Menurut Dr. Syed Farid al-Attas, absennya teori-teori beliau dalam teks-teks utama ilmu sosial disebabkan adanya hegemoni Barat dalam diskursus keilmuan yang tidak memberikan porsi yang sesuai bagi ilmuwan-ilmuwan Timur sebagai sumber konsep. Hal ini bukan berarti Ibn Khaldun tidak disinggung sama sekali dalam suatu kajian keilmuan, namun teori serta metodologi kajiannya jarang digunakan untuk menganalisis fenomena politik, sosial, maupun ekonomi.
Diantara teori Ibn Khaldun adalah berkenaan dengan kebangkitan dan keruntuhan suatu peradaban. Interaksi antara orang badui (umran badawi) yang memiliki perasaan kelompok (social cohesion/ashabiyya) yang tinggi dengan orang mukim (umran hadhari). Berdasarkan teori ini, kebangkitan suatu dinasti didasarkan pada perasaan kelompok yang kuat, dimana hal tersebut jamak berlaku dalam kelompok orang badui, sehingga mampu menggulingkan otoritas dinasti menetap yang memiliki perasaan kelompok yang cenderung melemah dalam siklus perputaran peradaban. Teori ini barangkali dapat diterapkan pada masyarakat orang laut yang memiliki tingkat kohesivitas sosial yang tinggi dengan masyarakat orang darat dengan perasaan kelompok yang relatif rendah di bumi Nusantara.
Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa suatu peradaban menetap (hadhari) yang semakin berkembang cenderung berorientasi pada hal-hal yang bersifat refinement (memperindah) yang dimulai dari pemegang otoritas kekuasaan. Kecenderungan ini melahirkan watak individualis sehingga melemahkan perasaan kelompok itu sendiri, yang pada akhirnya dapat digulingkan oleh pihak yang memiliki perasaan kelompok yang tinggi.
Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis realitas ekonomi suatu negara berkembang, dimana ketika orientasi penguasa lebih berfokus kepada hal-hal yang bersifat memperindah seperti perkembangan teknologi, infrastruktur, dan persaingan industri modern kalangan sendiri sehingga mengabaikan aspek yang substansial yang menjadi watak asli suatu negara itu, seperti aspek agrikultural, ekologikal, dan kultural suatu bangsa.
Tokoh yang menurut sebagian orang disebut sebagai bapak Sosiologi dan kritikus Historiografi yang paling awal ini juga mempunyai metode genuine dalam menganalisis berita-berita sejarah dan data-data historiografi. Menurutnya, suatu berita harus diverifikasi terlebih dahulu berdasarkan kemungkinan dan kemustahilannya dengan metode rasional demonstratif (burhani). Beliau memberikan kritik terkait sumber pengambilan informasi sejarah dengan memperlihatkan tujuh kesalahan terkait hal tersebut:
(1) Adanya keberpihakan perawi terhadap pendapat dan aliran tertentu;
(2) Hanya berdasarkan keterpercayaan penyebar informasi (perawi);
(3) Kurangnya kesadaran tentang suatu kejadian;
(4) Anggapan yang tidak berdasar terhadap kebenaran suatu peristiwa;
(5) Pengabaian konteks kejadian yang sebenarnya;
(6) Kecenderungan untuk pamrih; serta
(7) Pengabaian atas kondisi masyarakat.
Adapun mengenai ilmu masyarakat (al-ijtima’ al-insani) Ibn Khaldun mengajukan tiga premis berkenaan watak masyarakat secara umum. Pertama masyarakat manusia itu niscaya. Kedua, masyarakat terpengaruh secara fisik, psikis, dan sosial oleh lingkungan fisik. Ketiga, manusia terhubung dengan dunia spiritual yang berada diluar persepsi sensasional indera.
Manusia berdasarkan kodratnya adalah untuk hidup bermasyarakat secara sosial. Manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup di atas muka bumi yang dapat membentuk organisasi sosial (umran basyari) yang sangat besar. Yakni, dengan kata lain bahwa manusia bersifat politis dan tidak dapat dipisahkan dari organisasi sosial yang disebut dengan komunitas.
Selanjutnya kondisi fisik geografis sangat mempengaruhi ciri fisik, watak, dan model interaksi sosial masyarakat tersebut. Keterhubungan manusia dengan alam menciptakan makna-makna khas pada suatu komunitas terhadap pandangan mereka mengenai realitas.
Sedangkan aspek spiritual yang senantiasa terhubung pada setiap individu dalam suatu komunitas merupakan kesejatian fitrah manusia itu sendiri berkenaan dengan kebutuhan spiritual baik dalam bentuk keyakinan keagamaan atau bentuk penghayatan kepercayaan. Dimana keyakinan dan kepercayaan menurut Malek ben Nabi merupakan katalisator dalam interaksi antara unsur peradaban, yakni manusia, tanah (alam), dan waktu.
Pengkajian ilmu sosial dengan menggunakan teori-teori ilmuwan Muslim seperti Ibn Khaldun merupakan pendekatan yang patut didukung, dimana eksplorasi maupun implementasi konsep-konsep ilmuwan Timur belum banyak dilakukan. Penelitian secara serius atas tokoh-tokoh seperti ini menjadi sangat relevan dalam memberikan varian pendekatan baru dalam mengimbangi wacana keilmuan Eurosentrisme. Wallahu a’lam.
Oleh: Shadiq Sandimula