Fatwapedia.com – Amalan-amalan dalam ibadah haji terbagi menjadi rukun, wajib dan mustahab. Sekarang akan disebutkan rukun-rukun haji yang ditunjukan oleh dalil-dalil bahwa amalan tersebut adalah suatu rukun dan juga yang berkaitan dengan setiap rukun berupa kewajiban, sunnah, makruh dan selain itu. Rukun-rukun haji menurut mayoritas imam yang empat: Ihram, Wuquf di `Arafah, Thawaf Ifadhah dan Sa`i antara Shafa dan Marwa.
Dan menurut Asy-Syafi`iyyah rukun-rukun tersebut ada 6: empat yang ini ditambah mencukur atau memotong rambut dan tertib dalam sebagian besar rukun. Dan menurut Hanafiyyah: haji memiliki 2 rukun, yaitu wuquf di `Arafah dan Thawaf Ifadhah.
Rukun Haji yang Pertama adalah Ihram
Definisi Ihram
Ihram adalah berniat haji atau umrah dari miqat yang ditentukan secara syar’i. Ihram merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun haji menurut mayoritas ulama dan menjadi syarat sah haji menurut Hanafiyyah. Allah -subhanahu wa ta`ala- berfirman:
(وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ)
Mereka tidak diperintahkan kecuali hanya untuk menyembah Allah dengan ikhlash ketaatan kepada-Nya dalam beragama dengan tepat. (Al-Qur’an, Surat Al-Bayyinah: 5)
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Setiap perbuatan tergantung pada niat.[2]
Macam-Macam Ihram
Haji dapat dilaksanakan dengan tiga manasik:
1. Ifrad: yaitu seseorang yang berhaji, berniat untuk haji saja ketika berihram sambil mengucapkan: “Labbaikallahumma bi hajjin” (Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu untuk berhaji) Kemudian dia melakukan amalan-amalan haji saja.
2. Qiran: yaitu seseorang yang berhaji berniat untuk haji dan umrah bersamaan sambil mengucapkan: “Labbaikallahumma hajjan wa ‘umratan” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berhaji dan umrah). Kemudian dia melakukan amalan haji dan umrah dalam satu waktu atau dia memasukan hajinya ke dalam umrah setelah thawaf.
Mayoritas ualama berkata: Sesungguhnya keduanya saling berkaitan, maka dia hanya cukup berthawaf sekali dan bersa`i sekali. Ini sudah cukup untuk haji dan umrah. Hanafiyyah berkata: dia berthawaf dua kali dan bersa`i dua kali. Dan orang yang berhaji qiran harus memotong sembelihan menurut ijma’ sebagaimana yang nanti akan dijelaskan.
3. Tamattu’: yaitu seorang yang berhaji berniat dengan umrah saja di bulan-bulan haji sambil mengucapkan: “Labbaikallahumma umratan” (Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu untuk berumrah). Kemudian menuju Makkah dan melaksanakan manasik umrah lalu bertahallul dan tinggal di Makkah dalam kondisi telah bertahallul. Kemudian berihram untuk haji dan melaksanakan manasiknya. Ini dilakukan di tahun yang sama. Bagi yang berhaji tamattu’ juga wajib untuk menyembelih sembelihan berdasarkan ijma’.
Pensyariatan Ketiga Manasik ini
1. Tidak ada perselisihan bahwa pada pelaksanaan haji ketika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memulainya diperbolehkan dengan tiga cara manasik yang telah disebutkan, begitupula para Shahabat: ada yang bertamattu’, qiran dan ifrad. Hal ini dikarenakan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan pilihan kepada mereka dalam hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits `A’isyah:
(خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍّ فَلْيُهِلَّ…)
Kami keluar bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda: “Bagi siapa di antara kalian yang ingin berniat dengan haji dan umrah, maka lakukanlah. Bagi siapa yang ingin berniat dengan haji saja maka hendaklah dia berniat dengan haji saja. Bagi siapa yang ingin berniat dengan umrah saja maka hendaklah dia berniat dengan umrah saja…[Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1211)]
2. Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan mereka (setelah memberi pilihan tersebut) untuk bertamattu’ tanpa mengharuskan atas mereka:
(…فنَزَلْنَا ِسَرِفَ، فَخَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ: «مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنْكُمْ هَدْيٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَجْعَلَهَا عُمْرَةً، فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ،فَلَا» قالت: فَالآخِذُ بِهَا وَالتَّارِكُ لَهَا من أصحابه [ممن لم يكن معه هدي]
Kemudian kami sampai di Sarif [Sarif: suatu tempat dekat tan’im], kemudian Nabi menemui para Shahabat dan bersabda: “Bagi siapa yang tidak memiliki sembelihan dan ingin menjadikannya sebagai umrah maka hendaknya dia lakukan itu, bagi siapa yang memilikinya maka jangan melakukannya.” `A’isyah berkata: Maka di antara para Shahabat ada yang melakukannya dan ada yang tidak (dari mereka yang memiliki sembelihan) [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1560) dan Muslim (1211) dan tambahannya darinya]
Dalam hadits Ibnu Abbas:
(أن النبي لما وصل إلى ذي طوى – موضع قريب من مكة- وبات بها, فلما أصبح قال لهم: مَنْ شَاءَ أَنْ يَجْعَلَهَا عُمْرَةً فَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً
Sesungguhnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika sampai di Dzu Thuwa (suatu tempat dekat dengan Makkah) lalu beliau bermalam disana. Maka ketika pagi tiba beliau bersabda kepada para Shahabat: “Bagi siapa yang ingin menjadikannya sebagai umrah maka hendaknya dia menjadikannya sebagai umrah.” [Shahih: Al-Bukhariy (1564) dan Muslim (1240)]
3. Kemudian beliau memerintahkan mereka (yang belum menyembelih sembelihan) untuk membatalkan haji dan mengubahnya menjadi umrah lalu bertahallul. Dari `A’isyah dia berkata:
(خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَرَى إِلَّا أَنَّهُ الْحَجُّ، فَلَمَّا قَدِمْنَا مَكَّةَ تَطَوَّفْنَا بِالْبَيْتِ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاقَ الْهَدْيَ، أَنْ يَحِلَّ، قَالَتْ: فَحَلَّ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاقَ الْهَدْيَ، وَنِسَاؤُهُ لَمْ يَسُقْنَ الْهَدْيَ، فَأَحْلَلْنَ)
Kami pergi bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kami tak memiliki tujuan lain selain haji. Maka ketika kami telah sampai di Makkah dan berthawaf di Ka’bah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan bagi siapa yang belum menyembelih semebelihannya untuk bertahallul. `A’isyah berkata: Maka berthalallullah orang-orang yang belum menyembelih sembelihannya dan begitu juga istri-istri Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- belum menyembelih maka mereka bertahallul. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1561) dan Muslim (1211)]
Dalam riwayat Ibnu Abbas:
فَأَمَرَهُمْ أْنْ يَجْعَلُوهَا عُمْرَةً، فَتَعَاظَمَ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الْحِلِّ؟، قَالَ: ” الْحِلُّ كُلُّهُ
Maka beliau memerintahkan mereka untuk menjadikannya sebagai umrah dan mereka merasa berat dengannya, lalu mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, tahallul dari apakah ini?” Beliau menjawab: “Tahallul dari semuanya.” [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1564) dan Muslim (1240)]
Penulis berkata: Para ulama berselisih pendapat dalam penamaan tiga manasik tersebut: Mayoritas ulama dahulu dan khalaf berpendapat bahwa manasik yang tiga, yaitu Ifrad, Qiran dan Tamattu’, semuanya diperbolehkan dan ada keleluasaan dalam hal ini. Bahkan sebagian menuliskan ijma’ akan hal tersebut.
Lihat al-Majmu’ (7/144), al-Mughny (3/276), Ma’alim as-Sunan karya al-Khaththaby (2/301). Dan Imam nawawy berkata dalam Syarh Muslim setelah menyebutkan perbedaan para Shahabat dalam masalah ini: “Dan telah tetap ijma’ setelahnya akan diperbolehkannya ifrad, tamattu’ dan qiran tanpa ada kemakruhan.”
Kemudian (setelah mereka bersepakat atas penamaannya) mereka berselisih tentang manasik manakah yang lebih utama sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Sementara itu sebagian ulama berpendapat atas wajibnya bertamattu’ bagi mereka yang belum menyembelih sembelihan jika dia telah berthawaf dan sa`i, sehingga telah menjadi halal baginya segala sesuatu. Ini adalah madzhab Ibnu Abbas dan Abu Musa al-Asy’ary, ini juga dikatakan oleh Ahlu zhahir dan dibenarkan oleh Ibnu Hazm lalu Ibnul Qayyim dalam dua pembahasan mereka yang terperinci. [Lihat al-Muhalla (7/99 dan yang setelahnya), Zaad al-Ma’ad (2/177 dan yang setelahnya) dan Shifatu Hajjati an-Nabiyy]
Mereka berdalil bahwa itu adalah perintah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada para Shahabat untuk merubah haji menjadi umrah dan beliau menekankan hal itu atas mereka. Maka hal tersebut dirasa memberatkan bagi mereka yang ditunjukan oleh perintah beliau berarti suatu kewajiban. Hal ini membuat beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- marah ketika mereka menunda-nunda dan bertanya-tanya sebagaimana pada hadits `A’isyah:
فَدَخَلَ عَلَيَّ وَهُوَ غَضْبَانُ، فَقُلْتُ: مَنْ أَغْضَبَكَ يَا رَسُولَ اللهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ. فَقَالَ: ” وَمَا شَعَرْتِ أَنِّي أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ، فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُونَ
Maka beliau menemuiku dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah? Semoga Allah memasukannya ke neraka.” Beliau berkata: “Tidakkah engkau melihat bahwa aku memerintahkan orang-orang namun ternyata mereka ragu melakukannya.”
Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika para Shahabat bertanya tentang pembatalan yang beliau perintahkan kepada mereka:
(أَلِعَامِنَا هَذَا أَمْ لِأَبَدٍ؟ فَشَبَّكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابِعَهُ وَاحِدَةً فِي الْأُخْرَى، وَقَالَ: «دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إلى يوم القيامة .لَا بَلْ لِأَبَدِ أَبَدٍ.لَا بَلْ لِأَبَدِ أَبَدٍ)
“Apakah untuk tahun ini saja atau untuk seterusnya?” Maka beliau menggabungkan jari-jemarinya satu dengan yang lainnya dan bersabda: “Umrah telah menjadi bagian dari haji sampai Hari Kiamat. Tidak, akan tetapi untuk selamanya. Tidak, akan tetapi untuk selamanya.” [Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1218) dan di dalam sunan dengan ringkas]
Bahkan Ibnu Abbas berdebat atas permasalahan ini sampai-sampai beliau berkata: “Aku berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda demikian”, tapi kalian berkata: “Abu Bakar dan `Umar berkata demikian”. Hampir saja bebatuan ditrurunkan dari langit atas kalian.” [Musnad Ahmad (1/337), al-Faqih al-Mutafaqqih (1/145) dan Jami’ Bayan al-Ilm (2/239)]. Karena Abu Bakar dan `Umar berpendapat bahwa ifrad lebih utama daripada tamattu’ sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ringkasan dari madzhab ini: bahwa bagi siapa yang ingin berhaji dan telah sampai di miqat, jika belum memiliki sembelihan, maka wajib baginya untuk berihram dengan umrah saja dan dia harus melakukannya (maksudnya berhaji dengan tamattu’). Jika dia telah berihram dengan haji saja atau dengan menggabungkan haji dan umrah, maka dia wajib untuk membatalkan tahalulnya menjadi umrah jika dia telah menyempurnakannya kemudian memulai tahulul dengan haji saja dari Makkah. Jika telah memiliki sembelihan maka dia merubahnya menjadi qiran dan mengucapkan:“Labbaika bi ‘umratin wa hajjin ma’an” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumrah dan berhaji bersamaan). [Lihat al-Muhalla (7/99)]
Manakah Dari Tiga Manasik Yang Lebih Utama?
Walaupun pendapat mayoritas bahwa tiga manasik tersebut diperbolehkan semua, mereka berselisih mengenai keutamaannya dalam banyak pendapat. Sebab dari perselisihan ini adalah: perselisihan mengenai haji Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, apakah Ifrad, Qiran atau Tamattu’?
Pendapat Pertama:
Ifrad lebih utama: ini adalah madzhab Malik, Ahlu zhahir dan Asy-Syafi`iy. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibnu `Umar, Jabir dan `A’isyah [Al-Mudwanah (1/360), al-Umm (2/143) dan al-Majmu’ (7/145 dan yang setelahnya)]. Dalil mereka adalah sebagai berikut:
a. Riwayat dari Jabir, Ibnu `Umar, Ibnu Abbas dan `A’isyah “Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berniat dengan haji saja.” [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1562) dan Muslim (1211) dari `A’isyah dan di dalam kedua riwayat ada juga riwayat dari Shahabat-shahabat yang lain tersebut]
b. Bahwa para Khulafa’ ar-Rasyidin setelah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berhaji ifrad dalam haji dan selalu melakukannya. Begitulah yang dilakukan oleh Abu Bakar, `Umar dan Utsman, sedangkan ulama berselisih tentang ‘Ali.
c. Umar berkata: “Pisahkanlah antara haji dan umrah kalian, karena hal itu lebih sempurna bagi haji dan umrah kalian.” [Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1217) dan Malik (778)]
d. Utsman ketika disebutkan kepadanya tentang bertamattu’ dari umrah ke haji dia berkata: “Sesungguhnya akan lebih sempurna bagi haji dan umrah untuk tidak dikerjakan di bulan-bulan haji. Maka jika kalian mengakhirkan umrah tersebut sampai kalian mengunjungi Ka’bah dua kali, maka itu lebih utama karena Allah -subhanahu wa ta`ala- telah meleluasakan kebaikan.”
e. Sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk membayar dam dalam ifrad berdasarkan ijma’, itu karena kesempurnaannya, berbeda dengan tamattu’ dan qiran.
f. Sesungguhnya umat telah bersepakat (mereka mengatakan demikian) atas diperbolehkannya ifrad tanpa ada kemakruhan, berbeda dengan tamattu’ dan qiran, jadi ini lebih utama.
Pendapat Kedua:
Qiran lebih utama: Ini adalah madzhab Hanafiyyah dan ats-Tsaury dan salah satu riwayat dari Ahmad (bagi yang memiliki sembelihan). Dalil mereka adalah:
Adanya ketetapan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berniat dengan haji dan umrah, seperti dalam hadits Anas:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا، لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
Aku mendengar Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengucapkan: Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu untuk berumrah dan haji.[Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (4354) dan Muslim (1222)
Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib ketika Utsman melarangnya untuk haji qiran: “Apakah engkau akan melarang dari suatu perkara yang dilakukan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Maka Utsman berkata: Ikutilah perintah kami.” Ali berkata: “Sesungguhnya aku tidak bisa membiarkanmu.” Maka ketika Ali melihat hal itu dia berniat dengan keduanya bersamaan. Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1569) dan Muslim (1222)
Ada dam, dam ini bukanlah suatu paksaan, karena bukan disebabkan melakukan sesuatu yang haram namun suatu ibadah. Dan ibadah yang berkaitan dengan badan dan harta lebih utama dari yang hanya khusus dengan badan saja.
Orang yang berhaji qiran itu berarti dia bersegera dalam beribadah, maka itu lebih utama daripada mengakhirkannya.
Dengan qiran berarti mendapati umrah dalam waktu haji, dan ini lebih mulia.
Pendapat Ketiga:
Tamattu’ lebih utama: ini adalah madzhab Ahmad bin Hanbal dan salah satu riwayat dari Asy-Syafi`iy. Juga merupakan madzhab Ahlu zhahir dan Ibnul Qayyim. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu `Umar, Ibnu `Abbas, Ibnu az-Zubair, `A’isyah dan `Ulama terdahulu. [Al-Mughny (3/260), al-Majmu’ (7/150-152), al-Muhalla (7/99) dan Zaad al-Ma’aad (2/177)]. Dalil mereka adalah:
Hadits `A’isyah dia berkata:
تَمَتُّعِهِ النَّبِيِّ بِالعُمْرَةِ إِلَى الحَجِّ، فَتَمَتَّعَ النَّاسُ مَعَهُ
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertamattu’ dengan umrah ke haji dan begitu juga orang-orang.
Az-Zuhry berkata: Sama dengan yang dikabarkan Salim dari Ibnu `Umar dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepadaku.[Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1692) dan Muslim (1237) dan yang nampak adalah tamattu’ di sini maksudnya adalah qiran sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah]
b. Dari `Imran bin Hushain dia berkata:
(تمتع النبي وتمتعنا معه)
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertamattu’ dan kami juga bertamattu’ bersama beliau. [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy dengan maknanya (1572) dan Muslim (1226) dengan lafaznya]
c. Dari Abu Jamrah dia berkata:
(«تَمَتَّعْتُ»، فَنَهَانِي نَاسٌ، فَسَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَأَمَرَنِي، فَرَأَيْتُ فِي المَنَامِ كَأَنَّ رَجُلًا يَقُولُ لِي: حَجٌّ مَبْرُورٌ، وَعُمْرَةٌ مُتَقَبَّلَةٌ، فَأَخْبَرْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: «سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»)
Aku bertamattu’ dalam berhaji, maka orang-orang melarangku. Lalu akupun bertanya kepada Ibnu Abbas dan beliau memerintahkanku untuk tetap mengerjakannya. Maka saat aku tidur aku merasa seseorang berkata kepadaku: “Haji yang mabrur dan umrah yang diterima.” Maka aku beritahukan itu kepada Ibnu Abbas dan beliau berkata: “Sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1567) dan Muslim (1243)]
d. Perintah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada para Shahabat ketika mereka telah berthawaf di Ka’bah untuk bertahallul dan menjadikannya sebagai umrah (sebagaimana yang telah disebutkan). Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengganti dari ifrad dan qiran menjadi tamattu’ dan tidaklah beliau menggantinya kecuali kepada yang lebih utama.
e. Hadits Jabir dia berkata:
(حَججنا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ سَاقَ البُدْنَ مَعَهُ، وَقَدْ أَهَلُّوا بِالحَجِّ مُفْرَدًا، فَقَالَ لَهُمْ: «أَحِلُّوا مِنْ إِحْرَامِكُمْ بِطَوَافِ البَيْتِ، وَبَيْنَ الصَّفَا وَالمَرْوَةِ، وَقَصِّرُوا، ثُمَّ أَقِيمُوا حَلاَلًا، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ فَأَهِلُّوا بِالحَجِّ، وَاجْعَلُوا الَّتِي قَدِمْتُمْ بِهَا مُتْعَةً»، فَقَالُوا: كَيْفَ نَجْعَلُهَا مُتْعَةً، وَقَدْ سَمَّيْنَا الحَجَّ؟ فَقَالَ: «افْعَلُوا مَا أَمَرْتُكُمْ، فَلَوْلاَ أَنِّي سُقْتُ الهَدْيَ لَفَعَلْتُ مِثْلَ الَّذِي أَمَرْتُكُمْ)
Kami berhaji bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di hari ketika beliau membawa sembelihan bersama beliau dan orang-orang telah berniat dengan haji saja. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada mereka: “Bertahallullah dari ihram kalian jika sudah berthawaf di Ka’bah dan bersa`i antara Shafa dan Marwa. Dan cukurlah rambut kalian kemudian tinggallah dalam kondisi tahallul sampai jika tiba hari tarwiyah maka berniatlah kalian dengan haji dan jadikanlah yang telah kalian lakukan sebagai manasik umrah.” Orang-orang berkata:” Bagaimana bisa kami jadikan itu sebagai umrah padahal kami telah meniatkannya sebagai haji?” Nabi bersabda: “Lakukanlah yang aku perintahkan, jika saja aku belum menyembelih sembelihan maka aku akan melakukan sebagaimana yang aku perintahkan pada kalian.” [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1568) dan Muslim (1216)]
f. Bahwa Tamattu’ tertulis dalam al-Qur`an:
(فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدِي)
Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. [Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah 196]
Sedangkan jenis manasik yang lainnya tanpa ada penyebutan
g. Dalam tamattu’ itu tergabungkan di dalamnya antara haji dan umrah di bulan-bulan haji dengan kesempurnaan dan kemudahannya.
h. Sesungguhnya sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- didahulukan atas perbuatannya ketika ada pertentangan.
Pendapat Keempat:
Terperinci: ini adalah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah [Ensiklopedia Fatwa (26/85-91)]. Ringkasan dari perkataan beliau adalah:
a. Bahwa jika dia melakukan haji saja dengan sekali perjalanan dan umrah dengan perjalanan lain, maka ini lebih utama dari pada qiran dan tamattu’ yang dilakukan dalam sekali perjalanan, maksudnya adalah ketika dia sudah berumrah sebelum bulan-bulan haji. Syaikhul Islam berkata: ini adalah ifrad yang dilakukan oleh Abu Bakar dan `Umar yang mereka tetapkan bagi orang-orang begitu juga ‘Ali melakukannya.
b. Adapun jika ingin menggabungkan di antara dua ibadah (haji dan umrah) dalam satu perjalanan dan datang ke Makkah di bulan-bulan haji juga belum menyembelih sembelihan, maka tamattu’ lebih utama baginya.
c. Jika ingin menggabungkan antara dua ibadah dalam satu perjalanan dan telah menyemeblih sembelihan, maka qiran lebih utama sebagai bentuk mencontoh Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang melakukan haji qiran ketika sudah menyembelih sembelihan.
Kemudian manakah di antara keduanya yang lebih utama: menyembelih sembelihan lalu melakukan haji qiran atau bertamattu’ tanpa menyembelih sembelihan dan bertahallul? Syaikhul Islam berkata: Dalam hal ini ada ijtihad karena adanya pertentangan antara yang Allah -subhanahu wa ta`ala- pilih untuk Nabi-Nya dan yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pilih untuk Shahabatnya. Syaikhul Islam lebih cenderung pada yang pertama.
Penulis berkata: Perincian ini yang baik. Ibnu Taimiyah telah meletakan seluruh dalil yang ada pada tempatnya. Kemudian beliau menjadikan keutamaannya berdasarkan kesulitan dan kesukaran. Hal ini sebagaimana sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada `A’isyah ketika dia berkata:
(يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَصْدُرُ النَّاسُ بِنُسُكَيْنِ، وَأَصْدُرُ بِنُسُكٍ؟ فَقالَ: «انْتَظِرِي، فَإِذَا طَهُرْتِ، فَاخْرُجِي إِلَى التَّنْعِيمِ، فَأَهِلِّي ثُمَّ ائْتِينَا بِمَكَانِ كَذَا، وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أَوْ نَصَبِكِ»)
“Wahai Rasulullah, orang-orang melakukan dua ibadah sekaligus sedangkan aku hanya melakukan satu ibadah saja?” Maka beliau bersabda kepadanya: “Tunggulah, maka jika kamu telah suci keluarlah menuju Tan’im. Lalu engkau berniat kemudian datangilah kami di tempat ini, namun itu jika kamu mampu dan tidak merasa lelah.” [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1787) dan Muslim (1211)]
Begitupula Syaikhul Islam menjadikan yang lebih utama dari macam-macam manasik tersebut berdasarkan sembelihan dan semuanya ada dalam Sunnah.
Dengan itu Syaikhul Islam tidak terjatuh dalam sesuatu yang banyak para fuqaha terjatuh di dalamnya berupa kebingungan karena membuat kemutlakan dalam keutamaan. Beliau tidak melemahkan pendapat yang mengatakan akan keutamaan tamattu’ dan kewajibannya. Allah Maha Tahu.
Penduduk Makkah hanya berhaji Ifrad [Lihat al-Majmu’ (7/165-166), Fathul Bary (3/508) dan al-Muhalla (7/156)]
Allah -subhanahu wa ta`ala- berfirman:
(فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدِي فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَراَمِ…)
Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan hewan kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar denda) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). [Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah 196]
Allah -subhanahu wa ta`ala- membolehkan tamattu’ bagi yang keluarganya tidak ada di Masjidil haram, maksudnya: orang yang tinggalnya bukan di Makkah atau tanah haram (menurut pendapat yang paling benar), karena tamattu’ disyariatkan bagi yang tidak berkumpul dengan keluarganya, sedangkan penduduk Makkah dapat berkumpul dengan keluarganya, maka mereka tidak boleh melakukannya (tamattu’). Ini adalah madzhab Ibnu Abbas dan Abu Hanifah, pendapat ini didukung oleh hadits Ibnu Abbas yang di dalamnya terdapat:
(… ثُمَّ أَمَرَنَا عَشِيَّةَ التَّرْوِيَةِ أَنْ نُهِلَّ بِالحَجِّ، فَإِذَا فَرَغْنَا مِنَ المَنَاسِكِ، جِئْنَا فَطُفْنَا بِالْبَيْتِ، وَبِالصَّفَا وَالمَرْوَةِ، فَقَدْ تَمَّ حَجُّنَا وَعَلَيْنَا الهَدْيُ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الحَجِّ،
وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ} إِلَى أَمْصَارِكُمْ، الشَّاةُ تَجْزِي، فَجَمَعُوا نُسُكَيْنِ فِي عَامٍ، بَيْنَ الحَجِّ وَالعُمْرَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَنْزَلَهُ فِي كِتَابِهِ، وَسَنَّهُ نَبِيُّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبَاحَهُ لِلنَّاسِ غَيْرَ أَهْلِ مَكَّةَ قَالَ اللَّهُ: {ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي المَسْجِدِ الحَرَامِ}…)
Kemudian di malam tarwiyah kami diperintahkan untuk berniat dengan haji. Maka ketika kami telah selesai dari manasik, kami berthawaf di Ka’bah dan bersa`i antara Shafa dan Marwa dan telah sempurnalah haji kami dan kami harus menyembelih sembelihan sebagaimana firman Allah -subhanahu wa ta`ala-: wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan hewan kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali” ke tempat tinggal kalian. Dan seekor kambing sudah cukup. Maka orang-orang yang menggabungkan antara dua ibadah antara haji dan umrah di tahun yang sama, karena Allah -subhanahu wa ta`ala- telah menurunkan dalam kitab-Nya dan dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Dia bolehkan itu bagi seluruh manusia kecuali penduduk Makkah. Allah -subhanahu wa ta`ala- berfirman: “Demikian itu (kewajiban membayar denda) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah).”.[Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1572)]
Penulis berkata: Madzhab ini mendasari pendapatnya di atas bahwa firman Allah -subhanahu wa ta`ala- tersebut dan perkataan Ibnu Abbas dalam hadits (Allah telah turunkan di kitab-Nya dan dalam sunnah Nabi-Nya) kembali pada tamattu’ dan ini sangat jelas. Dan juga bisa kembali kepada sembelihan, sehingga makna ayat tersebut adalah: Bagi siapa yang bertamattu’ maka dia harus menyembelih sembelihan jika dia bukan penduduk sekitar Masjidil Haram. Jika dia adalah penduduk Makkah, maka dia tidak harus membayar dam. Inilah yang dikatakan oleh Malik, Asy-Syafi`iy, Ahmad dan didukung oleh Ibnu Hazm.
Apakah Boleh Menggabungkan Haji Ke Dalam Umrah
Jika seseorang berihram dengan umrah saja di bulan-bulan haji, kemudian dia ingin menggabungkan haji dalam umrahnya sehingga menjadi qiran, maka hal itu boleh menurut mayoritas (selain Hanafiyyah) dengan syarat dia melakukannya sebelum memulai thawaf. Jika dia telah memulainya walaupun hanya satu langkah, maka tidak boleh menggabungkan haji dalam umrah. (Al-Majmu’ (7/170) dan asy-Syarh al-Mumti’ (7/94)
Dalilnya adalah bahwa sesungguhnya Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika `A’isyah mendapatkan haid di Sarif sedangkan dia dalam kondisi ihram untuk umrah, beliau memerintahkannya untuk berniat dengan haji dan bersabda:
(طوافك بالبيت وبالصفا والمروة, يسعك لعمرتك وحجك)
Thawafmu di Ka’bah dan sa`imu di Shafa dan Marwa sudah cukup untuk umrah dan hajimu. [Shahih: Hadits riwayat: Muslim (1211)]
Hadits tersebut adalah petunjuk bahwa perintah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada `A’isyah untuk berniat dengan haji tidaklah membatalkan umrahnya.
Akan tetapi ada yang berkata: Dalil tersebut terjadi pada kondisi yang mirip dengan kondisi darurat, karena `A’isyah tidak mungkin menyempurnakan umrahnya ketika sedang haid. Maka dalil tersebut menjadi lebih khusus daripada yang ditunjukan. Ini menunjukan ada sesuatu di dalamnya dan hal ini juga didukung dengan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan bagi yang telah berihram untuk haji dan belum menyembelih sembelihan untuk menjadikannya sebagai umrah. Maka bagaimana kita menjadikan umrah sebagai haji yang berarti menyelisishi yang diperintahkan beliau?!
Apakah Boleh Menggabungkan Umrah Ke Dalam Haji?[1]
Adapun jika dia sudah berihram untuk haji lalu dia memasukan umrah di dalamnya, maka Malik, Asy-Syafi`iy dalam pendapatnya yang baru dan Ahmad berpendapat bahwa itu sah dan tidak menjadi qiran. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Sedangkan Abu Hanifah menyelisihinya dan membeolehkannya berdasarkan asalnya: bahwa amalan orang yang berhaji qiran adalah tambahan atas amalan haji ifrad, maka jika dia telah berihram untuk haji dan memasukan umrah di dalamnya maka menjadi qiran dan dia harus berthawaf dan bersa`i dua kali.
Penulis berkata: Aku lebih cenderung pada pendapat Abu Hanifah (bukan karena berdasarkan asalnya), namun berdasarkan hadits `A’isyah:
أَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالحَجِّ
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berniat dengan haji.[2]
Hadits Ibnu `Umar secara mauquf:
أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي، فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الوَادِي المُبَارَكِ، وَقُلْ: عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ
Seorang utusan dari Rabbku mendatangiku dan berkata: Shalatlah kamu di lembah yang diberkahi ini dan katakanlah: umrah di dalam haji.[3]
Ini juga yang dipilih oleh al-‘Allamah ibnu ‘Utsaimin –semoga Allah membaguskan jiwanya-
Apakah Boleh Memutlakan Niat Ihram?
Bagi siapa yang berihram secara mutlak tanpa menentukan di antara tiga jenis manasik ini karena dia tidak mengetahuinya, atau berihram karena mengikuti orang yang dia kenal, maka hal ini diperbolehkan dan ihramnya sah menurut mayoritas ulama (selain Malikiyyah) berdasarkan hadits Abu Musa:
(أن عليا قدم عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ: كيف قلت حين أحرمت؟ قال علي: قُلْتُ: لَبَّيْكَ بِإِهْلاَلٍ كَإِهْلاَلِ النَّبِيِّ
Sesungguhnya Ali mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka Nabi berkata: “Apa yang engkau ucapkan saat berihram?” Ali berkata: “Aku ucapkan: Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu dengan tahalul sebagaimana tahalulnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.[4]
Tidak Boleh Melewati Miqat Tanpa Berihram
Bagi siapa yang melewati miqat (dan dia bermaksud untuk haji atau umrah), maka ijma’ mengatakan bahwa dia tak boleh melewati miqat tanpa berihram.
Jika dia telah melewatinya kemudian berihram setelahnya maka dia telah berdosa karenanya. Dosanya tidak akan hilang kecuali dengan kembali ke miqat tersebut lalu berihram dari situ kemudian menyempurnakan seluruh manasik dan dia tidak harus membayar dam jika dia telah kembali ke miqat sebelum memulai manasik baik yang rukun seperti wuquf dan sa`i, atau yang sunnah seperti thawaf qudum. Ini adalah madzhab Asy-Syafi`iy, ats-Tsaury, Abu Yusuf, Muhammad dan Abu Tsaur. (Lihat al-Majmu’ (7/212-215)
Adapun Malik, Ibnul Mubarak dan Ahmad berpendapat: Dam tidak gugur darinya dengan kembali ke miqat. Abu Hanifah berpendapat: Jika dia kembali dalam kondisi bertalbiyah maka gugurlah dam atasnya dan jika tidak maka tidak gugur. Ibnul Mundzir mengisahkan hal ini dari al-Hasan dan an-Nakha’iy bahwa tidak ada dam bagi yang melewati miqat secara mutlak. Allah Maha Tahu.
Maka jika dia tidak kembali, manasiknya tetap sah dan dia harus membayar dam menurut mayoritas ulama.
Berihram Sebelum Miqat
Para ulama yang dianggap dari kalangan terdahulu maupun khalaf dari para Shahabat dan yang setelah mereka telah sepakat, bahwa diperbolehkan berihram dari miqat dan juga dari tempat di atasnya (yaitu sebelumnya). Dawud berkata: “Tidak diperbolehkan berihram sebelum miqat dan ihramnya tidak sah.” Pendapat ini tertolak dengan ijma’ dari orang-orang sebelumnya, namun dimakruhkan untuk berihram sebelum miqat menurut pendapat yang paling benar. Allah Maha Tahu. (Al-Majmu’ (7/205) dengan perubahan)
Melewati dua Miqat
Jika penduduk Syam atau Mesir melewati miqat penduduk Madinah sebelum sampai ke Juhfah (miqat yang sebenarnya), maka dia tidak boleh mengakhirkan ihramnya dan dia harus berihram dari Dzul Hulaifah menurut pendapat mayoritas berdasarkan makna umum sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهنَّ
Bagi siapa yang datang ke tempat-tempat tersebut yang bukan penduduknya. [Shahih: takhrijnya telah disebutkan di pembahasan miqat]
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa itu tidaklah wajib atasnya dan dia boleh mengakhirkan ihram sampai ke miqatnya karena itulah asalnya. Syikhul Islam memilih pendapat ini, sedangkan pendapat pertama lebih untuk berhati-hati. Allah Maha Tahu.
Pensyaratan Bagi Yang Ihram Untuk Bertahallul Jika Ada Halangan
Diperbolehkan bagi orang yang ihram untuk memberikan syarat (saat berihram) untuk bertahallul ketika dia terhalangi dari menyempurnakan manasik baik berupa sakit atau yang semisalnya dengan berkata: “Allahumma mahally haitsu habasatny” ( Ya Allah, aku hanya akan berhaji sampai di tempat aku terhalangi).
Ini berdasarkan hadits `A’isyah dia berkata:
(دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ لَهَا: « أَرَدْتِ الحَجَّ؟» قَالَتْ: وَاللَّهِ لاَ أَجِدُنِي إِلَّا وَجِعَةً، فَقَالَ لَهَا: ” حُجِّي وَاشْتَرِطِي، وَقُولِي: اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي “)
Rasulullah mendatangi Dhuba’ah bintu az-Zubair dan berkata padanya: “Apakah kamu ingin berhaji?” Dhuba’ah berkata:”Aku sedang sakit.” Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata padanya: “Berhajilah dan berikanlah syarat dan berkatalah: Ya Allah, aku hanya akan berhaji sampai di tempat aku terhalangi.” [Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (5089) dan Muslim (1207)]
Maka jika dia telah memberikan syarat, dia boleh bertahallul dari ihramnya jika terhalangi tanpa harus membayar dam.
Adapun jika dia belum memberikan syarat, maka jika ada yang menghalanginya, dia harus membayar dam berdasarkan firman Allah -subhanahu wa ta`ala-:
(فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ)
Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. [Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah 196]
Demikian ulasan tiga macam jenis haji atau ihram yang dapat kami tulis. Semoga pembahasan ini bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.
Catatan kaki:
[1] Al-Majmu’ (7/170), al-Mughny (3/512), al-mabsuth (4/180) dan Ensiklopedia Fatwa (26/88)
[2]Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1562) dan Muslim (1211)
[3]Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1534), Abu Dawud (1783) dan Ibnu majah (2976)
[4]Shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1734) dan Muslim (1221)