Fatwapedia.com – Berdiri ketika melaksanakan shalat fardhu bagi yang mampu hukumnya wajib karena ia rukun shalat, hal ini berdasarkan dalil-dalil shahih yang akan dicantumkan berikut ini.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (Al-Qur`an Surat: Al-Baqarah: 238)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma:
صَلِّ قَائِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika masih tidak mampu, maka dengan berbaring –dalam posisi badan miring ke kanan dan wajah menghadap kiblat–) (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1117), Abu Daud (939), At-Tirmidzi (369)
Seluruh ulama sepakat bahwa berdiri merupakan rukun shalat bagi orang yang mampu. Dan orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh baginya shalat dengan duduk. Demikian halnya seseorang boleh untuk tidak berdiri ketika shalat jika hal itu sangat susah sekali baginya, atau orang tersebut takut jika berdiri dapat menyebabkan penyakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma:
سَقَطَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ ، فَجُحِشَ شِقُّهُ الأَيْمَنُ ، فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ ، فَحَضَرَتِ الصَّلاةُ ، فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ قُعُودًا
“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjatuh dari kuda dan beliau terluka di tubuh sebelah kanan. (Maksudnya, kulit Rasulullah tergores dan terkelupas) Kami pun menjenguk beliau, dan tibalah waktu shalat. Lalu Rasulullah pun shalat bersama kami dengan duduk, dan kami pun shalat di belakang beliau dengan duduk.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (378), Muslim (411) dan redaksi hadits ini milik Imam Muslim)
Ibnu Qudamah berkata, “Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukannya tidak mampu berdiri sama sekali, hanya saja ketika hal tersebut sangat berat bagi Rasulullah, maka gugurlah kewajiban untuk berdiri bagi beliau dan juga untuk yang lainnya”. [Al-Mughni (2/571)]
Catatan Tambahan:
Dibolehkan shalat sunnah dalam kendaraan ketika bepergian baik perjalanan jarak dekat maupun jarak jauh. Namun tidak dibolehkan jika orang tersebut tidak sedang bepergian, sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam permasalahan menghadap kiblat yang merupakan syarat sah shalat.
Dibolehkan shalat sunnah dengan duduk –meskipun tanpa adanya halangan– namun pahala orang yang shalat dengan berdiri lebih besar, sedangkan orang yang shalat dengan duduk pahalanya setengah dari pahala shalat sunnah dengan berdiri.
Berdasarkan hadits dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا، فَقَالَ: “إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat –sunnah– seseorang yang dilakukan dengan duduk, Rasulullah kemudian bersabda, “Jika ia shalat dengan berdiri maka lebih utama, namun jika ia shalat dengan duduk maka ia mendapatkan setengah pahala dari berdiri, sedangkan yang shalat berbaring, ia mendapatkan setengah pahala dari yang duduk.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1115), At-Tirmidzi (371), An-Nasa`i (3/223), Ibnu Majah (1231)
Al-Khatabi menambahkan, maksud dari hadits tersebut adalah: “Bahwa orang sakit yang akan melaksanakan shalat fardhu namun ia mampu berdiri meskipun dengan kesusahan, walaupun dibolehkan baginya shalat dengan duduk, namun ia akan mendapatkan setengah pahala jika ia melaksanakan shalat fardhu tersebut dengan berdiri. Hal ini dimaksudkan untuk penyemangat baginya agar shalat dengan berdiri”. Lalu pernyataan tersebut ditanggapi oleh Ibnu Hajar, [Fathul Bari (2/585) cet. Al-Ma’rifah) bahwa “Ini adalah penafsiran yang selaras”
Penulis berkata: Bahwa penafsiran ini bermula dari hadits Rasul yang menyatakan, “Sedangkan yang shalat dengan tiduran, maka ia mendapatkan setengah pahala dari yang duduk” karena shalat dengan berbaring tidak dibolehkan tanpa adanya halangan –sebagaimana pendapat Jumhur– meskipun dalam shalat sunnah. Karena tidak pernah ditemukan dalam sejarah Islam orang yang shalat –sunnah– dengan berbaring, kalaupun seandainya hal ini merupakan ajaran syariat, maka umat Islam pada zaman Rasulullah dan zaman selanjutnya telah melaksanakan hal ini, dan pastinya Rasulullah akan mengerjakan meskipun hanya sekali sekedar menerangkan bahwa hal tersebut dibolehkan. [Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah (23/235)
Dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma, berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نَاسٍ وَهُمْ يُصَلُّونَ قُعُودًا [مِنْ مَرَضٍ] فَقَالَ : “إِنَّ صَلاَةَ الْقَاعِدِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ صَلاَةِ الْقَائِم
“Suatu saat Rasulullah keluar dan menemukan orang-orang yang shalat dengan duduk [karena sakit] lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya shalat seseorang dengan duduk, itu setengah pahala dari shalat dengan berdiri.” (Hadits Riwayat: Ibnu Majah (1229), Ahmad (3/214), shahih, dan tambahan redaksinya dari Imam Ahmad. Lihat: “Shifat Shalat Nabi” hal 78)
Penulis berkata: bahwa inilah penafsiran al-Khatabi mengenai hadits Imran bin Hushain yang diterapkan terhadap shalat fardhu. Dimana Ibnu Hajar menyatakannya sebagai upaya yang baik. Sedangkan mayoritas ulama menyatakan hadits tersebut adalah untuk shalat sunnah, sehingga shalat dengan duduk berlaku untuk orang yang memiliki halangan maupun tidak. Dan itu menunjukkan bahwa berdiri dalam shalat sunnah bukanlah rukun, melainkan hal yang dianjurkan. Sebagaimana ditegaskan oleh perbuatan Rasul yang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan namun tidak pernah melaksanakan hal tersebut untuk shalat fardhu.
Sedangkan hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma tidaklah bertentangan dengan riwayat Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, karena keumuman dalil yang menyatakan bolehnya duduk pada shalat sunnah, tidak menghalangi adanya sifat tambahan pada orang tersebut yaitu karena adanya sakit, sehingga hadits Anas bin Malik tidak dapat mengkhususkan hadits Imran bin Hushain. Wallahu A’lam.
Untuk mempertegas tentang keumuman hadits tersebut, terdapat hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyatakan bahwa Rasulullah shalat sunnah dalam keadaan duduk.
أَنَّ النَّبِىَّ – صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا بَدَّنَ وَثَقُلَ كَانَ أَكْثَرُ صَلَاتِهِ جَالِسً
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sudah beranjak usia dan tubuhnya menjadi berat, maka beliau bnayak melaksanakan shalat sunnah dengan duduk.” (Hadits Riwayat: Muslim)
Demikian juga hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat tahajud diawali dengan berdiri kemudian setelah itu beliau duduk. Hadits ini akan dibahas selanjutnya.
Catatan Tambahan
Seseorang yang tidak mampu berdiri ketika shalat –karena adanya halangan– maka shalatnya dilakukan dengan duduk tidaklah mengurangi pahalanya. Karena ia telah terbiasa shalat dengan berdiri, sehingga saat dia tak mampu untuk berdiri dikarenakan sakit atau hal lain, maka ia memiliki pahala sempurna, sebagaiamana ditegaskan dalam hadits
مَنْ مَرِضَ ، أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا
“Siapa yang menderita sakit, atau dalam perjalanan, maka Allah akan memberikan pahala dari amalannya sesuai dengan yang ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat dan bermukim.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari : 2996]
Salah satu keutamaan yang hanya dimiliki Rasulullah adalah, bahwa beliau meskipun shalat sunnah dengan duduk tanpa adanya halangan, pahala beliau tetap tidak berkurang. [“Syarh Muslim” karangan Imam Nawawi, “Fathul Qadir” (1/460)] Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, berkata, “Aku dikabari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ»، قَالَ: فَأَتَيْتُهُ، فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا، فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى رَأْسِى، فَقَالَ: «مَا لَكَ؟ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرو» قُلْتُ: حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَّكَ قُلْتَ: «صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلَاةِ»، وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا، قَالَ: «أَجَلْ، وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ
“Shalat –sunnah– seseorang dengan duduk, –pahalanya– setengah dari orang yang shalat –sunnah– dengan berdiri” Abdullah bin Amru pun berkata, “Lalu kudatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kudapatkan beliau shalat sunnah dengan duduk. kemudian aku meletakkan tangan di atas kepalaku (karena heran) dan Rasulullah pun bertanya, “Ada apa denganmu wahai Abdullah bin Amru?” lalu ku jawab, “Wahai Rasulullah, aku dikabari bahwa engkau telah bersabda, “Shalat –sunnah– seseorang dengan duduk, –pahalanya– setengah dari orang yang shalat –sunnah– dengan berdiri” namun kini kulihat, engkau shalat sunnah dengan duduk”. Rasulullah pun bersabda, “Benar, namun aku –memiliki keistimewaan– tidak seperti siapapun di antara kalian.” (Hadits Riwayat: Muslim (735), An-Nasa`i (1659), Abu Daud (950)
Dibolehkan shalat sunnah dengan mengawali bacaan secara duduk kemudian berdiri, sebagaimana kesepakatan para ulama. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُصَلِّى جَالِسًا فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ ، فَإِذَا بَقِىَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرَ مَا يَكُونُ ثَلاَثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ ، ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ يَفْعَلُ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika shalat sunnah (tahajjud) dengan duduk, beliau pun membaca –ayat Al-Qur`an– dalam keadaan duduk. Hingga tersisa dari bacaan beliau sekitar tigapuluh atau empatpuluh ayat, maka Rasulullah kemudian berdiri membaca –ayat tersebut– dalam keadaan berdiri. Kemudian beliau ruku’ lalu sujud, dan melakukan hal yang serupa pada rakaat kedua.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1119), Muslim (731)
Dibolehkan shalat sunnah yang diawali dengan berdiri kemudian dilanjutkan dengan duduk. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha di atas.
Cara duduk ketika shalat: siapa yang shalat dengan duduk, maka lebih utamanya menggunakan cara duduk ketika tasyahud dalam shalat, baik ketika “berdiri” maupun “ruku'” juga menggunakan cara duduk iftirasy ini. Berdasarkan keumuman hadits riwayat Aisyah dan riwayat Imran bin Hushain yang telah diuraikan sebelumnya. Karena yang terbesit dari makna “duduk” adalah, “duduk di dalam shalat”
Meskipun dibolehkan duduk dengan posisi kaki bersilang di bawah paha ketika shalat, apalagi karena adanya udzur. Hal ini juga telah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. dan sebagian sahabat Rasulullah. [Hadits Riwayat: An-Nasa`i (3/224), Ibnu Huzaimah (2/236), al-Baihaqi (2/305). Lihat: “Shifat Shalat Nabi” hal 80, Terdapat riwayat dari Ibnu Umar dalam “Mushannaf” karangan Ibnu Abi Syaibah]
Namun ketika shalat tidak dibolehkan duduk selonjor dengan memanjangkan kaki kecuali karena adanya halangan.
Dibolehkan shalat dengan berbaring secara miring jika terdapat halangan tertentu dalam kondisi tidak mampu untuk shalat dengan duduk, baik itu dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.
Sedangkan dalam shalat sunnah tanpa adanya halangan, jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah ajaran syariat, karena tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah maupun para sahabat pernah melakukan hal tersebut walaupun sekali.
Namun jika ada orang yang berpegangan terhadap keumuman hadits Imran yang menyatakan bahwa,
وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ
“Sedangkan yang shalat dengan berbaring, maka ia mendapatkan setengah pahala dari yang duduk.”
Apakah hal tersebut berlaku? Pendapat yang shahih mengatakan demikian. Dan pendapat ini merupakan madzhab Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla (3/56) yang telah ditarjih oleh Ibnu Utsaimin dalam kitab al-Mumti’ (4/113).
Tata-cara shalat dengan posisi berbaring secara miring: Dianjurkan bagi yang shalat dengan posisi ini untuk bersandar di atas badan bagian kanan dan wajahnya menghadap ke kiblat, karena hal ini merupakan posisi sunnah ketika tidur. Dengan landasan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ ، وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai –mengerjakan sesuatu– dengan memulainya dari kanan; baik dalam memakai sandal, menyisir juga meminyaki rambut, serta dalam bersuci (wudhu, tayamum, mandi) dan dalam segala urusan beliau.”
Dan jika seseorang tidak mampu tiduran secara miring kecuali dengan posisi yang dia bisa, maka cara itulah yang sesuai baginya. Wallahu A’lam.
Berdiri Saat Melaksanakan Shalat Fardhu Ketika Berada Di Dalam Pesawat Dan Kapal Laut
Siapa yang sedang berada dalam pesawat maupun kapal laut, hendaknya ia melaksanakan shalat dengan berdiri jika bisa. Namun jika takut jatuh atau tenggelam, dan ia tidak mampu berdiri, maka dibolehkan baginya shalat dengan duduk, dan cukup menggunakan isyarat ketika ruku’ dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika pernah ditanya tentang shalat di dalam perahu, lalu beliau bersabda:
صَلِّ فِيهَا قَائِمًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَ الْغَرَق
“Shalatlah di dalam perahu dengan berdiri, kecuali jika kamu takut akan tenggelam.” (Hadits Riwayat: al-Bazzar (68), Dishahihkan oleh al-Albani, dan lainnya. Lihat: “Shifat Shalat Nabi” hal 79)
Bersandar Pada Sesuatu Ketika Shalat Berdiri
Ketika seseorang shalat dengan bersandar ke dinding atau tongkat serta alat bantu lainnya, para ulama membolehkan hal tersebut jika dikarenakan adanya udzur, karena yang bersangkutan membutuhkan sandaran tersebut. Dan Allah Subhanahu wata’ala telah menegaskan dalam firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Al-Qur`an Surat: At-Taghabun: 16)
Demikian juga hadits dari Ummu Qais radhiallahu ‘anha berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِى مُصَلاَّهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْه
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah beranjak usia dan berat badan beliau bertambah, Rasulullah menjadikan tiang di dalam mushala beliau sebagai sandaran ketika shalat.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (948), al-Baihaqi (2/288), al-Hakim(1/264). Dishahihkan oleh al-Albani. Lihat: “Al-Shahihah” hal 319)
Shalat Di Belakang Imam Yang Duduk Karena Uzur
Pendapat yang lebih shahih menyatakan bahwa makmum shalat dengan duduk juga. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bab “Shalat Jama’ah”