut istithabah (memperbagus) karena memperbagus dan menghilangkan najis dari tubuh. [2]

Hukum Istinja’

Menurut jumhur ulama hukumnya adalah wajib menghilangkan benda-benda yang biasa keluar dari kedua jalan tubuh manusia seperti air kencing, madzi dan feses. Berbeda halnya dengan Abu Hanifah[3]. Beliau menggunakan hadits :

إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الغَائِطِ فليَسْتَطِبْ بِثَلاثَةِ أَحْجَارٍ, فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ

“Siapa yang pergi hendak membuang hajat hendaknya ia bersuci dengan tiga batu. Demikian itu mencukupinya”.[4]

Dan larangan menggunakan batu kurang dari tiga kali adalah diharamkan. Jika haram meninggalkan sebagian najis maka meninggalkan seluruh najis tersebut lebih buruk lagi.

Alat Untuk Istinja’

Istinja’ dilakukan dengan salah satu dari hal berikut:

1. Istinja’ dengan Batu

Istinja’ Dengan Batu atau benda padat lainnya yang dapat menghilangkan najis dan tidak diharamkan pemakaiannya. Seperti daun, potongan kain, kayu dan benda-benda lain yang dapat menghilangkan najis. Hadits yang diriwayatkan oelh Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata: Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الغَائِطِ فليَسْتَطِبْ بِثَلاثَةِ أَحْجَارٍ, فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ

“Siapa yang pergi hendak buang air besar hendaknya ia bersuci dengan tiga batu. Demikian itu mencukupinya”.[1]

Menurut pendapat yang kuat tidak boleh istijmar menggunakan kurang dari tiga batu. Berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

Hadits Salman radhiallahu ‘anhu :

لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ ، أَوْ بَوْلٍ ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ ، أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاثَةِ أَحْجَارٍ ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ “

“Rasulullah telah melarang kita menghadap kiblat saat buang air besar atau buang air kecil, beristinja’ menggunakan tangan kanan, beristinja’ dengan kurang dari tiga batu dan beristinja’ dengan menggunakan kotoran hewan yang sudah mengeras atau dengan tulang).[2]

Diriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا اِسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلاَثًا

“Jika salah seorang dari kalian beristijmar hendaknya ia beristijmar dengan tiga (batu)”.[3]

Diriwayatkan dari Khilal bin As-Saaib dari bapaknya secara marfu’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْخَلاَءَ فَلْيَتَمَسَّحْ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ

“Jika salah seorang di antara kalian memasuki kamar kecil hendaknya dia mengusapnya dengan tiga batu”.[4]

Penulis berkata: Jika diusap dengan tiga batu najis itu hilang maka sudah cukup. Namun jika belum hilang maka wajib menambah jumlah batu hingga bersih. Tidak boleh bersitijmar dengan menggunakan tulang atau kotoran hewan yang sudah mengering berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَسْتَنْجُوا بِالرَّوْثِ وَلَا بِالْعِظَامِ فَإِنَّهُ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنْ الْجِنِّ

“Janganlah kalian beristinja’ dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang karena itu adalah makanan saudara kalian dari bangsa jin”.[1]

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata:

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الغَائِطَ، فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ، وَلَمْ أَجِدْ ثَالِثاً، فَأَتَيْتُه بِرَوْثَةٍ. فَأَخَذَهُمَا وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: ((هَذَا رِكْسٌ

“Saat Nabi membuang hajat beliau menyuruhku untuk membawakannya tiga batu. Aku mendapatkan dua batu dan tidak mendapatkan batu yang ketiga. Kemudian aku bawakan beliau kotoran hewan yang sudah mengering. Lalu beliau mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran hewan itu seraya berkata: ini adalah najis”.[2]

2. Istinja’ Menggunakan Air

Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلاَمٌ نَحْوِي إدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالمَاءِ

“Saat Rasulullah memasuki kamar mandi, aku dan seorang anak membawa seember air (ember dari kulit) dan tongkat kemudian beliau beristinja’ dengan air”.[3]

Istinja’ menggunakan air lebih utama daripada istijmar dengan batu. Allah Subhanahu wata’ala memuji Ahli masjid Quba’ karena mereka beristinja’ dengan menggunakan air:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa ayat berikut ini adalah turun untuk ahli masjid Quba’. Yaitu mereka menggunakan air untuk beristinja’.

فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا

“Di dalam (masjid) itu terdapat orang-orang yang suka mensucikan diri”.[4]

At-Tirmidzi berkata (1/31): “Menurut para ulama itu yang diharuskan. Mereka memilih beristinja’ dengan menggunakan air walaupun beristinja’ dengan batu saja sudah cukup. Mereka lebih mengutamakan air. Begitu juga yang dikatakan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq.

Istinja’ Tidak Harus Karena Buang Angin Atau Sebelum Wudhu

Tidak harus istinja’ karena buang angin atau bangun tidur. Ibnu Qudamah berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini”. Abu ‘Abdillah juga berkata: “Al-Qur`an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewajibkan istinja’ bagi orang yang kentut. Melainkan hanya diwajibkan berwudhu”. Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam tentang firman Allah Subhanahu wata’ala

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah muka kalian”.[1]

Ia mengatakan: “jika kalian bangun tidur dan tidak ada perintah lainnya. Maka hal itu menunjukan tidak wajib. Karena yang mewajibkan hanyalah syariat. Sedangkan tidak ada nash yang mengatakan wajib beristinja’ (bagi orang yang kentut. Juga tidak ada kandungan makna nash yang mengatakan demikian. Karena disyariatkannya istinja’ adalah untuk menghilangkan najis. Sedangkan kentut tidak ada najis di dalamnya”.[2]

Tidaklah diwajibkan atau disunnahkan bahwa beristinja’ sebelum berwudhu. Karena istinja’ adalah ibadah tersendiri yang bertujuan menghilangkan najis dari kedua jalan tubuh manusia. Tidak seperti yang disangka oleh sebagian orang. Tidak terdapat satu riwayatpun yang mengatakan bahwa setiap kali hendak berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beristinja’ atau memerintahkannya. 

Adab-adab Istinja’

Beberapa adab yang penting diperhatikan saat istinja’ yaitu:

1. Tidak beristinja’ dengan menggunakan tangan kanan.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abu Qatadah dari Ayahnya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِينِهِ وَلاَ يَتَنَفَّسْ فِى الإِنَاءِ

“Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanan saat buang air kecil dan jangan beristinja’ dengan tangan kanan dan jangan bernafas di dalam wadah air”.[3]

Diriwayatkan dari Salman ia berkata:

قال لي رجل إن صاحبكم ليعلمكم حتى الخراءة قال أجل نهانا أن نستقبل القبلة بغائط أو بول أو نستنجي بأيماننا أو نكتفي بأقل من ثلاثة أحجار

“Seseorang berkata kepadaku sahabatmu mengajarimu segala hal hingga permasalahan hadas? Ya beliau melarang kira menghadap kiblat disaat buang air besar atau kecil, melarang beristinja’ dengan tangan kanan dan melarang (istijmar) dengan kurang dari tiga batu”.[4]

2. Tidak memegang kemaluan dengan tangan kanan. Karena hadits Ibu Qatadah tadi.

Menggesekkan tangan ke tanah setelah istinja’ atau mencucinya dengan sabun dan lainnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم إِذَا أَتَى الْخَلَاءَ أَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فِي تَوْرٍ أَوْ رَكْوَةٍ فَاسْتَنْجَى ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى الْأَرْضِ

“Ketika Nabi memasuki kamar kecil aku membawakan untuknya air dalam wadah air kemudian beliau beristinja’. Kemudian beliau mengusapkan tangannya ke tanah”.[1]

Terdapat hadits lain yang menguatkan hadits ini. Yaitu hadits Maimun radhiallahu ‘anhu: “kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyiramkan air ke arah kemaluannya dan mencucinya dengan tangan kiri. Kemudian menggesekkan tangannya ke tanah lalu menyucinya kembali”.

3. Memercikkan air ke arah kemaluan dan celana setelah buang air kecil untuk mencegah timbulnya was-was.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّةً فَنَضَحَ فَرْجَهُ

“Bahwa Rasulullah berwudhu kemudian memercikkan air ke arah kemaluannya”.[2]

Bagaimana Cara Beristinja’ Penderita Penyakit Beser Atau Yang Sejenisnya

Orang yang menderita penyakit ini beristinja’ dan berwudhu setiap kali mengerjakan shalat. Setelah itu tidak lagi membahayakan dia apa yang keluar dari tubuhnya. Wudhunya tetap sah hingga waktu shalat berikutnya. Ini pendapat yang rajih. Abu Hanifah, Asy-Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan lainnya juga mengambil pendapat ini.

Orang yang menderita penyakit beser sama halnya dengan wanita yang menderita istihadhah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan:

إنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِي الصَّلَاةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي. عند البخاري قال: قَالَ أَبِي: ثُمَّ تَوَضَّئِ لِكُلِّ صَلاَةٍ حَتَّى يَجِيْئَ ذلِكَ الْوَقْتُ

“Sesungguhnya itu peluh keringat dan bukan haid. Jika kamu sedang haid maka tinggalkan shalat. Jika sudah selesai waktunya maka cuci darah yang ada di badanmu dan shalatlah.[3]”.menurut riwayat Al-Bukhari ia mengatakan: fathimah berkata: Ayahku berkata: “kemudian berwudhulah untuk setiap kali waktu shalat sampai datang waktu shalat lainnya”.[4]

Penulis berkata: Ini termasuk dari hukum seseorang yang memiliki uzur atau mengalami kondisi darurat. Karena syariat telah menghapuskan uzur dan kesulitan dalam beribadah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”[1]

Menurut Imam Malik orang yang menderita beser atau sejenisnya tidak diwajibkan beristinja’ juga tidak diwajibkan berwudhu kecuali dia memiliki hadas selain beser itu.

Penulis berkata: Pendapat yang tidak mewajibkan wudhu untuk setiap kali waktu shalat selama tidak berhadas lainnya, kurang disetujui oleh para ulama yang menganggap dhaif tambahan hadits “dan berwudhulah setiap kali waktu shalat”. Tapi pendapat yang kuat adalah yang mewajibkan berwudhu untuk setiap kali waktu shalat. Sebagaimana nanti yang akan kami jelaskan dalam bab haid. Sedangkan pendapat tidak diwajibkannya beristinja’ adalah pendapat yang tidak berdasar sama sekali. Karena penderita beser telah mengeluarkan sesuatu dari badannya yang mewajibkannya untuk beristinja’. Maka ia diwajibkan beristinja’ jika tidak ada uzur sebelum melakukan shalat. Sedangkan hal yang dimaafkan atau dimaklumi adalah saat keluarnya air kencing ditengah-tengah shalat. Hal itu untuk menghilangkan kesulitan umat. Wallahu A’lam.

Leave a Comment