Tragisnya Akhir Hidup Para Pengkhianat

Tragisnya Akhir Hidup Para Pengkhianat

Fatwapedia.com – Kerajaan Mysore tidak hanya menjadi menjadi benteng terakhir kekuasaan Islam di India, namun juga menjadi perlawanan terakhir membendung imperialisme Inggris di seluruh anak benua India. Setelah kejatuhannya, panglima perang Inggris berteriak, “Setelah hari ini, kita akan menguasai seluruh India.”

Dengan kejatuhan Kejatuhan Ibukota Srirangapatam, maka berakhir pula perlawanan kerajaan-kerajaan India lainnya. Satu-satunya, kekuasaan independen di India, kerajaan Hindu, Maratha rontok tanpa perlawanan bersenjata beberapa bulan kemudian di tangan kolonial Inggris tanpa perlawanan senjata.

Di bawah patrotisme Tippu Sultan, Kerajaan Islam Mysore mampu menahan invasi  Inggris  selama lebih dari 40 tahun. Perlawanan Tippu Sultan  menimbulkan kerugian besar kepada Inggris dan nyaris membuat bangkrut kongsi dagang Inggris di India.

Inggris membutuhkan tiga kali perang besar yang menghabiskan sumber daya material dan manusia untuk menundukkan Myore di bawah Haydar Ahmad dan anaknya, Tippu Sultan. Perang Mysore pertama (1767-1768), Perang Mysore Kedua (1778-1782) dan  Perang Mysore Ketiga (1789-1792). 

Dalam Pertempuran Pollipur pada September 1789, Tippu Sultan menghancurkan pasukan Inggris. Kolonel Bailey beserta 3,820 tentaranya ditangkap dan panglima perangnya, Jenderal Munroe harus meninggalkan bentengnya dengan meninggalkan senjata dan ribuan amunisinya. Kekalahan ini menghancurkan reputasi Inggris sebagai kekuatan militer yang tidak terkalahkan.

Namun menjadi takdir sejarah pula jika kekalahan suatu bangsa terjadi karena pengkhianatan dari anak bangsanya. Kemenangan Inggris dalam operasi militer ketiga disebabkan sebagiannya karena adanya pengkhianatan dari dalam. Inggris berhasil membeli tiga tokoh kunci Mysore, yakni, Mir Ali Saadiqi, menteri keuangan, dan dua komandan perangnya, Qamaruddin dan Sayyid melalui iming-iming status jagir (tuan tanah). Ketiganya menahan infomasi kritis tentang pasukan dan keadaan musuh.

Para pengkhianat itu memainkan peran menentukan di balik kejatuhan Mysore. Menjelang Hari-H, Mir Saadiq mengumumkan pembayaran gaji tentara dan memerintahkan penarikan prajurit di sektor barat. Pada malam harinya,  Saadiq menemui perwira pengintai Inggris untuk merancang penyerangan di siang harinya. Sebagai komandan perang, Qamaruddin menahan pergerakan pasukannya dan membiarkan musuh masuk ke ibukota.  Sedangkan Divisi Ketiga yang dipimpin Sayyid secara terang-terangan bergabung dengan Inggris.

Sebagai pengkhianat, mereka  mengalami takdir sejarah yang berbeda satu sama lain. Ketika kedok Mir Saadiq terbongkar,  dia dikejar tentara Tippu dan dieksekusi mati. Sayyid sendiri tewas di tengah kekacauan. Dia ditembak tentara Inggris karena dikira musuh. Hanya Qamaruddin yang  mujur. Dia kembali ke ibukota setelah kejatuhannya dan mendapat hadiah dari Inggris karena pengkhianatannya.

Hanya saja, baik Mir Saadiq, Qamaruddin maupun Sayyid menghadapi nasib yang sama dalam sejarah. Ketiganya dikutuk umat Islam karena pengkhianatannya. Selama bergenerasi, Muslim Mysore mendoakan kutukan di atas kuburan mereka. Saya kira peristiwa ini menjadi peringatan bagi siapapun yang berkhianat di sepanjang masa.

Sebaliknya, meskipun Tippu Sultan syahid dalam mengusir Inggris dari India. namun beliau dikenang sebagai pahlawan terakhir yang menjaga benteng kekuasaan Muslim di India.  Inggris sendiri menghormati dan memerintahkan penguburannya secara militer. Para sejarawan Inggris menyebutnya, “Tippu Sahab” (Harimau dari Mysore).

Leave a Comment