Bagaimana Agar Tidur Siang Bernilai Ibadah?

Fatwapedia.com – Seluruh aktifitas seorang muslim jika diniatkan dalam rangka taqarub, maka itu akan bernilai ibadah. Termasuk aktivitas tidurnya seorang muslim, ada tidur sesui sunnah yang jika dilakukan bernilai ibadah. Dalam kajian fiqih, tidur siang yang dianggap bernilai ibadah disebut “قَيْلُوْلَةٌ”. Ia adalah mashdar dari turunan kata “قَالَ، يَقِيلُ”. Artinya adalah :
نومةُ نصف النهار، أو الاستراحة فيه وإن لم يكن نوما
Tidur pada tengah hari atau istirahat pada waktu tersebut sekalipun tidak tidur.” (Kamus al-Muhîth).
Dalam “al-Maushû’ah al-Fiqhiyyah” (XXXIV/130) dinukil dari penulis kitab “Umdah al-Qâriy” (VI/253) akan disunahkannya melakukan Qailulah.
Sunnah adalah termasuk hukum taklifiy, sehingga butuh kepada sandaran dalil dan dalil yang diajukan dalam kitab diatas adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
قِيلوا فإنَّ الشَّياطِينَ لا تَقِيلُ
“Lakukanlah tidur siang, karena setan tidak tidur siang.” (Dihasankan oleh al-Albani dalam “ash-Shahihah” (no. 1647)).
DR. Khâlid Sa’ad an-Najâr mengklaim bahwa mayoritas ulama menyunahkannya, kata beliau :
ونومة القيلولة مستحبة عند جمهور العلماء
“Tidur qailulah itu dianjurkan menurut mayoritas ulama.”
Adapun waktunya sebagian ulama mengatakan sebelum Zawâl, sedangkan sebagian lainnya lagi mengatakan setelah Zawâl. Al-‘Allâmah al-Munâwiy rahimahullah tampaknya mengakomodir kedua pendapat tersebut dengan mengatakan :
الْقَيْلُولَةُ: النَّوْمُ وَسْطَ النَّهَارِ عِنْدَ الزَّوَال وَمَا قَارَبَهُ مِنْ قَبْل أَوْ بَعْدُ 
“Qailulah itu tidur siang ketika Zawâl dan mendekati sebelum atau setelah Zawâl.”
DR. Khâlid Sa’ad merajihkan bahwa Qailulah itu setelah Zawâl berdasarkan hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu anhu juga dalam Shahihain :
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ ثُمَّ تَكُونُ الْقَائِلَةُ 
“Kami sholat Jum’at bersama Rasulullah, kemudian baru melakukan qailulah.”
Dalam hadits Jâbir radhiyallahu anhu di shahihain juga disebutkan bahwa selain para sahabatnya yang qailulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga ikut tidur siang, Jâbir bin Abdullah radhiyallahu menceritakan :
أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ فَلَمَّا قَفَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَفَلَ مَعَهُ فَأَدْرَكَتْهُمْ الْقَائِلَةُ فِي وَادٍ كَثِيرِ الْعِضَاهِ فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَفَرَّقَ النَّاسُ يَسْتَظِلُّونَ بِالشَّجَرِ فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ سَمُرَةٍ وَعَلَّقَ بِهَا سَيْفَهُ وَنِمْنَا نَوْمَةً….
“bahwa beliau berangkat berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati Najed. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali dan Jabir pun ikut kembali, mereka menjumpai sungai di bawah lembah yang banyak pepohonannya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam turun dan orang-orang pun berpencar mencari tempat berteduh di bawah pohon. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam singgah berteduh di bawah suatu pohon lalu menggantungkan pedang Beliau pada pohon tersebut kemudian BELIAU TIDUR SEJENAK….”.
Adapun terkait keutamaannya adalah agar bisa kuat untuk berjaga pada malam hari untuk melaksanakan sholat malam, sehingga tidur siang itu sebagai subtitusi dari tidur malamnya, hal ini dinashkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhumâ secara marfu’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
اسْتَعِينُوا بِطَعَامِ السَّحَرِ عَلَى صِيَامِ النَّهَارِ، وَبِالْقَيْلُولَةِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ
“Mintalah bantuan kalian dengan makan sahur agar kuat puasa pada siang hari dan dengan qailulah (tidur siang) agar kuat sholat malam.” (HR. Ibnu Majah, didhoifkan oleh al-Albani).
Kalau tidak sempat qailulah di rumah, maka bisa dilaksanakan di tempat manapun, termasuk di masjid. Dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu yang diriwayatkan Shahihain bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mencari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhâ di rumah putri Beliau, Fathimah radhiyallahu anhâ yang sekaligus suami Ali, lalu beliau mengatakan kepada Ayahndanya :
كانَ بَيْنِي وبيْنَهُ شيءٌ، فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِندِي
“Antara diriku dengannya ada sesuatu, lalu (Ali, suaminya) marah kepadaku, sehingga keluar rumah dan tidak TIDUR SIANG disampingku.”
Adapun durasi qailulah ini, maka saya belum mendapatkan nash yang  menyebutkan lama waktunya, maka ini kembali kepada ahli kesehatan terkait berapa lama idealnya qailulah ini. Para ahli kesehatan menyarankan sekitar 10-30 menit, bahkan menurut penelitian terbaru, tidur 10 menit saja sudah mencukupi. Wallahu Ta’âlâ A’lam.
Oleh: Abu Sa’id Neno Triyono

Leave a Comment