Apakah Perempuan Haji Tanpa Mahram Sah?

Apakah Perempuan Naik Haji Wajib dengan Mahram?

Pendahuluan
Perlu diketahui bahwasanya masalah safar wanita tanpa mahram dalam rangka haji dan umrah adalah masalah Fiqh klasik yang para ulama Salafusshalih sejak zaman dahulu telah berbeda pendapat, Ibrahim An-Nakha’iy berbeda dengan pendapat Muhammad bin Sirin padahal mereka sesama Tabi’in. Imam Al-Bukhariy dalam Shahih nya mengumpulkan dalil-dalil mazhab yang membolehkan maupun dalil-dalil mazhab yang melarang dalam satu bab dalam Shahihnya, begitu pula Imam At-Tirmidziy menghikayatkan khilaf tersebut dalam Sunannya. Maka seyogyanya menyikapi perbedaan ini dengan lapang dada dan mengedepankan toleransi. Selain itu pemerintah kerajaan Arab Saudi juga memberi kebijakan baru berupa kelonggaran bagi jamaah umroh atau haji wanita tanpa didampingi Mahram.

Soal: Assalamualaikum. Ust. Rivaldi.. Bagaimanakah hukum perempuan safar tanpa mahrom utk haji dan umroh?

Jawaban :
Waalaykumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh…
Jawabannya di rinci sebagai berikut:
1. Tidak boleh bagi seorang perempuan muslimah yang memiliki mahram untuk safar [bepergian jauh] tanpa ditemani olehnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam :
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا
“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allaah dan hari akhir melakukan perjalanan jauh dalam jarak semalam, kecuali bersamanya ada seorang laki-laki yang menjadi mahram baginya.” (HR. Al-Bukhari No. 1088 dan Muslim No. 419).
Siapa yang disebut mahram bagi perempuan? 
Dijelaskan oleh para ulama’ bahwa mahram adalah :
مَنْ لاَ يَجُوزُ لَهُ مُنَاكَحَتُهَا عَلَى التَّأْبِيدِ بِقَرَابَةٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ صِهْرِيَّةٍ
“Seorang yang tidak boleh baginya untuk menikahi perempuan tersebut selamanya dengan sebab kekerabatan, persusuan, atau persaudaraan karena pernikahan”. (Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 2/145).
Dalam hal ini mahram yang boleh menemani safar perempuan ialah bapaknya, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sepersusuan, anak laki-lakinya, pamannya, keponakan laki-lakinya dan yang lain yang terkategori mahram muabbad [mahram selamanya]. Tidak boleh mahrom muaqqot [mahram sementara] seperti suami dari saudari nya atau bibinya. Dan disyaratkan pula mahram yang menemani safarnya tersebut terkategori baligh dan berakal sehat. (lihat, Al-Fiqh Al-Wadhih, 1/579)
Dalam salah satu hadits jelas disebutkan mahram yang boleh menemani safar.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا، أَوِ ابْنُهَا، أَوْ زَوْجُهَا، أَوْ ذُو مَحْرِمٍ مِنْهَا
“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk pergi dalam suatu bepergian jauh dalam waktu tiga hari atau lebih kecuali harus ditemani bapaknya, atau anak laki-lakinya, atau suaminya atau mahram [lain] darinya.” (Musnad Abu Ya’la Al-Mushili [2/411] No. 1197. Sanadnya shahih). (baca juga tulisan kami tentang mahram perempuan).
Termasuk mahram yang boleh menyertai safar perempuan adalah mertua laki-laki [bapak mertua], dan anak laki-laki suami [anak tiri laki-laki]. Karena mereka berstatus sebagai mahram muabbad [haram menikah dengan perempuan tersebut selamanya].
Akan tetapi, Imam Malik memandang makruh seorang perempuan bepergian dengan anak tiri laki-lakinya. Alasannya, akhlak setelah generasi sahabat Nabi sudah mulai bobrok dan bepergian dengan anak tiri laki-laki memicu timbulnya fitnah. (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 7/128)
Kemudian, yang dimaksud safar di sini ialah: bepergian jauh. Tidak ada batasan jarak minimal dalam masalah ini, karena batasan jarak yang disebutkan Rasulullah berbeda-beda dalam setiap riwayat hadits. Hal ini dikembalikan kepada ‘urf/kebiasaan penduduk di suatu negeri. Jika keumuman manusia telah menyatakan itu bepergian jauh, maka dinamakan safar. (Syaikh Abul Bara Al-Badyawi, Jami’ Ahkam Al-Musafir, Hal. 462).
Al-Imam An-Nawawi menulis kutipan pernyataan Imam Al-Bayhaqi As-Syafi’I :
كَأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ تُسَافِرُ ثَلَاثًا بِغَيْرِ مَحْرَمٍ فَقَالَ لَا وَسُئِلَ عَنْ سَفَرِهَا يَوْمَيْنِ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ فَقَالَ لَا وَسُئِلَ عَنْ سَفَرِهَا يَوْمًا فَقَالَ لَا وَكَذَلِكَ الْبَرِيدُ فَأَدَّى كُلٌّ مِنْهُمْ مَا سَمِعَهُ وَمَا جَاءَ مِنْهَا مُخْتَلِفًا عَنْ رِوَايَةِ وَاحِدٍ فَسَمِعَهُ فِي مَوَاطِنَ فَرَوَى تَارَةً هَذَا وَتَارَةً هَذَا وَكُلُّهُ صَحِيحٌ وَلَيْسَ فِي هَذَا كُلِّهِ تَحْدِيدٌ لِأَقَلِّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ السَّفَرِ وَلَمْ يُرِدْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْدِيدَ أَقَلِّ مَا يُسَمَّى سَفَرًا فَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ مَا يُسَمَّى سَفَرًا تُنْهَى عَنْهُ الْمَرْأَةُ بِغَيْرِ زَوْجٍ أَوْ مَحْرَمٍ سَوَاءٌ كَانَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ يَوْمَيْنِ أو يوما أو بريدا أو غير ذلك
“Seolah-olah beliau shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang perempuan yang bepergian sejarak perjalanan tiga hari tanpa mahram, maka jawaban beliau: tidak boleh! Kemudian beliau ditanya lagi tentang bepergian perempuan sejarak perjalanan dua hari, jawab beliau: tidak boleh! kemudian ditanya lagi tentang bepergian perempuan sejarak perjalanan satu hari, jawab beliau : tidak boleh! Begitu juga jawabannya sama ketika beliau ditanya jarak perjalanan satu barid [12 mil].
Maka setiap sahabat menyampaikan jawaban apa yang ia dengar, dan apa yang datang berkenaan dengan masalah tersebut memang beragam situasinya. Ada yang mendengarnya di suatu waktu demikian, ada yang mendengar nya di waktu lain demikian yang berbeda. Semuanya benar, dan memang riwayat-riwayat tersebut tidak menunjukkan kepada pembatasan [tahdid] akan jarak minimal safar perempuan mesti dengan mahram. Rasulullah sendiri tidak memaksudkan setiap jawaban beliau sebagai batasan jarak minimal bagi safar perempuan mesti dengan mahram. 
Kesimpulannya: bahwa setiap hal yang disebut menurut urf/adat masyarakat sebagai safar [bepergian jauh], maka perempuan terlarang untuk itu jika tanpa suami atau mahram, baik sejauh jarak perjalanan tiga hari, dua hari, satu hari, satu barid [12 mil], atau bahkan yang lebih pendek jaraknya daripada itu.” (Syarh Shahih Muslim, 9/103) 
2. Adapun jika perempuan tersebut tidak memiliki mahram, atau memiliki akan tetapi mahram tersebut tidak berkenan atau tidak memungkinkan untuk menemaninya, maka kondisi ini diperinci menjadi dua :
Pertama, Safar yang dilakukan safar yang bersifat pilihan. Artinya, bisa memilih antara pergi atau tidak. Seperti : jalan-jalan, berkunjung kepada saudara, shopping [belanja], safar naik haji untuk kedua kalinya, safar untuk bekerja padahal perempuan tidak wajib bekerja, atau untuk studi yang sebetulnya tidak darurat, dan yang semisalnya.
Kondisi pertama ini membuat perempuan tersebut terlarang untuk pergi. Karena tidak ada mahram yang menemaninya. Berdasarkan keumuman hadits yang telah kami sebutkan di atas.
Kedua, Safar yang dilakukan merupakan safar yang bersifat wajib/harus. Misalnya :
Berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam; Ibadah haji untuk pertama kali; Mengunjungi ibu atau bapaknya yang sakit keras yang membutuhkan pertolongannya; mencari ilmu yang bersifat wajib [yang mau tidak mau memaksa ia harus safar], dan yang semisalnya.
Maka dalam kondisi seperti ini, dibolehkan bagi seorang perempuan untuk safar tanpa mahram. Dan ini merupakan pendapat jumhur [mayoritas] ulama. (Syaikh Abul Bara Al-Badyawi, Jami Ahkam Al-Musafir, hal. 442)
Imam Ibnu Baththal rahimahullaah berkata:
وفى قوله: (لا يحل لامرأة) ، شاهد أنه إنما نهاها عن السفر الذى لا يلزمهن ولهن استحلاله وتركه فمنعهن (صلى الله عليه وسلم) من الأسفار المختارة إلا الضرورية الجماعية التى لا تعدم فيها المرافقة
“Dalam ucapan beliau shallallaahu ‘alayhi wasallam “Tidak halal bagi seorang perempuan”, yang menjadi dalil [pembahasan di sini] sesungguhnya beliau hanya melarang perempuan [safar tanpa mahram] dalam safar yang tidak mengharuskan mereka [untuk pergi]. Dan baginya pilihan antara mencari cara agar dapat pergi atau tidak jadi pergi.
Maka Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam melarang mereka dari berbagai safar yang bersifat pilihan [tidak wajib] dengan pengecualian [safar] yang bersifat darurat dan berjama’ah dimana jamaah tersebut tidak kosong dari perempuan yang menemaninya.” (Syarh Shahih Al-Bukhari, 3/80).
3. Dalam masalah haji, madzhab Syafi’I memiliki pendapat terperinci sebagai berikut. Perincian ini diambil dari kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh As-Syafi’I (Juz 2/Halaman 271-272) 
  • Untuk haji yang kali pertama [disebut sebagai HAJI ISLAM], karena hukumnya wajib ‘ain, maka jika seorang perempuan memiliki suami, mahram, atau teman perjalanan haji minimal dua orang perempuan, wajib baginya untuk menunaikan haji bersama salah satu di antara mereka. Tentu dengan catatan: sang suami, mahram atau dua temannya tersebut berkemampuan untuk naik haji.
Juga dengan catatan, si perempuan tersebut bukan dalam keadaan masa ‘iddah [baik sebab cerai maupun ditinggal wafat oleh suaminya].
  • Si perempuan tidak boleh memaksa suami atau mahram nya untuk pergi haji bersamanya. Apabila suami dan mahram meminta di upahi/di ongkosi, dan si perempuan berkemampuan maka ia wajib mengupahi mau tidak mau agar ia bisa naik haji. Jika tidak mampu mengupahi, atau setelah dibujuk dengan upah suami/mahram tidak berkenan menemani, maka kewajiban haji gugur baginya.
  • Jika tidak ada suami, mahram, atau dua teman perempuan, namun yang ada seorang perempuan saja yang bisa menemani naik haji, maka dalam kondisi demikian hukumnya berubah menjadi mubah [boleh], bukan wajib [diharuskan]. 
  • Jika tidak ada sama sekali perempuan yang bisa menemani, dan yang ada misalnya rombongan laki-laki bukan mahram, menurut salah satu pendapat dalam madzhab : boleh pergi haji bersama mereka selama aman dari bahaya. Namun, yang shahih adalah tidak boleh pergi haji bersama mereka.
  • Untuk haji yang kedua kali [disebut sebagai HAJI TATHOWWU’], maka disyaratkan pergi dengan suami atau mahram sebagaimana safar yang sifatnya tidak darurat/wajib. Jika tidak ada suami atau mahram yang menemani, meski ditemani ribuan perempuan, maka safar nya tersebut adalah safar yang berdosa.
  • Umrah pertama kali dianggap seperti haji yang pertama [haji Islam]. Hukumnya wajib dalam madzhab Syafi’I. Dalilnya ialah ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 196 : [wa atimmul hajja wal ‘umrata…] (Maka sempurnakan lah haji dan ‘umrah). Umrah disandingkan dengan haji yang wajib secara ijma.
Sedangkan dalil As-Sunnah ialah riwayat ‘Aisyah, “Aku bertanya pada Rasulullaah: Duhai Rasulullaah, adakah kewajiban jihad bagi perempuan? Jawab Rasulullaah : ya, jihad yang tidak ada perang di dalamnya, yakni haji dan umrah.” (HR. Ibn Majah No. 2/968. Shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim)
  • Untuk umrah yang kedua kali, hukumnya sama seperti haji yang kedua [haji tathowwu’]. Wajib pergi bersama suami atau mahram.
4. Adapun pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Hanbali yang masyhur, maka keberadaan mahram merupakan syarat wajib bagi safar perempuan walau pun untuk safar haji yang wajib. (Bada’i As-Shana’i, 2/133). 
Mereka menjadikan kesertaan mahram bagi perempuan sebagai syarat bolehnya safar secara mutlak, baik safar yang hukumnya wajib ataupun tidak. Pendapat ini bersandar kepada dzahir [tekstual] hadits tentang larangan perempuan safar tanpa mahram.
Ayat Al-Qur’an tentang berhaji:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Dan Allah telah mewajibkan kepada manusia untuk ibadah haji bagi yang mampu dalam perjalanan untuk ke sana.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 97)
Mereka mengatakan bahwa “istitha’ah” [kemampuan] dalam ayat tersebut bermakna bagi perempuan di antaranya memiliki mahram atau suami yang bisa menemani nya berhaji. 
Mereka juga berdalil dengan hadits yang berisi perintah Rasulullah terhadap seorang Arab Badui, agar menemani istrinya pergi haji. (HR. Ibnu Majah No. 2900).
Madzhab Syafi’I berpendapat jika keberadaan mahram tidak masuk dalam ayat di atas. Sepanjang dia mampu secara fisik dan materi [bekal] untuk ke sana, maka sudah dianggap mampu walaupun tidak memiliki mahram. Sebagai mana dalam suatu riwayat dari sahabat Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu :
قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يُوجِبُ الْحَجَّ؟ قَالَ: “الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ
“Seorang laki-laki berdiri kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam seraya berkata : “Wahai Rasulullah ! Apa yang mewajibkan haji ? Beliau shallallahu ‘alayhi wasallam menjawab : “Bekal dan kendaraan.” (HR. Ibnu Majah No. 2829)
Dalam hadits ini tidak disebutkan mahram. Beberapa ulama memandang hadits ini hadits lemah. Tapi Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau menyebut :
لَا يُشَكُّ أَنَّ هَذَا الْإِسْنَادَ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثقات سوى الخوزي هَذَا، وَقَدْ تَكَلَّمُوا فِيهِ مِنْ أَجْلِ هَذَا الْحَدِيثِ، لَكِنْ قَدْ تَابَعَهُ غَيْرُهُ
“Tidak diragukan, sesungguhnya sanad ini semua perawinya tsiqah [terpercaya] selain Muhammad bin Ibrahim Al-Khuzi. Dia telah dilemahkan disebabkan hadits ini. Akan tetapi yang selainnya telah memberikan mutaba’ah [penguat].” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/71).
Hadits yang menguatkan pendapat tersebut juga ditunjukkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, bahwa ‘Umar pernah mengizinkan para istri Nabi untuk pergi haji, ditemani Utsman Ibn Affan dan Abdurrahman Ibn Auf. (HR. Al-Bukhari No. 1761, Bab Haji Perempuan)
Tidak ada sahabat yang mengingkari perbuatan Umar dan Utsman, sehingga bisa dikatakan hal ini sebagai ijma’ sukuti.
Demikian jawaban kami. Wallaahu a’lam.
Dijawab oleh: Ust. Muhammad Rivaldy Abdullah Pengasuh pesantren Nashirus Sunnah Mesir 

Leave a Comment