Politik Dalam Pandangan Para Pemikir Barat dan Eksistensinya

Politik Dalam Pandangan Para Pemikir Barat

Fikroh.com – Pandangan politik Barat sejatinya mewarisi pemikiran filsafat Yunani dan Romawi (Hellenisme). Pokok-pokok filsafat Yunani dan Romawi Kuno itu tecerminkan dalam pandangan hidup mereka yang sangat mengagungkan cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta sangat mengultuskan individu. Pandangan hidup (way of life) ini juga sangat terefleksikan dalam tradisi keagamaan Yunani-Romawi Kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawi (mundane), praktis dan harus mengabdi kepada kepentingan manusia. Oleh karena itu, tradisi keilmuan mereka bersifat eksperimental dan spekulatif karena menjadikan empirisme dan rasionalisme menjadi satu-satunya alat ukur kebenaran. 

Pun dalam bidang filsafat politik, pemikiran politik Barat sangat dipengaruhi oleh para filsuf Yunani dan Romawi Kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Jejak pemikiran Plato dan muridnya, Aristoteles hingga kini dapat dilacak dari karya Machiavelli dalam “Il Prince”, Montesquieu dalam “Li Esprit des Lois”, Thomas Hobbes dalam “Leviathan”, Friedrich Hegel dalam “Enzyklopedia der philosophischen Wissenschaften”, Karl Marx dalam “Communist Manifesto”. 

Seluruh karya pemikiran filsafat Barat itu tidak ubahnya rangkaian catatan kaki dari kedua pemikir besar tersebut. Karya Aristoteles dalam Politis memberikan inspirasi kepada para pemikir politik Barat dalam konteks perumusan konsep bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum yang mengawasi pemerintahan, revolusi sosial, dan lainnya. Pandangan hidup masyarakat Barat ini tidak lebih dari kepanjangan pandangan hidup masyarakat Yunani dan Romawi Kuno. 

Dalam ranah politik misalnya, pokok-pokok pemikiran Barat terformulasikan ke dalam prinsip-prinsip pemisahan politik dengan etika, agama dengan hukum, pembedaan kedudukan antara masyarakat dengan negara, kedaulatan politik dan personalitas negara dalam pembuatan hukum. 

Konsep ini dikenal dengan teori imperium yang mencakup kekuasaan dan otoritas negara, kesamaan hak politik dan kontrak pemerintahan. Dalam konteks otoritas negara, misalnya kedaulatan dan kekuasaan dipahami sebagai bentuk pendelegasian otoritas rakyat kepada negara. Oleh karena itu, kedaulatan dalam sistem Barat sepenuhnya menjadi milik rakyat. Penguasa hanyalah institusi politik yang diberi mandat melaksanakan kedaulatan rakyat dan bekerja bagi kepentingan rakyat. Penguasa harus bertanggung jawab kepada rakyat dan secara otomatis penguasa akan kehilangan legitimasi jika praktik kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Kontrak relasi antara pemerintah dan rakyat dalam sistem politik Barat kontemporer mencakup pokok-pokok pemikiran seperti: pemisahan entitas individu dengan negara, negara dibutuhkan untuk kepentingan eksistensi sosial serta individu menjadi sumber pemikiran hukum. Dalam kerangka pemikiran ini pula, lahirlah konsep kontrak pemerintah yang kemudian dijadikan model teoretis bagi para pemikir politik Barat, seperti John Locke, Jacgues Rousseau, Montesguieu, Thomas Hobbes, dan lainnya. 

Perkembangan Pemikiran Barat 

Berikut ini beberapa pandangan politik para pemikir Bara terkemuka: 

1. Plato

Plato adalah murid Socrates. Menurutnya, negara ideal adalah negara yang mementingkan kebajikan yang bersumber dari pengetahuan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dibutuhkan negara untuk menguasai pengetahuan. Seorang negarawan dianologikan seperti seorang dokter yang mengetahui gejala penyakit masyarakat, mendeteksi sejak dini, mampu melakukan diagnosis, dan mencari solusi penyembuhannya. Negara muncul sebagai hubungan timbal balik dan adanya rasa saling membutuhkan antara sesama manusia. Pembagian kerja sosial muncul sebagai akibat perbedaan-perbedaan alamiah. Negara ideal didasarkan kepada prinsip larangan atas kepemilikan pribadi baik berupa uang, harta, keluarga, anak, dan istri karena pemilikan tersebut berpotensi menciptakan kesenjangan, kompetisi tidak sehat dan disintegrasi sosial, Robert A. Nisbet menyebutnya nihilisme sosial. Bentuk negara dengan sistem otoriter lebih baik dari demokrasi. 

2. Aristoteles

Aristoteles adalah murid Plato yang dikenal sebagai pemikir empiris-realis. Dalam pandanganya, eksistensi negara tidak dapat dipisahkan dari watak politik manusia sebagai makhluk yang berpolitik (zoon politicon). Negara dibutuhkan sebagai sarana aktualisasi watak manusia dan kemunculan terjadi karena adanya saling ketergantungan dalam diri manusia. Dalam negara organis, semua warga negara berkewajiban memelihara persatuan dan keutuhan negara, sebagai gantinya, negara berkewajiban menyejahterakan rakyatnya. Idealnya, negara diperintah seorang penguasa yang filsuf dan menggunakan kekuasaannya untuk menyejahterakan rakyat. Namun jika tidak ada, maka negara dapat dipimpin oleh beberapa orang yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat atau disebut otokrasi. Apabila tidak dapat maka negara boleh berbentuk demokrasi dengan negara kota (polis). Berbeda dengan gurunya, Aristoteles mengakui hak milik individu karena hak itu dibutuhkan warga negara dalam mempertahankan kehidupan sosial dan memikirkan persoalan negara. 

3. Machiavelli

Machiavelli adalah pemikir Barat di masa renaisans. Dia menjadi pemikir politik pertama kali yang menjelaskan fenomena sosial-politik tanpa merujuk pada sumbersumber etis ataupun hukum. Menurutnya, politik adalah upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Adapun agama dan moralitas sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik. Eksistensi agama dan moral hanya dibutuhkan untuk membantu mendapatkan dan mempertahankan politik sedangkan keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan aan melestarikan kekuasaan adalah melalui perhitungan cermat. Seorang politikus harus mengetahui dengan cermat apa yang harus diucapkan dan yang dilakukan dalam pelbagai situasi yang berbeda. Untuk itu, segala cara dapat dilakukan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir. Meskipun demikian, dia mengakui bahwa hukum dan tentara yang baik merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang baik. Kekuasaan dapat berjalan dengan adanya kekuatan memaksa. Otoritas itu menjadi sumber kekuasaan. Untuk kepentingan itu, pemimpin dapat menciptakan dan memanfaatkan ketakutan sebagai sarana mengontrol kekuasaan. Negara yang kuat harus dilihat dalam kerangka medis bukan etis. “Seditious people should be amputated before they infect the whole state” (rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum mereka menginfeksi seluruh rakyat).

4. Montesquieu

Salah satu pemikiran politiknya yang paling pe ting adalah “Triaspolitika”, yakni pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemikiran ini lahir dari upaya desakralisasi kekuasaan ketuhanan yang absolut (the divine right of king) yang didapatkan raja dan bangsawan pada saat itu. Kekuasaan menurutnya harus bersumber dari rakyat bukan dari Tuhan dan kebebasan politik tidak bisa diperoleh dari kekuasaan yang sewenang-wenang.

Untuk menjamin adanya kebebasan, maka diperlukan adanya pembatasan dan pemisahan kekuasaan di antara tiga elemen penting kekuasaan. Ketiga elemen itu bekerja untuk saling mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Republik adalah bentuk negara terbaik karena negara diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat memegang kedaulatan dan memberikan mandat kepada orang-orang yang dapat dipercaya mengatur pemerintahan. Di dalam model ini, rakyat harus mementingkan kebajikan yang bersandar kepada moralitas politik dan bukan agama. Agama hanya dibutuhkan dalam rangka memperkuat eksistensi negara. Sedangkan moralitas politik diwujudkan dalam bentuk komitmen untuk menghormati hukum dan bekerja untuk menyejahterakan rakyat. Posisi hukum berada di atas segalanya dan pelanggaran atas hukum akan mengakibatkan anarki. Adapun kehancuran negara Republik terjadi karena adanya semangat kebersamaan yang ekstrem, yakni adanya tuntutan kesederajatan antara pemimpin dan rakyatnya. 

Oleh: Ahmad Dzakirin

Leave a Comment