Fatwapedia.com – Bagi pengkaji fiqih hadits maka akan terbiasa mendengar istilah hadits SHAHIH SHARIH dan hadits shahih GHOIRU SHARIH. Hadits Shahih Sharih mengindikasikan bahwa dari sisi validitasnya hadits tersebut shahih dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang berarti bernilai hujjah, namun dari sisi dilalah (petunjuk) hukumnya maka bernilai sharih (jelas) menunjukkan hukum yang dibahas, adapun yang satunya lagi adalah kaitannya dengan dilalahnya terhadap hukum yang dibahas tersebut tidak begitu jelas.
Dua ulama besar Islam yang menguasai multidisiplin ilmu agama yaitu Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqolani dan Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahumâllah telah dengan tegas memastikan bahwa untuk KATEGORI HADITS SHAHIH SHARIH terkait keutamaan khusus berpuasa pada bulan Rajab maka tidak ada satupun yang dikategorikan seperti, setelah mereka berdua melalui penelitian yang panjang terhadap hadits-hadits nabawi.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah berkata :
“Tidak ada hadits tentang keutamaan khusus bulan Rajab, tidak pada puasanya, tidak juga berpuasa pada hari tertentu pada bulan ini, dan tidak pula sholat pada malam-malam khusus tertentu, hadits shahih yang layak dijadikan hujjah. Telah mendahuluiku yang memastikan hal ini yaitu al-Imam Abu Ismail al-Harawiy al-Hafidz, kami meriwayatkan pernyataan dari beliau dengan sanad yang shahih juga kami meriwayatkannya dari selain beliau. Namun telah masyhur bahwa para ulama memberikan toleransi untuk mendatangkan hadits-hadits tentang keutamaan amal, sekalipun ada kedhoifan didalamnya, selama itu bukan hadits yang dipalsukan. Namun hendaknya bersamaan pengamalannya dipersyaratkan bahwa orang yang mengamalkannya tetap berkeyakinan bahwa haditsnya adalah dhoif, dan jangan dimasyhurkan pengamalannya, sehingga seseorang tidak beramal dengan hadits dhoif, yang menyebabkan mensyariatkan apa yang seharusnya bukan syariat atau nantinya orang-orang yang bodoh menyangka bahwa itu adalah sunnah yang shahihah”. (Tabyiin al-‘Ajab bimaa warada fii Fadhli Rajab, hal. 23)
Senada dengan Al Hafidz Ibnu Hajar, al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah juga memberikan pernyataan:
“Semua hadits tentang penyebutan puasa rajab, dan sholat pada sebagian malamnya, adalah hadits palsu dan dibuat-buat”. (Al-Manaar al-Muniif fii ash-Shahiih wa adh-Dhoiif, hal. 96).
Namun untuk kategori HADITS SHAHIH GHOIR SHARIH, maka Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya diatas, setidaknya menemukan tiga buah hadits, dimana dua buah hadits yang dibawakan sanadnya dhoif dan beliau pun mengisyaratkan akan kedhoifannya.
Adapun satu buah hadits yang layak dijadikan hujjah adalah hadits Usaamah bin Zaid radhiyallahu anhu yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ. قَالَ : ” ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ “.
“Wahai Rasulullah aku tidak pernah melihat engkau berpuasa satu bulan dibandingkan bulan-bulan lainnya, seperti tatkala engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?,
Beliau menjawab: “itu adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia, (yang terjepit) antara Rajab dan Ramadhan, bulan ini diangkat amal-amal kepada Rabb semesta alam, sehingga aku suka untuk diangkat amalku dan keadaan aku sedang berpuasa.” (HR. Ahmad, Nasa`i dan selainnya, dihasankan oleh al-Albani dan Syu’aib Arnauth).
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya diatas berkata (hal. 26-27):
“Dalam hadits ini ada isyarat bahwa puasa bulan Rajab diserupakan dengan puasa Ramadhan dan mereka pada bulan ini menyibukkan diri dengan ibadah dengan apa yang mereka menyibukkan diri pada bulan Ramadhan. Kemudian orang-orang melalaikan untuk melakukan yang serupa dengannya pada bulan Sya’ban, oleh sebab itu Beliau shallallahu alaihi wa sallam berpuasa padanya. Pengkhususan bulan Sya’ban dengan puasa hal ini mengisyaratkan keutamaan (puasa) Rajab dan hal ini sudah diketahui oleh para sahabat ketika itu.”
Terkait dengan HADITS YANG SHARIH terkait keutamaan puasa bulan Rajab, maka Al Hafizh berkata (hal. 33) :
“Adapun hadits-hadits yang datang terkait keutamaan Rajab atau keutamaan puasanya atau keutamaan puasa sesuatu darinya, maka yang SHARIH ada dua jenis yaitu : dhoif dan PALSU….”.
Adapun dari segi fiqih, maka tidak ada masalah untuk berpuasa pada bulan Rajab, adapun yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Majah dalam “Sunannya” (no. 1743) dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhumâ :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ رَجَبٍ
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang puasa Rajab.”
Namun hadits ini lemah, bahkan al-Imam al-Albani menilainya “Dhoifun Jiddan” (sangat lemah), al-‘Allâmah as-Sindiy dalam hasyiyyahnya terhadap Sunan Ibnu Majah berkata :
في إسناده داود بن عطاء وهو ضعيف متفق على تضعيفه
“Dalam sanadnya ada perawi yang Dawud bin ‘Athâ`, ia perawi dhoif dab disepakati akan kelemahannya.” -selesai-.
Selain sanadnya yang dhoif, dari segi matan juga munkar, karena bertentangan dalam hadits Shahih Muslim yang beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ustman bin al-Hakîm al-Anshariy :
سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ، وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ، فَقَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ.
“aku pernah bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajabdan kami pada waktu itu pada bulan Rajab?, maka beliau menjawab, “aku mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terbiasa berpuasa, sehingga kami mengatakan Beliau tidak pernah berbuka dan Beliau berbuka, sehingga kami mengatakan Beliau tidak berpuasa.”
Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya “Raudhoh ath-Thâlibîn” (II/388) mengatakan :
وَمِنَ الْمَسْنُونِ، …ٍ. وَأَفْضَلُ الْأَشْهُرِ لِلصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ، الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ، ذُو الْقِعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبٌ.
“Diantara puasa sunnah….bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah bulan Ramadhan adalah bulan-bulan haram, yaitu : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan RAJAB…”. -selesai-.
Selain Syafi’iyyah, Malikiyyah juga mendukung penganjuran berpuasa pada bulan Rajab, sebagaimana disampaikan oleh Prof. DR. Wahbah az-Zuhailiy dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islâmiy” (III/1643) :
واستحباب صوم هذه الأشهر هو عند المالكية والشافعية
“Dianjurkan berpuasa pada bulan-bulan haram ini, menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah.” -selesai-.
Dari kalangan Muhaqiqin, al-Imam Syaukâniy ketika menyebutkan fiqih hadits Usamah radhiyallahu anhu diatas berkata :
أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ صَوْمُ رَجَبٍ
“Bahwa hal tersebut menunjukkan dianjurkannya puasa Rajab.” (Nail al-Authâr, IV/292).
Asy-Syaikh Syu’aib Arnauth rahimahullah dalam “Tahqiqnya terhadap Sunan Ibnu Majah” menampilkan sebuah atsar dari Abu Qilâbah rahimahullah sebagai bahan pertimbangan terkait dengan keutamaan puasa Rajab, Abu Qilâbah berkata :
فِي الْجَنَّةِ قَصْرٌ لِصُوَّامِ رَجَبٍ
“Di surga ada istana bagi orang yang terbiasa puasa Rajab.”
Setelah meriwayatkan atsar ini, al-Imam Baihaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (no. 3521), beliau memberikan komentar :
وَإِنْ كَانَ مَوْقُوفًا عَلَى أَبِي قِلَابَةَ وَهُوَ مِنَ التَّابِعِينَ، فَمِثْلُهُ لَا يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا عَنْ بَلَاغٍ عَمَّنْ فَوْقَهُ مِمَّنْ يَأْتِيهِ الْوَحْيُ
“Sekalipun ini mauquf (maksudnya maqtu’) terhadap Abu Qilâbah, sedangkan beliau termasuk dari kalangan Tabi’in -Tabi’i senior, pent.-, maka yang semisal ini tidaklah beliau mengatakannya kecuali berdasarkan penyampaian dari generasi diatasnya, dari orang-orang yang datang wahyu kepadanya.” -selesai-.
Abu Sa’id Neno Triyono