Fatwa: Menunda Puasa Qadha’, Suntik, Obat Tetes Telinga dan Memakai Celak

Fatwa: Menunda Puasa Qadha', Suntik, Obat Tetes Telinga dan Memakai Celak

#Menunda Puasa Qadha’

Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Saya tidak melaksanakan beberapa hari di bulan Ramadhan karena uzur, saya tidak mampu meng�qadha’-nya hingga masuk Ramadhan berikutnya. Apakah saya didenda karena menunda puasa Qadha’? 
ketika meng-qadha’, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah?
Jawaban:
Jumhur ulama mewajibkan fidyah bagi orang yang menunda qadha’ puasa Ramadhan hingga masuk ke 
Ramadhan berikutnya. Fidyah tersebut adalah memberikan makan satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan, makanan tersebut cukup untuk makan siang dan makan malam. Jika qadha’ tersebut tidak dilaksanakan tanpa ada uzur. Hukum ini berdasarkan dalil hadits Mauquf dari Abu Hurairah, artinya ini ucapan Abu Hurairah, penisbatan ucapan ini kepada Rasulullah Saw adalah dha’if. Hukum ini juga diriwayatkan dari enam orang shahabat, menurut Yahya bin Aktsam tidak ada yang menentang pendapat mereka, diantara mereka adalah Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra.
Abu Hanifah dan ulama Mazhab Hanafi berpendapat: tidak wajib membayar fidyah disamping qadha’. Karena Allah Swt berfirman tentang orang yang sakit dan musafir:
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 184). 
Allah Swt tidak memerintahkan membayar fidyah. Hadits yang mewajibkannya 
adalah hadits dha’if, tidak dapat dijadikan dalil.
Imam asy-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar, juz. 4, hal. 318, mendukung pendapat ini, “Tidak ada hadits kuat dari Rasulullah Saw tentang masalah ini. Pendapat shahabat tidak dapat dijadikan dalil. Pendapat jumhur tidak menunjukkan bahwa itu benar. Hukum asal tidak ada kewajiban menjadi penetap hukum tidak adanya kewajiban yang membebani, sampai ada dalil tentang itu. Dalam masalah ini tidak ada dalil yang mendukung. Maka tidak wajib membayar fidyah)”.
Imam Syafi’i berkata, “Jika qadha’ tersebut tidak dilaksanakan karena uzur, maka tidak wajib membayar fidyah. Jika bukan karena suatu uzur, maka wajib membayar fidyah”. Pendapat ini penengah antara dua pendapat diatas. Akan tetapi hadits dha’if atau hadits mauquf tentang kafarat ini tidak membedakan antara ada atau tidak adanya uzur. Mungkin pendapat ini dapat menenangkan jiwa karena memperhatikan bentuk khilaf yang ada.
Melaksanakan puasa qadha’ Ramadhan itu wajib dilaksanakan secara tunda, tidak wajib dilaksanakan segera, meskipun afdhal dilaksakan dengan segera ketika mampu, karena hutang kepada Allah Swt lebih utama untuk ditunaikan. Disebutkan dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bahwa Aisyah ra meng-qadha’ puasa Ramadhan di bulan Sya’ban, ia tidak melaksanakannya segera ketika ia mampu.
Dalam melaksanakan puasa Qadha’ tidak diwajibkan mesti berturut-turut. Ad-Daraquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw berkata tentang qadha’ puasa Ramadhan:
“Jika mau dapat melaksanakannya secara terpisah-pisah dan jika mau dapat melaksanakannya secara berturut-turut.
Sumber: Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 268 [Maktabah Syamilah].

#Suntik, Obat Tetes Telinga dan Memakai Celak

Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apakah orang yang sedang berpuasa boleh disuntik? Apakah boleh memasukkan obat ke dalam telinga ketika sedang berpuasa? Apakah perempuan boleh memakai celak pada waktu pagi ketika sedang berpuasa?
Jawaban:
Kami katakana kepad semua yang menggunakan jarum suntik pada bulan Ramadhan bahwa jarum suntik terdiri dari beberapa jenis, ada yang digunakan sebagai obat dan penyembuhan, apakah pada 
urat, atau pada otot, atau di bawah kulit. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena tidak sampai ke perut dan tidak memberikan makanan. Oleh sebab itu tidak membatalkan puasa dan tidak perlu dibahas.
Akan tetapi ada satu jenis jarum yang memasukkan nutrisi ke dalam tubuh, seperti jarum Glucose yang menyampaikan nutrisi ke dalam darah secara langsung. Ulama moderen berbeda pendapat tentang masalah ini, karena kalangan Salaf tidak mengenal jenis pengobatan seperti ini. Tidak terdapat tuntunan dari Rasulullah Saw, para shahabat, tabi’in dan generasi pertama tentang masalah ini. 
Ini perkara yang baru. Oleh sebab itu para ulama modern berbeda pendapat. Ada ulama yang berpendapat bahwa ini membatalkan puasa karena menghantarkan nutrisi ke tingkat tertinggi, karena 
langsung sampai ke darah. Sebagian ulama menyatakan tidak membatalkan puasa, meskipun sampai ke darah, karena yang membatalkan puasa adalah jika sampai ke perut yang membuat manusia merasa 
kenyang setelah mengalaminya, atau merasa segar (hilang haus). Yang diwajibkan dalam puasa adalah menahan nafsu perut dan kemaluan, artinya manusia merasakan lapar dan haus. Berdasarkan ini mereka berpendapat bahwa jarum ini tidak membatalkan puasa.
Meskipun saya memilih pendapat kedua (tidak membatalkan puasa), akan tetapi menurut saya lebih bersikap hati-hati jika seorang muslim tidak menggunakan jarum ini pada siang Ramadhan, jika ada kelapangan waktu untuk menggunakannya setelah tenggelam matahari. Jika seseorang sakit, maka Allah Swt memperbolehkannya untuk berbuka. Meskipun jarum ini tidak benar-benar memberikan makanan 
dan minuman dan orang yang menggunakannya tidak merasa hilang lapar dan haus setelah menggunakannya seperti makan dan minum langsung, akan tetapi paling tidak merasa segar, hilang lesu 
yang dirasakan orang-orang yang berpuasa pada umumnya. Allah Swt ingin agar manusia merasakan lapar dan haus, agar mengetahui kadar nikmat Allah Swt kepadanya, merasakan sakitnya orang-orang yang sakit, laparnya orang-orang yang kelaparan dan penderitaan orang lain yang mengalami penderitaan. Kami khawatir jika kami membuka pintu ini, maka orang-orang kaya yang mampu akan menggunakan jarum ini pada siang hari Ramadhan agar mereka mendapatkan kekuatan dan merasa 
segar, agar tidak merasakan sakitnya lapar dan penderitaan puasa di siang hari bulan Ramadhan. Jika ingin menggunakannya, maka sebaiknya ditunda setelah berbuka puasa. Ini jawaban pertanyaan pertama.
Adapun pertanyaan kedua dan ketiga, yaitu berkaitan dengan meletakkan obat ke telinga, juga memakai celak pada kedua mata pada siang hari bulan Ramadhan dan obat pada anus, semua ini adalah 
sesuatu yang mungkin sebagiannya masuk ke dalam tubuh, akan tetapi tidak sampai ke dalam perut dari rongga yang normal (rongga masuknya makanan ke dalam perut), oleh sebab itu tidak disebut 
memberikan makanan dan orang yang mengalaminya tidak merasa segar setelah merasakannya. Para ulama zaman dahulu dan ulama modern berbeda pendapat dalam masalah ini, antara yang sangat ketat 
dan yang longgar. Ada ulama yang menyatakan bahwa semua ini membatalkan puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa rongga-rongga ini bukanlah rongga yang normal tempat masuknya makanan ke 
dalam perut, oleh sebab itu tidak membatalkan puasa. Saya berpendapat bahwa penggunaan celak, tetes mata, obat tetes telinga, obat pada anus bagi penderita wasir dan sejenisnya. Menurut saya semua 
ini tidak membatalkan puasa. Pendapat yang saya fatwakan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah. Beliau menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, kemudian beliau berkata, “Menurut pendapat yang kuat, semua itu tidak membatalkan puasa. Karena ibadah puasa dari ajaran Islam yang perlu diketahui 
seluruh umat manusia. Jika perkara-perkara ini diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam ibadah puasa dan merusak ibadah puasa, pastilah Rasulullah Saw wajib menjelaskannya. Andai Rasulullah Saw 
menyebutkannya, pastilah diketahui para shahabat dan mereka sampaikan kepada umat sebagaimana mereka telah menyampaikan semua syariat Allah Swt. Karena tidak seorang pun ulama meriwayatkan dari mereka tentang masalah ini, tidak ada hadits shahih maupun dha’if, musnad maupun mursal, maka dapat diketahui bahwa Rasulullah Saw tidak menyebutkan masalah ini walaupun sedikit. Hadits yang diriwayatkan tentang celak adalah hadits dha’if. Yahya bin Ma’in berkata, “Hadits Munkar”. Inilah fatwa 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, fatwa ini menjelaskan dua dasar:
Pertama, bahwa hukum-hukum yang bersifat umum yang perlu diketahui oleh semua orang, maka Rasulullah Saw wajib menjelaskannya kepada umat. Karena Rasulullah Saw itu pemberi penjelasan 
kepada umat manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka. Allah Swt berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (Qs. An-Nahl [16]: 44). 
Umat juga wajib melaksanakan penjelasan tersebut setelah Rasulullah Saw. Ini adalah dasar.
Dasar kedua, bahwa memakai celak, obat tetes telinga dan sejenisnya terus digunakan oleh manusia sejak lama, termasuk kategori perkara yang bersifat umum, sama seperti mandi, memakai minyak rambut, memakai asap (harum), parfum dan sejenisnya. Andai ini membatalkan puasa, pastilah Rasulullah Saw menjelaskannya sebagaimana Rasulullah Saw menjelaskan hal-hal yang membatalkan puasa. Ketika Rasulullah Saw tidak menjelaskannya, maka dapat difahami bahwa ini termasuk jenis parfum, asap (harum), minyak rambut dan sejenisnya. Ibnu Taimiah berkata, “Terkadang asap naik ke hidung dan masuk ke otak, merasuk ke tubuh. Minyak rambut juga diserap oleh tubuh, masuk ke dalam tubuh dan tubuh menjadi segar. Parfum juga membuat tubuh menjadi segar. Rasulullah Saw tidak melarang semua itu, maka ini menunjukkan bahwa boleh memakai parfum, menggunakan asap (harum) dan minyak rambut, maka demikian juga halnya dengan celak”. Kesimpulan dari pendapat Ibnu Taimiah dalam fatwa ini bahwa celak tidak memberikan nutrisi dan tidak ada orang yang memasukkan celak ke dalam perutnya, tidak lewat hidung dan tidak pula lewat mulut. Demikian juga dengan obat pada anus, tidak memberikan nutrisi, akan tetapi mengambil tempat di dalam tubuh. Sama seperti seseorang yang mencium bau sesuatu atau merasa cemas, maka menyebabkannya mual. Padahal itu tidak sampai ke dalam perut. Ini pendapat yang baik dan pemahaman yang mendalam terhadap Fiqh Islam. Pendapat Inilah yang kami pilih dan kami fatwakan. Wa billahi at-Taufiq.
Sumber: Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 325

Leave a Comment