Fatwapedia.com – Masalah tentang taqlid yang kemudian dikatakan taqlid berimplikasi ta’ashshub merupakan masalah yang seharusnya tidak patut diangkat lagi, sebab hal ini memunculkan perpecahan dan saling menyalahkan yang merupakan problem utama dalam umat Islam sebagaimana yang disampaikan Alija Izetbegovic. Padahal sejatinya bermadzhab itu merupakan cara beragama yang paling kokoh, terutama bagi orang awam yang paham dalil aja enggak.
Sebenarnya saya sudah lama sekali membahas tentang masalah ini, saat masih sering interaksi dengan kawan-kawan Salafi, ya sekitar 5-6 tahun lalu lah. Namun karena sekarang muncul lagi, jadi saya pikir perlu diangkat lagi untuk setidaknya membantu (kalaupun itu bisa bermanfaat buat kalian) untuk menjernihkan permasalahan ini agar tidak saling tuduh dan hujat.
Sebagian orang mengatakan bahwa bermadzhab menggiring ummat untuk berta’ashshub atau fanatik terhadap madzhab hingga sampai pada tingkatan dimana saling kafir mengkafirkan dan saling bunuh membunuh diantara mereka serta meninggalkan bermakmum shalat atas sebagian mereka karena berbeda madzhab. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu, seseorang yang bermazhab tidak melazimkan dia ta’ashshub. Bermadzhab adalah satu hal, dan ta’ashshub adalah hal yang lain.
Terkait hal ini Syaikh Abd al-Fattah bin Qudays al-Yafi’i sudah mencoba menjernihkan masalah tersebut dengan beberapa poin dengan beberapa elaborasi tambahan:
1) Ta’ashshub pada dasarnya secara bahasa tidak memiliki pengertian tercela secara mutlak
Ta’ashshub (التعصب) secara bahasa memiliki beberapa pengertian diantaranya: terkumpul (التجمع), kelompok (العُصبة) atau perkumpulan (العِصابة) yakni jama’ah (الجماعة).
Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab menyebutkan:
العصبة و العصابة: جماعة ما بين العشرة إلى الأربعين.
Artinya: “Ushbah dan Ishabah yaitu kumpulan orang yang jumlahnya antara sepuluh hingga empat puluh”.
Dalam al-Qur’an disebutkan:
…نَحْنُ عُصْبَةٌ… (يوسف: 14).
Artinya: “…Kami merupakan kelompok…
قال الأخفش: العصبة و العصابة جماعة ليس لها واحد.
Artinya: “Ushbah dan Ishabah adalah kumpulan orang tidak ada pengertian yang merujuk pada satu orang saja”.
Dalam hadith tentang Fitnah akhir zaman disebutkan:
و في حديث الفتن، قال: فإذا رأى الناس ذلك، أتته أبدال الشام، و عصائب العراق فيتبعونه. العصائب: جمع عصابة، و هي ما بين العشرة إلي الأربعين.
Artinya: “Dalam hadith tentang Fitnah, Nabi shalallahu alayhi wa sallam bersabda: “Apabila manusia melihat hal tersebut, maka para Abdal di Syam, dan Ashaib di Iraq mendatanginya (untuk menolong), maka mereka mengikutinya. Ashaib adalah bentuk jama’ dari Ishabah yaitu kelompok yang jumlahnya antara sepuluh hingga empat puluh”.
Dalam hadith Sayyidina Ali alayhisalam:
الأبدال بالشام، و النجباء بمصر، و العصائب بالعراق.
Artinya: “Pada Abdal di Syam, para Nujaba’ di Mesir, dan para Ashaib di Iraq”.
Maksudnya adalah berkumpulnya kelompok untuk berperang yang akan dilakukan di Iraq (sebagai tempat terkumpul para ishabah/kelompok).
قد تعصّبوا عليهم إذا تجمعوا فإذا تجمعوا على فريق آخر، قيل: تعصبوا…
Artinya: “Mereka berta’ashshub kepada (kelompok) mereka bilamana mereka saling bergabung/bahu membahu, tatkala mereka saling bergabung kepada kelompok yang lain, dikatakan mereka berta’ashshub”.
Dengan demikian maka ta’ashshub secara bahasa adalah saling bergabung/bahu membahu dan pertolongan, kemudian kadang-kadang perkumpulan/saling bergabung/bahu membahu dan pertolongan tersebut atas kebenaran, kadang pula atas kebatilan, penggunaan ungkapan tersebut pada umumnya ke atas kebenaran dan juga kebatilan.
Berkata Ibnu Manzhur rahimahullah:
التعصب من العصبية. و العصبية: أن يدعو الرجلَ إلى نصرة عصبته، و التألب معهم، على من يناويهم، ظالمين أو مظلومين.
Artinya: “al-Ta’ashshub dari kata al-Ashabiyyah. Adapun Ashabiyyah yaitu memanggil seseorang untuk menolong kelompoknya dan datang berkumpul bersama mereka ke atas pihak yang dimaksudkan mereka, baik yang melakukan tindakan zhalim (membantu melakukan kezhaliman), atau yang dizhalimi (yakni membantu mereka dari kezhaliman)”.
قد تعصّبوا عليهم إذا تجمعوا فإذا تجمعوا على فريق آخر، قيل: تعصبوا..
Artinya: “Mereka berta’ashshub kepada (kelompok) mereka bilamana mereka saling bergabung/bahu membahu, tatkala mereka saling bergabung kepada kelompok yang lain, dikatakan mereka berta’ashshub”.
Dalam hadith disebutkan:
العصبي من يُعِين قيمه على الظلم.
Artinya: “al-Ashabiyy adalah sesiapa yang menolong kaumnya atas kezhaliman yang dilakukan kepada kaumnya”.
العصبي هو الذي يغضب لعصبته، و يحامي عنهم.
Artinya: “Al-Ashabiyy yakni orang yang marah dalam rangka membela kelompoknya”.
Dengan demikian telah diketahui makna ta’ashshub, maka tidak mengapa melakukan ta’ashshub kepada madzhab dengan pengertian bahu membahu dan memberi pertolongan atas kebenaran madzhab, dan tidak diperbolehkan melakukan bahu membahu dan memberi pertolongan kepada madzhab atas kebenaran dan kebatilan secara bersamaan. Maka menolong atau menegakkan hujjah untuk membela madzhabnya dengan dasar kebenaran bukan ta’ashshub yang tercela, sebab pada dasarnya hal tersebut alamiah secara sosial sebagai bentuk rasa self of belonging (merasa jadi bagian).
2) Tidak ada kaitannya antara bermadzhab dan ta’ashshub yang tercela
Sebagaimana dalam Islam terdapat kelompok ahli fikih, ahli hadith, ahli ushul, ahli lughah tidak ada pada hal tersebut Ta’ashshub, begitu pula madzhab-madzhab fikih tidak lazim didapati di dalamnya ta’ashshub, apabila kita akan melarang orang yang mengikuti madzhab hanya karena akan sampai pada tingkatan ta’ashshub, maka hendaknya kita larang juga ia dari fikih dan hadith karena dapat mengarah pada ta’ashshub dari sisi pihak ahli fikih dan ahli Hadith, dan sungguh telah terjadi perbuatan ta’ashshub antara ahli fikih dan ahli hadith yang tidak samar lagi bagi yang menelaah sejarah Islam.
Adapun ta’ashshub yang terjadi pada beberapa masa dalam sejarah, apakah antara para ahli fikih dan ahli hadith pada satu sisi, atau antara madzhab-madzhab fiqhiyyah pada sisi lainnya merupakan perkara yang jarang dan asing apabila dihadapkan pada apa yang kita dapati berupa saling memuliakan, saling menghormati, dan bersepakat antara pihak ahli fikih dan ahli hadith dan antara pengikut-pengikut madzhab fiqhiyyah pada sepanjang sejarah, maka hal tersebut tidak diragukan lagi, dan kaidah pada bab ini adalah:
تمذهب و لا تتعصب.
Artinya: “Bermadzhablah dan jangan fanatik (ta’ashshub)”.
3) Persepsi yang keliru tentang pengertian ta’ashshub
Sebagian orang menyangka bahwa seseorang yang berpegang teguh dengan madzhabnya mengamalkan apa yang termasuk rukhshah dan azimahnya merupakan bentuk ta’ashshub yang tercela, maka hal tersebut merupakan persepsi yang keliru, bahkan pada kenyataannya hal tersebut bukan merupakan bentuk ta’ashshub sama sekali.
Berkata al-Imam Ibnu Taymiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa:
فمن ترجح عنده تقليد الشافعي لم ينكر على من ترجح عنده تقليد مالك ومن ترجح عنده تقليد أحمد لم ينكر على من ترجح عنده تقليد الشافعى ونحو ذلك.
Artinya: “Maka siapa yang utama baginya Taqlid kepada al-Imam al-Syafi’i, dia tidak mengingkari orang yang mengutamakan Taqlid kepada Imam Malik, dan siapa mengutamakan Taqlid kepada al-Imam Ahmad, tidaklah ia mengingkari orang yang utama baginya Taqlid kepada al-Imam al-Syafi’i dan lain hal yang serupa dengannya”.
Berkata Ibnu Abidin rahimahullah dalam al-Uqud al-Duriyyah:
قال فخر الإسلام لما سئل عن التعصب : الصلابة في المذهب واجبة ، والتعصب لا يجوز، والصلابة أن يعمل بما هو مذهبه ويراه حقا وصوابا ، والتعصب السفاهة ، والجفاء في صاحب المذهب الآخر وما يرجع إلى نقصه ولا يجوز ذلك فإن أئمة المسلمين كانوا في طلب الحق وهم على الصواب.
Artinya: “Berkata Fakhr al-Islam tatkala ditanya mengenai ta’ashshub: “Berpegang teguh dalam madzhab merupakan suatu kewajiban, dan ta’ashshub tidak diperbolehkan, adapun berpegang teguh maksudnya adalah beramal dengan apa yang menjadi madzhabnya sedangkan dia menganggapnya sebagai suatu hal yang benar dan betul, sedangkan ta’ashshub merupakan kebodohan dan sikap yang keras terhadap penganut madzhab lain, dan apa saja yang kembali kepada aibnya sendiri, maka hal tersebut tidak boleh, karena para imam kaum muslimin seluruhnya berusaha memperoleh kebenaran, dan mereka semua berada di atas kebenaran”.
Maka, yang dimaksud dengan ta’ashshub disini adalah sikap ofensif dan agresif kepada penganut madzhab lain, adapun sikap mengikatkan diri dan menganggap benar madzhab yang dianut bukan merupakan bentuk fanatik terhadapnya, karena kecenderungan orang awwam secara khusus adalah keyakinan terhadap integritas, kapabilitas, dan kredibilitas mujtahid yang ia prioritaskan, bukan kepada dalil-dalil yang digunakan karena keterbatasan kemampuannya dalam memahaminya.
Dalam literatur sejarah memang banyak didapati adanya bentuk ta’ashshub yang tercela, namun menganggap perbuatan bermadzhab sebagai ta’ashshub yang tercela merupakan pengingkaran terhadap permasalah khilafiyyah dengan adanya kaidah:
لا إنكار في مسائل الخلاف.
Artinya: “Tidak boleh ada pengingkaran sama sekali dalam masalah khilafiyyah”.
Berkata al-Imam al-Allamah Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa:
و لذا قال العلماء المصنفون في الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر من أصحاب الشافعي و غيره: إن مثل هذه المسائل الإجتهادية لا تنكر باليد و ليس لأحد أن يلزم الناس باتباع فيها و لكن يتكلم فيها بالحجج العلمية فمن تبين له صحة أحد القولين تبعه و من قلد أهل القول الآخر فلا إنكار عليه و نظائر هذه المسائل كثيرة.
Artinya: “Pada hal tersebut para ulama yang menulis tentang al-amr bil ma’ruf dan al-nahy an al-munkar dari kalangan pengikut Syafi’i dan selainnya berkata: “Sesungguhnya perkara yang semisal masalah ijtihadiyyah tidak boleh diingkari dengan fisik dan tidak boleh seorang pun mengharuskan kepada orang-orang untuk mengikutinya dalam hal tersebut, akan tetapi berdiskusi di dalamnya dengan hujjah ilmiyyah, maka barangsiapa yang nampak baginya kebenaran salah satu pendapat hendaknya dia mengikutinya, dan barangsiapa yang mengikuti (bertaqlid) kepada kelompok pendapat yang lain maka tidak boleh ada pengingkaran sama sekali terhadapnya, dan contoh-contoh yang serupa dalam permasalah-permasalah seperti ini banyak sekali”. Wallahu a’lam.
NSS.