Apakah Air Suci Yang Tidak Mensucikan Dapat Digunakan Untuk Menghilangkan Najis?

Apakah Air Suci Yang Tidak Mensucikan Dapat Digunakan Untuk Menghilangkan Najis?

Asy-Syaikh Abdur Rahman al-Jaza`iriy rahimahullah dalam kitabnya “al-Fiqh ‘alaa al-Madzhaahib al-Arba’ah” (hal. 20, Dar al-‘Aalamiyyah) tatkala menyebutkan perbedaan air Thahuur (suci dan mensucikan) dengan air Thaahir (suci tapi tidak mensucikan), beliau menerangkan tentang air Thaahir :
وبخلاف الماء الطاهر فإنه لا يصح استعماله في العبادات من وضوء وغسل جنابة ونحوهما، كما لا يصح تطهير النجاسة به(٢)
“Berbeda dengan air thaahir, maka ia tidak sah digunakan untuk ibadah yaitu berwudhu, mandi janabah dan semisalnya, sebagaimana ia tidak sah digunakan untuk membersihkan najis.(2)”
Kemudian dalam catatan kakinya (nomor 2) beliau menyebutkan mazhab Hanabilah terkait pembahasan ini, kata beliau rahimahullah :
الحنابلة قالوا: …. أما تطهير النجاسة به فإنه يصح.
“Hanabilah berpendapat : …adapun membersihkan najis dengan air Thaahir, maka ini sah.”
Dari penjelasan asy-Syaikh rahimahullah diatas, saya ingin menuliskan faedah dan catatan terkait hal ini :
A. Faedah yang kita dapatkan adalah bahwa mayoritas (jumhur) ulama berpendapat air thaahir tidak sah digunakan untuk membersihkan najis atau dengan kata lain hanya air thahuur yang sah digunakan untuk membersihkannya. 
 
Faedah ini kita dapatkan, karena memang asy-Syaikh dalam kitabnya diatas membahas berbagai permasalahan fiqih secara lengkap berdasarkan pendapat empat mazhab yang eksisting sampai sekarang yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Hanbali. Kemudian metode beliau jika ada pendapat mazhab yang berbeda dari tulisan utama yang beliau tampilkan dalam kitabnya ini, maka beliau akan memberikan nomor kecil diatas ujung kalimat yang dibahas, lalu beliau memberikan catatan kaki mazhab siapa yang berbeda dan apa pernyataannya.
Dalam kasus yang kita bahas ini, asy-Syaikh menukil bahwa hanya mazhab Hanbali punya pandangan yang berbeda, yang otomatis kita menjadi tahu bahwa 3 mazhab lainnya berpendapat seperti yang beliau tulis yang berarti ini adalah menjadi mazhab jumhur karena lebih banyak.
Dan saya bertambah yakin memang ini mazhab jumhur tatkala saya bandingkan dengan dua kitab yang memang khusus membahas pendapat para ulama yaitu :
1. Kitab Mausuu’ah al-Masaa`il al-Jumhuur fii al-Fiqhi al-Islamiy karya Prof. DR. Muhammad Na’im hafizhahullah. 
 
Kitab ini saya andalkan untuk mengetahui pendapat jumhur terhadap suatu permasalahan fiqih. DR. Muhammad Na’im berkata dalam kitabnya (I/38) :
جماهير السلف والخلف على أن رفع الحدث وإزالة النجس لا يصح إلا بالماء المطلق. وبه يقول مالك والشافعي ومحمد بن الحسن وزفر. … وقال أبو حنيفة: يجوز إزالة النجاسة بكل مائع طاهر مزيل للعين كالخل وماء الورد وروى عن أحمد ما يدل على نحوه
“Mayoritas ulama salaf dan kholaf berpendapat bahwa mengangkat hadats dan menghilangkan najis tidak sah kecuali dengan air mutlak. Ini adalah pendapatnya Malik, Syafi’i, Muhammad bin Hasan dan Zufar (dua ulama terakhir dari mazhab hanafi).
Abu Hanifah berkata: “boleh menghilangkan najis dengan semua cairan yang suci yang bisa menghilangkan najisnya itu sendiri, seperti cuka, airnya bunga.”
Hal ini diriwayatkan juga dari Imam Ahmad yang menunjukkan seperti itu.” -selesai-.
2. Kitab yang tidak kalah menakjubkannya didalam mengumpulkan pendapat para ulama fiqih yaitu kitab yang berjudul “Mausuu’ah Ahkaam ath-Thahaarah” karya asy-Syaikh Dubyaan hafizhahullah. 
 
Beliau berkata dalam kitabnya (XIII/493) :
فقيل: لا تزال النجاسة إلا بالماء الطهور. وهو مذهب المالكية، والشافعية، والحنابلة، ومحمد وزفر من الحنفية.
وقيل: النجاسة تزال بأي مائع مزيل، ولا يتعين الماء. وهو المشهور من مذهب الحنفية، واختيار ابن تيمية.
“Dikatakan tidaklah najis itu hilang, kecuali dengan air thahuur. Ini adalah mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Muhammad dan Zufar dari kalangan Hanafiyyah.
Juga dikatakan najis dapat dihilangkan dengan cairan apapun yang bisa mengilangkannya dan tidak harus dengan air tertentu. Ini pendapat yang masyhur dalam mazhab hanafiyyah dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.” -selesai-.
B. Yang menjadi catatan saya ialah bahwa asy-Syaikh Abdur Rahman al-Jazaa`iry rahimahullah menisbatkan mazhab hanabilah sebagai pihak yang berlawanan dengan jumhur dalam bab sah tidaknya mengilangkan najis dengan air Thaahir. Tapi asy-Syaikh tidak keliru 100%, ketika kita bisa lihat bahwa DR. Muhammad Na’im menukil bahwa ada satu riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat seperti itu dan juga ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang dibesarkan dalam mazhab hanbali.
Namun menisbatkan bahwa mazhab hanbali secara resmi berbeda dengan jumhur maka ini yang menjadi catatan saya, terlebih kitab-kitab mazhab hanbali yang dinukil oleh asy-Syaikh Dubyaan yaitu al-Inshof, Kasaaf al-Qinaa’ dan al-Furuu’ senada dengan jumhur. Bahkan saya langsung merujuk kitab dasar dalam mazhab Hanbali yaitu “Zaad al-Mustaqni'” dengan syarah “ar-Raudh al-Murabi'” (hal. 16, DKI) maka dinyatakan disana :
(وَلَا يُزِيلُ النَّجَسَ الطَّارِئَ) على محلٍّ طاهرٍ، فهو  النَّجاسةُ الحُكْمِيَّةُ، (غَيْرُهُ)، أي: غيرُ الماءِ الطَّهورِ
“(Dan tidak bisa menghilangkan najis yang muncul) pada tempat yang suci, yaitu najis hukmi, (selainnya), yaitu selain air thahuur.” -selesai-.
Dan kita dapatkan bahwa ternyata yang berbeda dengan jumhur adalah Imamnya langsung mazhab hanafi yaitu Imam Abu Hanifah rahimahullah. Oleh sebab itu sebaiknya asy-Syaikh al-Jazaa`iriy disana memberikan catatan sebagaimana yang ditulis dalam dua kitab yang saya nukil diatas.
Kemudian setelah memaparkan dalil-dalil dari masing-masing kubu, asy-Syaikh Dubyaan merajihkan mazhabnya Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyyah bahwa point penting dalam membersihkan najis adalah najis itu bisa hilang pada benda suci yang dikontaminasinya dengan menggunakan sarana apapun, karena dalam beberapa hadits seperti hadits perintah Nabi untuk menggosok-gosok sandal yang ada kotorannya ke tanah, kemudian pernyataan Beliau bahwa ujung pakaian wanita yang menempel tanah bisa menjadi pensucinya dari najis, kemudian istinja dengan batu dan hadits-hadits semisalnya dapat kita tarik benang merah bahwa point utama dalam bab menghilangkan najis adalah hilangnya najis yang muncul tersebut, sekiranya air thaahir, misalnya air kelapa dapat menghilangkan najis yang menempel di lantai, maka ini sudah dianggap sah hilangnya najis tersebut. 
Dari kalangan ulama kontemporer yang merajihkan pendapat yang berbeda dengan jumhur adalah ibnu Utsaimin dan al-Albani rahimahumullah. Wallahu a’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono

Leave a Comment