Hak Pengembalian Barang dan Syarat-syaratnya

Hak Pengembalian Barang dan Syarat-syaratnya

Fikroh.com – Alhamdulillah masih bersama matan Al Imam Abu Syuja’ rahimahullahu ta’ala atau yang dikenal dengan matan al-ghayah fil ikhtisyar.

Kita kali ini sampai pada pernyataan beliau,

وإذا وجد بالمبيع عيب فللمشتري رده

Beliau mengatakan, “Bila barang yang ditransaksikan, barang yang diperjualbelikan, ditemukan dalam kondisi memiliki cacat, ada cacat ada kekurangannya, tidak sesuai dengan kesepakatan atau pun deskripsi yang disampaikan, penjelasan yang disampaikan oleh penjual atau tidak sesuai yang diinginkan oleh pembeli. Ada cacat barang atau kekurangannya, kekurangan tersebut belum diketahui, belum diungkapkan, belum disampaikan ketika transaksi, sehingga aib tersebut tentu akan mempengaruhi kerelaan pembeli, karena semua orang ketika melakukan satu transaksi menginginkan agar barang yang dia beli dalam kondisi utuh tidak ada cacatnya, tidak ada kekurangannya.”

Apalagi dalam literasi ilmu fiqih telah dinyatakan,

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ عند الإطلاق السلامة 

Hukum asal pada suatu kata ketika itu disampaikan baik itu kata benda ataupun kata kerja, ketika itu diutarakan, apalagi kata tersebut telah dibangun diatasnya satu komitmen, satu kesepakatan, satu transaksi maka kata tersebut seharusnya dipahami, diartikan sebagai satu kata yang sempurna, tidak ada kekurangannya. 

Sehingga ketika anda berkata misalnya, “Saya menjual rumah”. Maka idealnya dalam kondisi normal rumah yang diperjualbelikan adalah rumah yang normal, bukan rumah yang cacat. Lengkap dengan pintu, jendelanya, gentingnya. 

Ketika anda berkata, “Saya jual rumah”. Padahal ketika rumah tersebut tidak bergenting, tidak berpintu, tidak berjendela, sedangkan anda tidak mau menjelaskannya, tidak mendeskripsikannya, maka anda bisa dikategorikan telah melakukan wanprestasi atau penipuan atau tidak komitmen dalam melakukan satu kontrak kerja atau kesepakatan transaksi. 

Demikian pula ketika anda membeli dengan harga tertentu misalnya anda katakan Rp. 1.000.000,-. Hukum asalnya kata Rp. 1.000.000,- ya Rp. 1.000.000,- utuh, tidak kurang serupiah pun dan juga tidak lebih serupiah pun. Hukum asalnya demikian. Dan uang rupiah pun semuanya adalah uang rupiah yang normal bukan uang rupiah yang robek yang tinggal separo saja dan bukan uang yang palsu. Betul-betul uang yang sempurna, utuh itu hukum asalnya. 

Sehingga ketika dalam transaksi penjual menyatakan ketika penjual, menyatakan “Saya menjual barang ini”. Dan pembeli ketika menyatakan, “Saya beli barang tersebut”. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut tentang kondisi barang maka hukum asalnya barang yang menjadi obyek transaksi adalah barang yang utuh tanpa ada cacat.

Sebagaimana ketika pembeli mengatakan, “Saya beli dengan nilai sekian.” Maka harganya atau uangnya yang menjadi nilai transaksi tersebut juga uang yang utuh, tidak kurang sedikit pun dan tidak lebih sedikit pun. Dan juga tidak ada cacatnya karena kaidah tadi dinyatakan,

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ عند الإطلاق السلامة

Hukum asal dalam semua urusan ketika itu diutarakan tanpa ada embel-embel penjelasan lebih lanjut maka itu harus dipahami dalam kondisi normal, dalam kondisi utuh tanpa cacat tanpa kurang tanpa lebih. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam menjelaskan akan ketentuan hukum ini dengan bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ  ( HR Ibnu Mâjah 2237)

[HR Ibnu Mâjah 2237 dan dihukumi sebagai hadits shahih oleh al-Albâni dalam al-Irwâ’ no 1321almuslim ahul muslim]

Setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Karena setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya, konsekuensinya dari adanya persaudaraan ini mengharuskan kita untuk bersikap transparan, jujur, tidak boleh manipulasi atau menyembunyikan cacat. 

Sehingga kata nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam shallallahu ‘alayhi wa sallam, tidak halal baginya untuk menjual suatu barang kepada saudaranya sesama muslim, sedangkan dia tahu bahwa barang yang dia jual itu ada cacatnya, ada kekurangannya, tidak halal untuk dia jual kecuali dengan ketentuan. 

Ketentuan apa? Dia bersikap transparan, jujur dia sampaikan apa adanya. Kekurangan barang tersebut dia sampaikan, agar transaksi antara keduanya itu berjalan secara تراض. Dibangun di atas kerelaan dibangun di atas suka sama suka. Karena ketika anda menjual barang yang ada cacatnya, anda tidak menjelaskannya tentu dalam kondisi normal pembeli lawan transaksi anda akan kecewa, tidak rela seutuhnya. Kurangnya kadar kerelaan ini sangat berpengaruh pada hukum transaksi anda. 

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan satu pedoman besar, 

لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ  

“Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara-cara yang bathil, kecuali bila perpindahan hak kepemilikan tersebut dilakukan melalui transaksi jual beli yang dilaksanakan dengan prinsip تراض (suka sama suka, rela sama rela)” [QS An-Nisa: 29]

Rasulullah juga bersabda,

 إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ 

“Sejatinya yang dinamakan jual beli yang benar dalam islam itu adalah jual beli yang dilakukan dengan azas تراض (suka sama suka).” 

[HR Ibnu Majah, no. 2269; dinilai sahih oleh Al-Albani]

Pada hadits di atas nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memberikan satu isyarat yang begitu indah andai kita pahami dan kita lakukan. Setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Dan kemudian nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memberikan contoh  kongkrit bagaimana aplikasi ukhuwah persaudaran di antara muslim yang seharusnya. 

Contoh kongkrit dalam ukhuwah merealisasikan nilai persaudaraan antara umat islam, persaudaraan yang dibangun di atas keimanan ketaqwaan, keislaman ialah bersikap transparan.

Sehingga kata nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam shallallahu ‘alayhi wa sallam, “Tidak halal baginya untuk menjual satu barang yang ada cacatnya kecuali bila dia menjelaskannya, menyampaikannya kepada saudaranya yang akan bertransaksi atau membeli barang tersebut”

Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam dalam hadits lain juga menegaskan hal yang serupa dengan bersabda,

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا . الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ

“Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara.” (HR Muslim 2564)

Pada hadits ini jelas nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,  لاَ يَخُونُهُ  “tidak halal baginya untuk mengkhianati”. Tentu penjual yang tahu barang yang dia jual memiliki aib, yang ada cacatnya kemudian dia sengaja diam. Atau bahkan sengaja dia sembunyikan. 

Maka ini adalah bentuk dari pengkhianatan dan tentu itu haram hukumnya. Dan karena pengkhianatan ini berefek langsung pada prinsip jual beli dalam islam yaitu berimbas langsung, berpengaruh pada kadar kerelaan dan itu merupakan syarat mutlak disyariatkannya jual beli atau dihalalkannya jual beli. 

Maka adanya cacat yang sengaja disembunyikan, penjual tahu tapi tidak disampaikan (dia diam) baik dengan mengatakan, “Saya tidak tahu” atau “Barang ini bagus tanpa cacat” atau pura pura tidak tahu dengan mengatakan, “Silahkan cari sendiri saya tidak mau menyampaikan dan ini barang saya, cari sendiri kalau ada cacatnya silahkan kalau mau dibeli, kalau tidak ya silahkan”. 

Padahal penjual tahu mengatakan “cari sendiri” ini tidak dibenarkan kalau anda tahu anda tidak boleh pura pura tidak tahu atau sengaja diam, anda harus menyampaikannya. Kalau anda tidak menyampaikannya padahal anda tahu, berarti anda telah berbuat khianat dan transaksi yang anda jalin menjadi transaksi yang haram.

Kenapa? Karena sudah bisa dipastikan anda akan memakan harta saudara anda yaitu uang pembeli dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Namun perlu digarisbawahi di sini agar permasalahan ini menjadi clear (tuntas) para ahli fiqih telah mengkaji masalah cacat barang itu hingga ke akar-akarnya tuntas semua. 

Mereka memberikan dengan satu kriteria karena cacat suatu barang itu dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk persepsi masyarakat setempat. Bisa jadi kerusakan pada suatu barang bagi sebagian masyarakat tidak dianggap sebagai cacat bahkan kekurangan itu dicari, bahkan dianggap sebagai suatu kelebihan.

Contoh sederhananya seperti di masyarakat kita, seperti kelapa kalau itu kondisinya normal, kelapa dibiarkan sampai tua, kelapa tersebut dikupas kemudian diambil kelapanya, diparut untuk menghasilkan santan, dia normal. Tapi ketika kelapa itu mengalami kelainan atau biasa disebut dengan kopyor, itu kalau dibiarkan sampai tua maka itu tidak menghasilkan santan yang banyak, bahkan tekstur daging kelapa (tekstur kelapa) tidak normal.

Namun demikian status kelapa itu kopyor dalam kondisi yang abnormal ini bagi orang yang akan memasak rendang, yang membeli kelapa untuk diambil santannya maka ini dianggap cacat. Karena tidak menghasilkan santan yang banyak, tetapi bagi orang yang ingin menjadikannya sebagai bahan campuran es kelapa kopyor misalnya. 

Maka kelapa kopyor ini bukan cacat justru itu adalah kondisi kelapa yang diinginkan, bahkan nilainya lebih mahal daripada kelapa yang normal. Karena itu perlu dipahami definisi cacat, kriteria cacat yang mempengaruhi keabsahan transaksi. 

Para ulama mengatakan, suatu kondisi barang dikatakan cacat bila:

(1) Tidak sesuai dengan yang disepakati antara pembeli dan penjual, apapun kondisinya.

Seperti disampaikan tadi bagi pedagang es kelapa kopyor itu adalah yang diinginkan pedagang es. Sengaja mencari kelapa kopyor. Sehingga yang dijual kepadanya kelapa normal justru itu cacat, sebaliknya bagi orang yang ingin mendapatkan santan, karena dia beli kelapa untuk dijadikan santan, maka kopyor itu adalah cacat.

Karenanya kriteria pertama kondisi apapun yang terjadi pada barang yang ditransaksikan, yang diperjualbelikan, obyek transaksi bila kondisi itu tidak memenuhi kriteria yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, maka itu dianggap cacat, tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pembeli maka itu adalah cacat. 

Contoh sederhana yang lain yang lebih jelas, ketika seorang pembeli menginginkan kendaraan bermotor, dia ingin motor tersebut adalah motor ‘laki’ yang second bisa jadi harganya murah. Ketika didatangkan kepadanya motor ‘bebek’ walaupun itu baru, karena tidak sesuai dengan tujuan dan maksud si pembeli maka motor baru tersebut karena beda jenis, maka dianggap cacat dianggap tidak sesuai kriteria. 

Intinya kondisi apapun yang tidak sesuai dengan kesepakatan itu dianggap sebagai cacat, kalau itu ada maka itu harus disampaikan, bahwa barang ini tidak sesuai dengan yang telah disepakati.

Ini yang bisa kami sampaikan kurang dan lebihnya mohon maaf.  

وبالله التوفيق و الهداية

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Leave a Comment