Definisi Luqathah, Hukum dan Macam-macamnya

Definisi Luqathah, Hukum dan Macam-macamnya

Definisi Luqathah

Artinya adalah harta yang hilang dari pemiliknya, atau setiap harta yang terpelihara ditemukan karena hilang, dan tidak diketahui siapa pemiliknya.

Hukum Memungut Barang Temuan (Luqathah)

Ulama berselisih pendapat mengenai hukum barang temuan. Sebagian dari mereka yakni madzhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa yang paling utama adalah memungutnya karena termasuk saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Juga menjaga harta sesama muslim dari kehilangan. Lain lagi dengan sebagian ulama yang mewajibkannya, dan ada juga yang mengatakan hukumnya disunnahkan.
Menurut madzhab Maliki dan Hanbali, memungut barang temuan hukumnya makruh. Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadits:
لا يأوي الضالة إلا ضال ما لم يعرفها
“Tidaklah terlindungi suatu barang yang hilang, kecuali kehilangan yang tidak diketahui” [Hadits Riwayat: Muslim (1725), Ahmad (4/360), dia mempunyai saksi pada Abu Daud (1720) dari hadits Jarir]
Penulis berkata: Pendapat yang rajih adalah yang mengatakan tentang wajibnya memungut barang temuan. Bahwa dia memungutnya takut nanti yang menemukannya adalah orang yang tidak amanah sehingga akan menghilangkan harta seorang muslim dengan tanpa hak. Seorang pemungut barang temuan wajib mengembalikannya kepada pemiliknya setelah mengetahui pemiliknya.
Adapun hadits yang digunakan sebagai dalil dari pihak yang melarang maksudnya adalah memungut barang temuan dengan niat memiliki yang memang tidak diperbolehkan. Sedangkan memungutnya dengan niat untuk mengumumkannya, maka tidak termasuk dalam sifat ini.

Macam-macam Luqathah

Luqathah terbagi menjadi luqathah hewan yang disebut dengan ad-Dhallah dan luqathah selain hewan yaitu barang hak milik selain itu. Masing-masing darinya punya hukum tersendiri.
Pertama: Luqathah selain Hewan
Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid berkata:
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسأله عن اللقطة فقال: اعرف عفاصها، ووكائها، ثم عرفها سنة، فإن جاء صاحبها، وإلا شأنك بها. قال: فضالة الغنم قال: هي لك أو لأخيك أو للذئب، قال: فضالة الإبل؟ قال: مالك و لها! معها سقاؤها وحذائها، ترد الماء و تأكل الشجر حتى يلقاها ربها
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya kepada beliau mengenai barang temuan. Beliau pun bersabda: “Kenalilah kantong dan talinya, lalu umumkanlah selama setahun. Jika saja pemiliknya datang, dan jika tidak maka urusanmu dengan barang tersebut.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan kambing yang hilang?” Beliau menjawab: “Itu untukmu, untuk saudaramu, atau untuk serigala”. Ia bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan unta yang hilang?” Ia menjawab, “Apa urusanmu dengannya? Sesungguhnya ia memiliki tempat airnya dan sepatu kakinya, ia bisa mendatangi tempat air dan memakan pepohonan sehingga ditemui oleh pemiliknya” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (2372), Muslim (1722) , Abu Daud (1706), dan Ibnu Majah (2504)]
Ada pula tambahan mengetahui jumlahnya dalam hadits Muslim dengan lafazh
اعرف عفاصها، ووكائها وعددها 
“Kenalilah kantong dan talinya berikut jumlahnya.”
Maksud dari hadits adalah mengetahui ciri-cirinya sampai tidak tercampur dengan harta pemungut, dan jika datang pemiliknya dia bisa menanyainya mengenai tanda-tandanya untuk mengetahui kejujurannya.
Jelaslah dalam hadits ini, bahwa seorang pemungut barang temuan terkait dengan sejumlah hal berikut:
1. Mengenali barang temuan yaitu dengan mengenali kantongnya, talinya, jumlah dan semacamnya.
Al-Hafizh rahimahullah berkata: Tujuannya adalah untuk mengetahui alat-alat yang menjaga menyimpan barang temuan, termasuk didalamnya menjaga jenis, sifat, ukuran, takaran bagi yang ditakar, timbangan bagi yang ditimbang, dan ukuran bagi yang diukur” [Fathul Bari (5/81)]
2. Mengumumkannya selama setahun penuh di tempat-tempat berkumpulnya manusia seperti pasar, pintu masjid dan sebagainya.
3. Menyimpan barang ini bersamanya sebagai titipan selama masa pengumuman. Dia tidak diperbolehkan mentransaksikannya dalam keadaan bagaimanapun. Bahkan dia mesti menjaganya sebagaimana dia menjaga harta miliknya, dan barang itu menjadi suatu amanah untuknya. Dia tidak menanggungnya kecuali karena melampaui batas dan kelalaian dalam penjagaannya. Lalu jika barang itu hilang atau rusak bukan disebabkan kelalaian darinya maka dia tidak lagi memilki kewajiban.
4. Jika pemiliknya datang dan mengemukakan ciri-cirinya, wajib bagi penemu mengembalikannya secara utuh.
5. Jika tidak ada orang datang yang mencarinya setelah satu tahun, pemungut barang temuan tersebut boleh memanfaatkannya seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits:
فإن جاء صاحبها، و إلا فشأنك بها
“Jika saja datang pemiliknya, dan jika tidak maka terserah padamu”
6. Jika setelah setahun ada yang datang mengemukakan ciri-cirinya, hendaklah dia mengembalikan barang tersebut kepadanya jika masih ada. Atau mengembalikan gantinya jika sudah rusak. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dalil mereka adalah apa yang disebutkan dalam riwayat:
فإن جاء باغيها فأدها إليه، وإلا فاعرف عفاصها و وكائها ثم كلها فإن جاء باغيها فأدها إليه
“Apabila datang  pencarinya maka kembalikanlah padanya, apabila tidak kenalilah kantongnya dan talinya kemudian makanlah (gunakanlah), jika pencarinya datang maka kembalikan padanya” [Hadits Riwayat: Abu Daud (1706) dan Ahmad (5/193)]
Ada lagi dalam riwayat Muslim, “Jika belum engkau ketahui maka gunakanlah, dan barang tersebut menjadi titipan padamu” [Hadits Riwayat: Muslim]
Penulis berkata: Tak ada beda antara pemungut barang temuan antara orang kaya atau miskin. Namun yang berbeda adalah sebelum dan sesudah satu tahun. Dia hendaknya menyimpan barang temuan sebagaimana adanya selama belum genap satu tahun. Kemudian setelah satu tahun dia boleh memanfaatkannya dan mengembalikan penggantinya jika pemiliknya datang dan barang tersebut telah tiada. An-Nawawi rahimahullah berkata: Apabila pemiliknya datang sebelum dimiliki oleh pemungut barang dia boleh mengambilnya sekaligus tambahan-tambahannya yang terhubung maupun yang terpisah. Adapun setelah dimiliki, jika pemiliknya belum datang maka itu untuk orang yang menemukannya. Jika pemiliknya datang, dan barangnya masih ada pemiliknya berhak mengambilnya beserta tambahan-tambahannya yang terhubung dengannya. [Jadi, tambahan-tambahan yang terpisah setelah kepemilikan menjadi milik pemungut barang.] Bagaimanapun juga jika barang tersebut hilang, menurut mayoritas ulama pemungut barang mesti membayar ganti rugi kepada pemilik. Sebagian salaf mengatakan: Tidak diharuskan baginya, ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Bukhari [Lihat Fathul Bari (5/85)]
Catatan tambahan:
1. Ulama berselisih pendapat dalam keharusan menghadirkan saksi dalam pemungutan barang. Menurut madzhab Hanafi dan Zhahiri, saksi wajib ada sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits:
من وجد لقطة فليشهد ذا عدل أو ذوي عدل، ولا يكتم و لا يغيب، فإن وجد صاحبها فليردها إليه، و إلا فهو مال الله عز و جل يؤتيه من يشاء
“Siapa saja yang menemukan barang temuan, hendaklah dia menghadirkan saksi yang adil atau memiliki sifat adil, dan janganlah menyembunyikan dan menghilangkannya. Jika pemiliknya datang maka kembalikanlah. Apabila tidak maka itu adalah harta Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki” [Dishahihkan oleh Albani: diriwayatkan oleh Abu Daud (1709), dan An-Nasa`I dalam Al-Kubra (5808), dan Ibnu Majah (2505), lihat Shahih Al-Jami’ (6586)]
Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali berpendapat tentang disunnahkannya kesaksian saja, tidak mewajibkanya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh Zaid bin Khalid dan tidak juga pada Ubay bin Ka’ab menghadirkan saksi dalam hal yang mereka temukan.
2. Menurut mayoritas ulama, bahwa seorang pemungut barang temuan jika mengembalikan barang temuan ketempatnya setelah dia memungutnya, atau menyerahkannya kepada orang lain maka dia menanggung benda tersebut karena dia lalai dalam penjagaannya.
3. Apabila dia mengambil barang temuan dengan niat ingin memiliki maka sama saja dengan mencuri dan dia harus menanggung. Dia tidak terlepas dari tanggungan kecuali dengan mengembalikan pada pemilik meskipun barang tersebut rusak bukan disebabkan kesengajaan atau kelalaian.

4. Macam-macam barang temuan: barang temuan terbagi menjadi beberapa macam:

Pertama: Mengetahui bahwa pemiliknya memang ingin meninggalkannya seperti membuang kursi-kursi yang sudah patah di jalan. Jika seperti ini boleh bagi yang menemukannya memungutnya lalu kemudian memilikinya.
Kedua: Harta tersebut bukanlah yang diharapkan dan akan dicari seperti barang yang kecil dan ringan. Boleh bagi yang menemukannya untuk memilikinya. Jika dia mengetahui pemiliknya dia tetap memberikannya padanya, seperti tongkat, buah kecil, atau siwak.
Dari Anas berkata:
 
مر انبي صلى الله عليه و سلم بتمرة في الطريق قال: لولا أني أخاف أن تكون من الصدقة لأكلتها
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sebutir kurma di jalan, beliau berkata: kalaulah aku tidak takut bahwa itu dari sedekah pastilah akan kumakan” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (2055)(2431), Muslim (1071), Abu Daud (1652)]
Diceritakan bahwa Maimunah menemukan sebutir kurma lalu dia memakannya, dia pun berkata:
لا يحب الله الفسد
“Allah tidak menyukai kerusakan” [Ibnu Abi Syaibah (4/416)]
Ketiga: Sesuatu yang ditelusuri orang dan mereka cari. Boleh jadi kehilangannya menyebabkannya gelisah. Inilah yang berhubungan dengan hukum luqathah disini dari segi pemberitahuan dan penyimpanan sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Benda-benda  tersebut berbeda sesuai waktu dan tempat, dan dihukumi secara umum.
5. Dalam sejumlah riwayat hadits bahwa mengenali kantongnya dan tali pengikatnya yaitu sebelum pengumuman. Dan sebagian riwayat mengatakan bahwa itu setelah pengumuman. Lalu apa yang menghubungkan antara keduanya?
An-Nawawi berkata: Keduanya sama-sama diperintahkan untuk mengumumkan dalam dua keadaan. Mengenali tanda-tandanya pada saat pertama kali memungutnya sampai benar-benar tahu sifat-sifatnya jika dia menyebutkan sifat-sifatanya. Kemudian setelah mengumumkan selama setahun, jika dia ingin memilikinya maka dia mengenalinya sekali lagi deengan sebenar-benarnya agar mengtahui kadar dan sifat-siftanya kemudian mengembalikan kepada pemiliknya [Lihat Fathul Bari (5/81)]

Kedua: Luqathah Hewan

Yang mencakup penemuan unta, kambing dan semacamnya. Hewan  yang hilang itu disebut denganad-Dhallah.
Al-Hafizh rahimahullah berkata: Ulama berkata: Adh-Dhallah tidak terjadi kecuali pada hewan [Fathul Bari (5/82)]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan hukumnya dalam hadits tersebut sebagaimana berikut:
1. Unta yang kuat mencari makan dan air minum sendiri maka tidak boleh diambil namun cukup dibiarkan saja. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits bahwa beliau telah ditanya mengenai unta yang hilang lalu beliau menajwab: “Apa urusanmu dengannya? Sesungguhnya ia memiliki sepatu kakinya dan tempat airnya, ia bisa mendatangi tempat air dan memakan pepohonan sehingga ditemui oleh pemiliknya.
Beliau mengisyaratkan bahwa dengan kedua hal tersebut membuatnya tidak perlu penjagaan karena tabiatnya bisa sabar terhadap rasa haus, dan mampu makan tanpa susah payah karena lehernya yang panjang. Ini menurut pendapat mayoritas ulama.
Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkan memungutnya, dan sebagian dari mereka menambahkan larangan memungutnya apabila berniat untuk memilikinya. Adapun jika untuk menjaganya tidak untuk dimiliki, mereka membolehkan. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i. Akan tetapi yang paling rajih pendapat mayoritas. [Akan ada pembahasan mengenai seekor unta yang tidak kuat, atau di tempat yang tidak ada tempat minum dan juga tidak ada tempat pengembalaan maka boleh memungutnya, karena ini yang menjadi pengikat pada hadits tersebut.] 
2. Domba yang hilang: pendapat yang rajih adalah mengambilnya dan pemiliknya memilikinya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang domba yang hilang beliau menjawab:
لك أو لأخيك أو للذئب
“Untukmu, untuk saudaramu, atau untuk serigala”
Dan dari sebagian riwayat:
خذها فإنما هي لك
“Ambilah, karena itu untukmu”
Hadits diatas menunjukkan bahwa jelas sekali ada perintah untuk mengambilnya.
Ulama sepakat bahwa orang yang menemukan domba yang hilang di tempat yang tandus dan jauh dari pemukiman untuk memakannya. Mereka berbeda pendapat apakah dia mengganti nominal harganya kepada tuannya atau tidak? Mayoritas berpendapat bahwa dia mengganti nominal harganya, namun tidak bagi madzhab Maliki.
Al-Hafizh rahimahullah berkata : “Dia berpegangan sebagai seorang pemilik pada anggapan dia memiliki dengan mengambilnya, dan tidak harus mengganti rugi kalau saja pemiliknya datang” [Dinukil dari al-Fath (5/82)]
Ulama bersepakat bahwa kalau pemiliknya datang sebelum barang temuan dimakan dia boleh mengambilnya. Berbeda dengan Ibnu Hazm bahwa jika sudah dia dapatkan maka tidak ada cara lagi bagi pemiliknya”
Ulama telah mensyaratkan mengenai barang temuannya yang tidak ada penjagaan, ditemukan di tempat yang dicemaskan ada serigalanya atau diambil oleh orang lain, dan hewan tersebut juga tidak berada di dekat air. Pengertian adh-Dhalah adalah yang tidak diketahui pemiliknya ada di mana? Penemunya tidak mengetahui siapa pemilik hewan tersebut? Maka dari itu jika berada di tempat yang tidak ditakuti akan menyebabkan kebinasaan, kehilangan, dan diambil oleh seseorang maka tidak boleh memungutnya.

Haruskah Mengumumkannya?

Al-Hafizh rahimahullah berkata: Mayoritas ulama berkata wajib untuk mengumumkannya. Apabila waktu pengumumannya berakhir, dan dia menginginkan dia boleh memakannya dan mengganti rugi kepada pemiliknya. Kecuali Imam Syafi’i yang berkata: tidak wajib mengumumkannya jika ditemukan di padang pasir. Adapun jika di desa dalam pendapat yang paling shahih harus mengumumkannya” [Fathul Bari 95/82)]
Penulis berkata: Yang rajih adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Syafii rahimahullah dalam hal hewan yang hilang di padang pasir, karena tempat ini biasanya tempat munculnya serigala, kecuali di Mesir yang memang bukan tempatnya.
Adapun riwayat Abu Daud:
فاجمعها حتى يأتيها باغيها
“Kumpulkan mereka sampai datang pencarinya” [Hadits Riwayat: Abu Daud (1713) dan Ahmad (2/180)]
Termasuk dari riwayat Ibnu Ishak dan dia adalah pentadlis, sanadnya tidak shahih.  Ada pertentangan antara Ibnu Ishak dengan yang lainnya yang meriwayatkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani yang tidak hanya satu yang menyebutkannya.
Apabila hadits ini shahih maka kemungkinan adalah hewan-hewan yang hilang dan tidak ditakutkan diambil oleh serigala atau manusia, sehingga dia mengambilnya dan mengumumkannya. Ini adalah pendapat Malik rahimahullah dan juga pendapat yang rajih menurutku
Kesimpulan:
Domba yang hilang jika berada di tempat ditakutkan terdapat serigala, maka dia boleh mengambilnya dan memilikinya. Jika berada di tempat yang tidak menyebabkannya binasa dan hilang, maka dia boleh mengambilnya dan mengumumkannya di desa.
[Akan tetapi saya tidak tahu pembatasan waktu pengumuman dalam hal domba yang hilang. Sehingga dalam hal ini cukup dalam masa yang dimungkinkan domba tersebut tidak ditemukan pemiliknya. Dan jika ditemukan di desa tidak boleh dimiliki melainkan dimasukkan ke dalam harta muslimin yang diinfakkan kepada orang-orang fakir.]
3. Hewan yang Hilang Selain yang Telah Disebutkan
Ibnu Hazm rahimaullah  berkata adapun setiap sesuatu selain yang telah kami sebutkan seperti unta yang tidak mampu mencari sumber air dan tempat makan, seluruh jenis sapi, kuda, bighal, keledai, binatang buruan yang dimiliki, hamba yang lari baik laki-laki maupun perempuan, dan yang dirasakan pemiliknya hilang darinya, domba yang hilang dan tidak ditakutkan akan diambil serigala, juga manusia dan lain sebagainya. Semua itu harus diambil, digabungkan dan diumumkan selamanya. Apabila hakim Jika sulit mengetahui siapa pemiliknya maka hakim atau penemunya boleh memberikannya untuk kebaikan kaum muslimin. Baik apa yang kami sebutkan dari sesuatu yang  dibuang oleh pemiliknya sebab darurat, karena kelaparan, karena kurus, atau dari apa saja yang hilang. Tidak ada beda. [Al-Muhalla (9/165)]
Penulis berkata: Apa yang dikatakan Ibnu Hazm itu baik, akan tetapi harus ada pengecualian mengenai hewan yang kuat sehingga dapat bebas dengan kekuatannya maka tidak boleh dipungut.
Al-Khithabi rahimahullah berkata: Jika seseorang menemukannya -yakni hewan yang hilang- dia tidak boleh menginginkannya untuk dirinya selama dia masih bisa melindungi dirinya dan bebas dengan kekuatannya sampai dia diambil oleh pemiliknya [Ma’alim as-Sunan (2/340- catatan kaki abu daud)]

Barang Temuan Mekah

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا ينفر صيدها و لا يختلي شوكها، و لا تحل ساقطها إلا لمنش
“Tidak diusir buruannya, tidak dicabut ilalangnya,, dan tidak halal barang temuan kecuali bagi yang mengumumkannya” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (112) (2434), Muslim (1355), Abu Daud (2017)]
Kata “tidak halal barang temuan kecuali  bagi yang mengumumkannya”, menunjukkan bahwa penemunya tidak dapat memilikinya selamanya. Ini adalah kekhususan tanah haram sehingga itu tidak dapat dimiliki selamanya. Akan tetapi dia harus mengumumkannya sepanjang hidupnya, Saat ini di Makkah telah ada tempat-tempat meletakkan barang-barang ini. Wajib bagi yang menemukan barang hilang di Mekkah menyerahkannya ke tempat-tempat ini, dan tidak halal baginya untuk memiliki atau memanfaatkannya.

Kedua: Al-laqith

Definisi al-Laqith
Adalah anak kecil yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya.
Hukum Mengambilnya
Mayoritas ulama mengatakan bahwa jika menemukan anak temuan maka sebagai umat muslim dia wajib mengambilnya. Hukumnya adalah fardhu kifayah. Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengambilnya disunnahkan.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas disesuaikan dengan firman Allah Subhanahu wata’ala :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS. Al-Maidah:2)

Hukum Anak Temuan

Mengenai anak temuan terdapat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh para ahli fikih:
1. Kebebasan. Seorang anak temuan merdeka dan tidak dianggap sebagai budak karena pada asalnya manusia itu merdeka.
2. Agama. Agama dari anak temuan adalah Islam selama dia ditemukan di wilayah Islam. Dan jika ditemukan di wilayah orang kafir maka anak tersebut dianggap kafir. Menurut sebagian ulama kalau berada di wilayah orang kafir yang beberapa penduduknya adalah orang muslim maka anak tersebut dianggap sebagai orang muslim. Karena keumuman hadits:
الإسلام يعلو و لا يعلى عليه
“Islam itu meninggikan dan tidak ditinggikan”[1]
3. Nasab. Anak temuan tidak diketahui nasabnya, akan tetapi apa hukumnya kalau ada seseorang yang mengakuinya?: Di sisni ada perbedaan:
Apabila yang mengaku ada seorang laki-laki atau perempuan muslim maka kita mengikutinya tanpa harus ada bukti, kecuali jika ada indikasi yang menunjukkan kebohongannya.
Sedangkan jika yang mengakui adalah orang kafir, apa kita mengikutinya? Pendapat yang rajih adalah kita mengikutinya dari segi nasab namun tidak memberikannya kesempatan merawatnya –anak tersebut tetap dianggap muslim- keculia jika orang tersebut menyatakan keislaman maka dia boleh mengasuhnya. Semua ini berdasarkan pengakuan nasab di sana yang bermanfaat untuk anak itu.
Catatan penting:
Karena itu seorang anak temuan tidak serta merta dinasabkan kepada penemunya disebabkan dia yang menemukannya kecuali jika dia mengakui nasabnya kepadanya. Dapat dipahami bahwa orang yang mengambil anak temuan dari panti asuhan tidak menjadikan anak tersebut anaknya. Sehingga tidak boleh menuliskan nasabnya dengan namanya dan tidak sah juga menjadi mahram dengan perempuan keluarganya jika sudah besar kecuali jika dia disusui, dan itu menjadi mahram karena persusuan.
4. Pengasuhannya. Pengasuhannya diberikan kepada orang yang menemukannya jika dia seorang yang amanah, merdeka, adil, dan cakap. Sedang orang yang fasik tidak boleh mengasuhnya melainkan anak tersebut diambil darinya dan hakim yang mengurus perihal perawatannya. Sekarang sudah ada panti-panti asuhan yang mengurus anak-anak temuan dan mendidik mereka.
5. Penafkahan. Jika di dekat anak temuan tersebut ada harta, atau tersambung dengannya baik secara jelas maupun terpendam di bawahnya. Bahwa harta tersebut milik sang anak untuk penafkahannya. Jika tidak, harta tersebut diinfakkan ke baitul mal. Jika tidak mudah, maka bagi orang yang mengetahui keadannya menafkahinya, karena itu sebagai penyelamatannya dari kebinasaan.
Demikian penjelasan tentang fikih Luqathah, hukum dan Macam-macamnya. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.
Catatan kaki:
[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari secara ta’liq (3/219), disambung oleh Ath-Thabrani dalam al-Kabir (6/128) ash-Shaghir (2/153) dan ad-Daruquthni (3/252)

Leave a Comment