Dua Ibadah Ini Tidak Mewajibkan Wudhu Untuk Melakukannya

Dua Ibadah Ini Tidak Mewajibkan Wudhu Untuk Melakukannya

Fikroh.com – Ibadah adalah sebuah tindakan yang menghubungkan seorang hamba dengan Rabbnya. Ibadah menuntut kita beramal sesuai contoh dari Rasul-Nya. Ibadah mudah dikerjakan oleh siapa saja. Ia hanya butuh kemauan saja.

Alloh memberikan keringanan syarat dalam beberapa praktek ibadah. Diantara keringanan syaratnya adalah tidak diwajibkan wudhu terlebih dahulu saat menunaikannya. 

Maka tidak wajib berwudhu untuk selain shalat dan tidak diharamkan pula sesuatu apapun terhadap seseorang yang berhadas selain di luar shalat. Dan adapun disunnahkan berwudhu dalam hal berikut.

1. Berthawaf Di Sekitar Ka’bah

Belum bisa kami katakan bahwa diharuskannya orang yang berthawaf itu harus berwudhu karena belum ada hadits shahih yang jelas menjelaskan hal tersebut. Pada suatu ketika jumlah kaum muslimin yang berthawaf di zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak seorangpun yang dapat menghitungnya kecuali Allah Subhanahu wata’ala dan belum ada hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah ketika itu memerintahkan kepada seseorang dari mereka berwudhu untuk thawafnya dengan adanya perkiraan bahwa banyak yang batal wudhunya dari mereka ketika sedang mengerjakan thawaf, dan bahkan kebanyakan dari mereka berthawaf dengan tidak berwudhu khususnya pada hari-hari yang berdesakan jama’ahnya seperti, thawaf qudum (kedatangan) dan thawaf ‘ifadah (tambahan).

Karena ketiadaan dalil yang menerangkan wajibnya berwudhu untuk thawaf dan juga tidak ada ‘ijma ulama yang mewajibkannya, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban berwudhu”.

Ada ulama berdalil atas wajibnya berwudhu untuk thawaf dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu yang marfu’:

الطَوَّافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ إِلَّا أَنَّ اللهَ أَبَاحَ فِيْهِ الْكَلَامَ

“Thawaf di baitul haram itu adalah shalat kecuali Allah membolehkan berbicara di dalamnya”

Mereka berpendapat: ”Jika thawaf itu adalah shalat maka wajib bagi seseorang untuk berwudhu seperti halnya ia mengerjakan shalat”, tetapi pendapat ini ditolak dengan dua alasan:

Hadits tersebut tidak sah menjadi marfu’ dan yang benar bahwa hadits tersebutmauquf yaitu perkataan Ibnu Abbas seperti apa yang telah dipilih oleh Tirmidzi, Al-Baihaqi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar dan lainnya.

Dilihat dari segi sahnya sesuatu yang fardhu, maka tidak seharusnya dari sesuatu yang fardhu dalam thawaf menyerupai shalat di segala hal hingga disyaratkan untuk thawaf seperti apa yang disyaratkan untuk shalat, oleh sebab itu sesungguhnya shalat yang disyariatkan itu adalah shalat yang disyaratkan baginya untuk bersuci dan sejenisnya yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan ditutup dengan salam.

Karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Maka jelaslah bagiku bahwa bersuci dari hadas disyaratkan dalam thawaf, tidak diwajibkan didalamnya dengan tanpa keraguan, tetapi disunnahkan untuk thaharah shugra (wudhu), karena dalil-dalil syar’i menunjukan bahwa tidak wajib berwudhu. Tidak ada dalam syariat dalil-dalil yang mewajibkan tahharah shugra untuk bertawaf” Pendapat ini yang dipilih oleh bin Hazm

2. Menyentuh Mushaf Al-Qur`an

Imam malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan keseluruhan ulama berpendapat bahwa tidak boleh bagi seseorang yang berhadas untuk menyentuh mushaf al-Qur`an dan berdalih dengan dua perkara:

Firman Allah Ta’ala:

لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”

Hadits Amru’ bin Hazm Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menulis surat yang ditujukan kepada penduduk yaman dan di dalamnya tertulis

لَايَمُسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا الطَّاهِرُ

“Janganlah menyentuh al-Qur`an kecuali orang yang suci”

Penulis berkata: Argumen mereka dapat dijawab dengan beberapa hal berikut:

Adapun ayat al-Qur`an yang berbunyi لاَ يَمُسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَtidak dapat dijadikan dalil kecuali setelah mengembalikan dhamir pada kalimat (يَمُسُّهُ) kepada al-Qur`an, tetapi kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa dhamir tersebut kembali kepada al-kitab al-maknun (kitab yang terpelihara) yang berada di al-lauh al-mahfuzh, dan yang dimaksud dari kata المطهرون adalah malaikat-malaikat. Dan redaksi ayat-ayat berikut menegaskan demikian:

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ

“Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”.

Dan diperkuat pendapat ini dengan firman Allah Subhanahu wata’ala:

فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ بِأَيْدِي سَفَرَةٍ كِرَامٍ بَرَرَةٍ

“Di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan Para penulis (malaikat),yang mulia lagi berbakti”.

Hadits ‘Amru bin Hazm dha’if tidak bisa dijadikan hujjah, karena riwayatnya diambil dari lembaran bukan yang didengar, dan sanadnya adalah orang-orang yang banyak diperselisihkan.

Dan jika haditsnya shahih dan dhamir pada ayat tersebut kembali kepada al-Qur`an, maka jawab sebagai berikut:

Kata الطَاهِرُ adalah lafaz musytarak maka kata tersebut dapat bermakna banyak: orang mu’min, dan orang yang suci dari hadas kecil dan besar dan dapat dimaksudkan dengan seseorang yang tidak terdapat najis di badannya, maka aku kembalikan masalah tersebut kepada sesuatu yang ditetapkan pada ushul(dasar).

Maka siapa yang membolehkan penafsiran lafaz musytarak tersebut kepada seluruh maknanya maka penafsirannya seperti di atas. Namun ketika kataالنَجَسُ dimaksudkan terhadap orang mu’min yang berhadas atau orang yangjunub tidaklah benar secara hakikat, majas dan bahasa. Berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

المُؤْمِنُ لَا يَنْجَسُ

“Orang mu’min itu tidak najis”

Maka terbukti orang mu’min itu selalu suci, ayat dan hadits itu tidak mencakupnya, karena penafsiran lafaz tersebut bukan terhadap orang yang bukan musyrik, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala:

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis”.

Dan terdapat juga hadits yang melarang bepergian membawa al-Qur`an ke negeri musuh.

Dan siapa yang mengatakan bahwa lafazh musytarok (umum) itu menyeluruh pada makna-maknanya maka tidak berguna lafazh tersebut sampai jelas dengan makna sendirinya. Ia mengatakan bahwa tidak ada hujjah pada ayat atau hadits tersebut. Bahkan jika benar kata “ath-thahir” (suci) menunjukan bukan kepada orang yang berhadas besar atau kecil.

Dengan demikian diketahui bahwa tidak ada dalil yang mewajibkan berwudhu sebelum menyentuh al-Qur`an, ini merupakan mazhab Abu Hanifah, Daud, Ibnu Hazm dan ini serupa dengan perkataan Ibnu Abbas dan jama’ah dari ulama salaf juga pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir[4]. Wallahu ‘alam.

Catatan tambahan:

Membaca al-Qur`an dengan tanpa menyentuhnya bagi orang yang berhadas kecil ataupun besar maka hukumnya boleh sesuai dengan pendapat ulama yang paling jelas. Perkara ini lebih mudah daripada perkara menyentuh mushaf al-Qur`an tanpa berwudhu. Dengan alasan sebagai berikut:

Tidak terdapat hadits marfu’ yang sampai kepada Nabi yang menyatakan larangan membacanya, adapun hadits yang telah beredar itu dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Diantaranya hadits Abdullah bin Amru secara marfu’:

لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْآنِ

“Tidak boleh bagi orang yang junub dan orang yang haid membaca al-Qur`an”

Hadits Ibnu Rawahah:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْرَأَ أَحَدٌ مِنَّا الْقُرآنَ وَهُوَ جُنُبٌ

“Rasulullah melarang seseorang dari kami membaca alQur`an dalam keadaan junub”.

Hadits Abdullah bin Malik:

إِذَا تَوَضَّأْتُ وَأَنَا جُنُبٌ أَكَلْتُ وَشَرِبْتُ, وَلَا أُصَلِّى وَلَا أَقْرَأُ الْقُرْآنَ حَتَى أَغْتَسِلُ

“Jika aku berwudhu dalam keadaan junub, aku tetap makan dan minum tetapi aku tidak shalat dan membaca al-Qur`an sebelum aku mandi”.

Namun semua hadits tersebut tidak shahih.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَذْكُرُ اللهَ كُلَّ أَحْيَانِهِ

“Bahwa Nabi selalu berdzikir menyebut Allah di setiap waktunya”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh wanita-wanita haid untuk keluar rumah pada hari Raya, “hingga mereka berada dibelakang orang-orang yang shalat dan mereka bertakbir dengan mengikuti takbir jamaah juga berdo’a dengan mengikuti do’a mereka”[3], terdapat pada hadits ini bahwa wanita haid bertakbir dan berdzikir menyebut nama Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan ia sedang haid:

اِفْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرُ أَنْ لَا تَطَوَّفِيْ بِالْبَيْتِ

“Lakukanlah seperti apa yang dilakukan orang berhaji kecuali thawaf di ka’abah”.

Dan seperti apa yang diketahui bahwa orang yang berhaji tentunya berdzikir menyebut nama Allah Subhanahu wata’ala dan membaca al-Qur`an.

Dengan demikian, diketahui bahwa tidak dilarang bagi orang yang berhadas membaca al-Qur`an, ini merupakan fatwa Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah dan merupakan mazhab abu hanifah dan juga terkenal di kalangan mazhab Syafi’i dan Ahmad”.

Leave a Comment