Hukum Melamar Wanita Yang Telah Dilamar Orang Kafir

Hukum Melamar Wanita Yang Telah Dilamar Orang Kafir


Fatwapedia.com – Contoh dalam masalah ini adalah seorang kafir (dzimmi) melamar perempuan ahli kitab dan telah mendapat persetujuan, kemudian seorang muslim melamar perempuan itu. Atau, pelamar pertama adalah muslim tapi meninggalkan shalat (menurut pihak yang memandang kafirnya orang yang meninggalkan shalat), dan semisalnya. Untuk kasus ini, di kalangan ulama ada dua pendapat.

Pendapat pertama: Boleh Melamar Atas Lamarannya.

Ini adalah pendapat Ahmad, al-Auza‘i, Ibnu al-Mundzir, dan al-Khaththabi.

1. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ

“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya. Karena itu, tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli (ditawar) saudaranya, dan tidak halal meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya sebelum saudaranya itu meninggalkan.” [Syarh az-Zarqani (III/163), Asna al-Mathalib (III/115), al-Mughni (VI/608), Fath al-Bari (IX/200), Syarh Muslim(III/570), dan Jami‘ Ahkam an-Nisa’ (III/241)]

Allah Subhanahu wata’ala telah memutuskan tali persaudaraan antara orang kafir dengan muslim, maka larangan di atas dikhususkan untuk sesama muslim.

2. Hukum asal (muamalah) adalah mubah hingga datang larangan. Telah datang larangan dalam masalah ini –yaitu larangan melamar di atas lamaran orang lain–, larangan itu diikatkan kepada muslim, maka untuk selain muslim hukum asal tadi tetap berlaku.

3. Lafazh larangan dalam hadits tersebut khusus bagi muslim, sedang mengikutkan selain muslim dalam larangan itu hanya sah jika selain muslim itu setara dengannya. Kafir dzimmi jelas tidak sama dengan seorang muslim. Kehormatannya tidak setara dengan kehormatan seorang muslim. Oleh karena itu, seorang muslim tidak wajib menghadiri undangan kafir dzimmi ke acara walimah dan yang semisalnya yang dia adakan.

Pendapat Kedua: Haram Melamar Di Atas Lamaran Orang Kafir.

Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka memberikan alasan bahwa lamaran tersebut bisa menyakiti pelamar pertama (yang kafir). Adapun mengenai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “janganlah seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya”, maka ini hanyalah penyampaian apa yang biasa terjadi pada zaman itu, maka tidak mengandung mafhum sama sekali.

Penulis berkata: Pendapat Yang Rajih Adalah Pendapat Pertama. Adapun perkataan pendukung pendapat kedua bahwa sabda Nabi ini “hanya berupa penyampaian apa yang biasa terjadi pada zaman itu”, maka Ibnu Qudamah berkata, “Kapan saja di dalam sesuatu yang disebutkan secara khusus terkandung makna yang sah untuk dijadikan patokan dalam hukum, maka tidak boleh menafikannya dan tidak boleh memberlakukan hukum tanpanya. Ukhuwwah Islamiyah memiliki pengaruh dalam mewajibkan sikap menghormati sesama muslim dan sikap ketelitian dalam menunaikan hak, menjaga perasaan, dan memelihara rasa sayang kepadanya. Maka, tidak boleh mengabaikan semua itu. Wallahu a‘lam.”

Bolehkah Konsultasi Tentang Lamaran, Dan Hukum Menceritakan Aib Orang Yang Melamar?

Apabila seseorang dimintai pertimbangannya tentang laki-laki yang melamar atau tentang perempuan yang dilamar, maka dia wajib menyampaikan apa adanya secara jujur sekalipun harus menyebutkan kejelekan-kejelekan orang yang ditanyakan. Ini tidak termasuk perbuatan gibah yang haram selama diniatkan memberi nasihat dan peringatan, bukan untuk menyakiti. [Jawahir al-Iklil (I/276), Nihayah al-Muhtaj (VI/200), Raudah ath-Thalibin (VII/32), Kasyf al-Qana‘(V/11)] Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha tatkala dia berkonsultasi kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ

“Adapun tentang Abu Jahm, maka dia itu orang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari lehernya (yakni, suka memukul). Sedangkan Mu‘awiyah, maka dia orang yang miskin, tidak punya harta.”

Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama itu nasihat.”

Waktu dibolehkannya menyebut kejelekan-kejelekan tersebut adalah ketika diperlukan. Jika orang itu bisa berbicara terus terang tanpa perlu menyebutkan kejelekan-kejelekan itu, maka dia wajib membatasi diri dengan itu saja, dan tidak boleh menyebutkan aib orang yang ditanyakan.

Jika dia dimintai keterangan tentang dirinya sendiri dalam kaitannya dengan pernikahan, maka dia harus menjelaskannya. Misalnya dengan mengatakan, “Aku punya sifat pelit.” Atau, “Sifatku keras.” Atau yang semisal itu. Jika dia pernah berbuat maksiat, maka hendaknya dia bertaubat saat itu juga dan menutupi aibnya itu. Jika dia mengatakan bahwa dirinya tidak layak untuk mereka tanpa membuka aib-aibnya, maka itu sudah cukup.

Istikharah Kepada Allah Atas Lamaran

Disunnahkan bagi laki-laki yang melamar dan perempuan yang dilamar agar beristikharah berkaitan dengan urusan pernikahan mereka. Masing-masing dari mereka beristikharah kepada Allah tentang orang yang dilamar atau yang melamarnya, tentang waktu pernikahan, tentang keluarga mempelai, dan sebagainya. Di dalam Bab tentang Shalat, telah disampaikan pembahasan tentang shalat istikharah dan beberapa adabnya. Disunnahkan untuk ikhlas dalam memanjatkan doa istikharah. Tidak mengapa mengulang-ulang pelaksanaan shalat istikharah karena istikharah adalah doa. Dan disunnahkan memperbanyak melakukannya dan bersungguh-sungguh dalam memanjatkannya. [Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ halaman 383 dengan diringkas]

Boleh Menggunakan Perantara Orang Lain Untuk Menyampaikan Lamaran

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjadi perantara untuk Mughits di hadapan Barirah agar dia mau kembali menikah dengannya. Barirah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda memerintahkanku?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku hanya sekadar menjadi perantara.” Barirah berkata, “Aku sudah tidak punya keperluan dengannya.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5283), Abu Daud (2231), an-Nasa’i (VIII/245), dan Ibnu Majah (2075)]

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma jika diundang untuk menikahkan orang, dia berkata, “Janganlah kalian membuat hadirin menunggu karena kami. Segala puji hanya milik Allah. Semoga shalawat senantiasa tercurah kepada Muhammad. Sesungguhnya si fulan melamar fulanah kepada kalian. Jika kalian mau menikahkan dia dengannya, maka alhamdulillah. Namun jika kalian menolaknya, maka subhanallah.” [Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: al-Baihaqi (VII/181)]

Demikian penjelasan lengkap tentang wanita yang haram untuk dikhitbah. Untuk melihat penjelasan bagian pertama silahkan klik DISINI. Semoga bermanfaat. Barokallohu fiikum.

Leave a Comment