“….Aku teringat suatu hari seperti hari ini saat berada di Kairo dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan berita menyakitkan bahwa Da’i besar islam Ustad Musthafa As-Siba’i telah wafat berpulang keharibaan Tuhan-Nya setelah ia menghabiskan hidupnya sebagai mujahid di jalan-Nya, sungguh pada hari itu aku menderita kegamangan yang hebat, lalu diikuti oleh kegoncangan dalam jiwaku…” (Al-Buthi, ‘Syakhshiyah Istauqafatni’)
Tahun 1915, dari sebuah keluarga ulama yang turun menurun selama beberapa generasi menjadi khatib di mesjid jami’ besar kota Homs, ‘Alim Al-Mujahid Syeikh Dr. Musthafa As-Siba’i dilahirkan. Dr. As-Siba’i sangat terpengaruh dengan ayahnya, Al-Mujahid Syeikh Husni As-Siba’i khatib masyhur mesjid Homs yang berjihad dengan harta, lisan dan jiwanya melawan kolonialisme Prancis di Suriah.
Tahun 30-an, saat belajar di Al-Azhar Mesir, kebijaksanaan takdir ilahi mempertemukan As-Siba’i dengan pribadi yang selama ini ia cari-cari di Suriah, Imam Hasan Al-Banna rahimahullah. Pertemuan dengan sosok yang begitu dikaguminya ini menjadi awal perpindahan dakwah dan pemikiran Ikhwan dari Mesir ke Suriah dimana Dr. As-Siba’i kemudian hari menjadi Muraqib ‘Am pertama IM Suriah setelah menyelasaikan doktoralnya di Al-Azhar.
Tahun 1945, Dr. As-Siba’i mengangkat senjata melawan kolonialisme Prancis di kota Homs hingga kemudian Prancis keluar dari Suriah tahun 1946. Dan ketika arogansi kaum yahudi yang ingin merampok tanah Palestina semakin menjadi-jadi, Dr. As-Siba’i melakukan perjalanan dakwah ke kota-kota Suriah mengabarkan ke umat islam bahwa upaya kaum Yahudi yang ingin mencaplok Baitul Maqdis dan Palestina secara umum bukanlah hoax, beliau meyakinkan mereka yang ragu-ragu dan mengumpulkan para donatur untuk membeli persenjataan melawan pendudukan Yahudi. Puncaknya, tahun 1948 Hasan Al-Banna mengumumkan jihad melawan Yahudi, berangkatlah sukarelawan mujahidin Ikhwan dari negara-negara Arab ke Palestina dan As-Siba’ipun memimpin batalion Ikhwan Suriah seperti yang ia ceritakan dalam ‘Jihaduna Fi Filasthin’.
Tahun 1955, Dr. As-Siba’i mendirikan fakultas syari’ah di Universitas Damaskus dan beliau menjadi dekannya yang pertama setelah melalui pergumulan dengan tokoh-tokoh sekuler yang berupaya menggagalkan rencana tersebut. Dr. As-Siba’ipun mulai merekrut para pengajar dan mengingatkan mereka bahwa proyek dakwah islam butuh kepada orang-orang yang berpikir apa yang bisa ia berikan untuk dakwah, bukan mereka yang berpikir apa yang bisa ia dapatkan darinya. Diantara mereka yang direkrut Dr-As-Siba’i untuk mengajar di fakultas syari’ah adalah Syeikh Al-Buthi rahimahullah.
Syeikh Al-Buthi berkata: “Aku tidak pernah melihatnya (Dr. As-Siba’i) walau sekalipun dengki terhadap lawannya atau bersedih terhadap orang yang membantah pendapatnya atau memusuhinya karena tulisan-tulisannya.
Akupun pernah membantah beberapa pendapatnya dan aku menyangka bahwa tulisan-tulisanku tersebut akan memberi pengaruh dalam dirinya dan ia akan kecewa denganku mengingat ia telah merekrutku untuk bergabung mengajar di fakultas syari’ah. Nampaknya Dr. As-Siba’i paham apa yang terbesit dibenakku. Beliau berkata; Sepertinya kau menyangka bahwa aku (marah dan) mencela sikapmu, dengar wahai saudaraku, sesungguhnya dalam islam ini tidak ada basa-basi, kita semua adalah pasukan untuk satu-satunya agama ini, maka merupakan keharusan bagimu untuk menulis dan menyeru kepada apa yang kau anggap benar. Dan aku memintamu dengan sungguh-sungguh untuk tetap (menulis) seperti apa adanya dengan cara dan gaya bahasa yang sama selama niatmu adalah Allah semata-mata”.
Tahun 1954, Ustad Hasan Al-Hudhaibi, mursyid Ikhwan yang kedua dipenjara dan divonis hukuman mati oleh rezim Gamal Abdun Nasir bersama ribuan anggota Ikhwan yang lain. Dan tepatnya tanggal 7 desember 1954 hukuman mati dilaksanakan terhadap tokoh-tokoh Ikhwan seperti Ustad Abdul Qadir Audah, Syeikh Muhammad Farghali dan lain-lain.
Para pemimpin Ikhwan di negara-negara Arab sepakat untuk membentuk ‘Maktab Tanfidzi’ dan Dr. As-Siba’i terpilih sebagai ketuanya.
Dalam periode ini, terutama setelah perang Suez melawan Prancis, Inggris dan Israel, Gamal Abdun Nashir tampil sebagai ‘pahlawan Arab’ dengan ide sosialisme dan mimpinya menyatukan semua negara Arab. Ketika tahun 1958 Abdun Nashir menyatukan Mesir dan Suriah, Dr. As-Siba’i dan mayoritas Ikhwan Suriah menyetujui rencana ini meskipun Abdun Nashir mensyaratkan pembubaran semua partai politik termasuk Ikhwan. Dengan kebesaran jiwanya Dr. As-Siba’ipun membubarkan Ikhwan meskipun luka dan darah para syuhada Ikhwan di tiang gantungan dan penjara Mesir belum lagi kering. Dr. As-Siba’i memahami dengan baik konspirasi dan kekuatan besar dibelakang berdirinya negara Yahudi, karenanya ia mendukung setiap upaya penyatuan bangsa Arab dan pembelaan terhadap Palestina karena memang ia tidak sekedar berjuang demi Ikhwan, tapi demi islam.
Syeikh Al-Buthi menuturkan: “Dan ketika As-Siba’i rahimahullah meninggalkan aktifitasnya sebagai mursyid jama’ah Ikhwan, beliau kemudian lebih fokus untuk kegiatan ilmiah melalui posisinya sebagai dekan fakultas syariah serta ceramah-ceramah apik yang ia sampaikan, dan melalui kitab-kitab yang ia terbitkan serta tulisan-tulisan keagamaan dan sosial yang ia tulis dalam majalah ‘Hadharah Al-Islam’ yang ia terbitkan.
Di fase yang kedua dari kehidupannya ini, aku memiliki beberapa sikap dan keadaan bersama Ustad As-Siba’i rahimahullah. Telah nampak bagiku dari keadaannya apa yang mendorongku untuk ‘mengagungkannya’ serta memenuhi hatiku dengan kekaguman dan penghormatan kepadanya. Bahkan pada akhirnya terukir dalam jiwaku bahwa ia adalah salah seorang ulama rabbani yang hati dan juga jiwa mereka telah disucikan dari kekotoran hawa nafsu dan fanatisme serta keinginan merengkuh harta duniawi atas nama agama dan dibelakang tirainya”.
‘Syakhshiah Istauqafatni’ atau pribadi-pribadi yang mencengangkanku karya Asy-Syahid Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi rahimahullah adalah kumpulan beberapa biografi ulama yang mempengaruhi Syeikh Al-Buthi seperti Imam Ghazali, Sa’id An-Nursi dan lain-lain dan tentu saja Dr. Musthafa As-Siba’i rahimahumullah.
Pada biografi Dr. As-Siba’i, Syeikh Al-Buthi menegaskan: “Dan hendaknya setiap orang yang membaca tulisanku ini seberapapun berbedanya pandangan mereka merasa tenang, bahwa aku tidaklah menulis tulisan ini untuk berbasa-basi atau berpura-pura menyanjung, karena diantara karunia Allah kepadaku dan besarnya nikmat-Nya bahwa aku telah hidup sampai hari ini tanpa pernah menggunakan penaku meskipun sekali untuk memuji orang yang tidak kuyakini keutamaannya atau mencela orang yang hatiku tidak menyetujui untuk mencelanya”.
Syeikh Al-Buthi mengenal Dr. As-Siba’i secara dekat di fase yang kedua dari kehidupannya, fase ketika Dr. As-Siba’i merintis fakultas syari’ah dan beliau menderita kelumpuhan setengah tubuhnya yang kiri, dan betapa bersyukurnya ia ketika Allah menyisakan bagian kanan tubuhnya dimana beliau menulis dengannya. Di fase ini Dr. As-Siba’i aktif menulis, diantaranya adalah kitab ‘Hakadza ‘Allamatni Al-Hayah’ yang sangat mempengaruhi Syeikh Al-Buthi seperti yang beliau tuturkan dalam ‘Syakhshiyah Istauqafatni’.
“Aku takkan lupa ketika suatu hari Fadhilatul Ustadz Ayahku bertemu dengan Almarhum As-Siba’i dan beliau dengan sedih mulai mendoakan kesembuhan bagi Dr. As-Siba’i dari penyakitnya. Kemudian Almarhum As-Siba’i dengan airmata yang bercucuran berkata: Ya Sayyidi..! jika kesembuhanku dari penyakit akan menghalangiku dari keadaan batin ini bersama Tuhanku ‘azza wa jalla maka aku bersaksi dihadapanmu bahwa aku lebih memilih tetapnya penyakit ini agar tidak terhalang dari kebahagiaanku dalam kondisi ini…”
Ada tiga hal menurut Syeikh Al-Buthi yang sulit tergantikan dengan kepergian Dr. As-Siba’i:
Pertama: Amal positif yang terus menerus ia lakukan baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Baik diranah keilmuan, jihad senjata dan dan politik di parlemen. Beliau terus mengajar dan menulis di majalah ‘Hadharah Al-islam’ dalam kelumpuhannya. Ia ‘merangkak ke mesjid untuk sholat berjamaah ketika banyak orang sehat tak mampu melakukannya dengan berbagai alasan.
Semenjak usia remaja, Dr. As-Siba’i telah ‘bersahabat’ dengan penjara dan jihad di jalan-Nya. Di umur 16 tahun ia telah mendekam dalam penjara Prancis di Homs karena menyebarkan selebaran yang menentang penjajahan Prancis. Tahun 1941 ia dipenjara di Mesir karena melakukan demonstrasi menentang penjajahan Inggris. Ketika Inggris, Prancis dan Israel menyerang Mesir dalam perang Suez, Dr. As-Siba’i meminta kepada pemerintah Suriah untuk mengizinkan mujahidin Ikhwan ikut berperang bersama Mesir betapapun rezim Gamal Abdun Nashir telah melakukan kekejamannya terhadap Ikhwan Mesir, namun pemerintah Suriah justru mengangkap Dr. As-Siba’i dan kader-kader Ikhwan, memecat beliau dari universitas dan kemudian diasingkan ke Lebanon.
Kedua: Kapasitas kepemimpinan islami yang komplit dalam kepribadiannya. Betapa tidak, Dr. As-Siba’i lulus program doktoral dalam bidang fiqih dan usulnya dari Al-Azhar dengan desertasinya ‘As-Sunnah Wa Makanatuha Fi At-Tasyri’ Al-islami’ dimana beliau membantah para pengingkar sunnah terutama orientalis seperti Goldziher dll. Selain itu As-Siba’i adalah ketua proyek Ensiklopedia Fiqih Islami.
Ketika majalah Ikhwanul Muslimin dalam sebuah edisinya memuat photo Al-Banna dan As-Siba’i dengan tulisan ‘Panglima Dan Tentaranya’ Hasan Al-Banna mengoreksi tulisan tersebut kecuali jika yang dimaksudkan oleh pihak redaksi dengan Panglima adalah As-Siba’i dan ia sebagai tentaranya.
Ketiga: Kecemerlangan hati. Sinar inilah yang menggerakkan hati Dr. As-Siba’i untuk senantiasa beramal.
“Menurutku, sinar inilah yang senantiasa menjadi bahan bakar yang selalu menyala dalam dada As-Siba’i rahimahullah sejak aku mengenalnya, sinar itulah yang membuatnya terus beramal dan mengemban beban yang menyakitkan, tanpa pernah merasa letih dan berat bahkan sebaliknya, ia melihatnya penuh dengan ‘kelezatan’ dan kebahagiaan yang melimpah”. Tutur Syeikh Al-Buthi.
Oktober 1964, Syeikh Dr. Mushtafa As-Siba’i wafat dalam usia 49 tahun setelah pergumulan panjang dengan penyakitnya.
Syeikh Al-Buthi berkata:
“Aku tidak akan menyembunyikan kepadamu wahai pembaca (kitabku) bahwa aku tidak pernah menyesal saat itu sebagaimana penyesalanku karena aku tidaklah mengenal Ustadz As-Siba’i secara sebenar-benarnya kecuali setelah ia diserang penyakit menyakitkan ini…! Dan aku tidaklah berharap sesuatupun kepada Allah saat itu seperti harapanku agar Allah menyembuhkannya dari semua kesakitannya agar aku bisa menjelaskan dan memastikan kepadanya bahwa orang ini (Syeikh Al-Buthi sendiri) yang dulu seringkali menulis dan mendiskusikan (mengkritik) sebagian pemikirannya tidak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya untuk berjalan bersamanya (As-Siba’i) dalam satu garis dakwah islam, jihad pena dan lisan sesuai dengan manhaj rabbani yang selamat ini. Betapa mudahnya urusan perbedaan pendapat bahkan kesalahan dibeberapa kondisi selama sebab timbulnya bukanlah keinginan dari hawa nafsu atau kemaslahatan duniawi, akan tetapi niatnya adalah keridhaan Allah ‘azza wa jalla.
Dan telah aku telah kugantungkan harapanku pada rahmat Tuhan agar ia dipertemukan dengan kesembuhan, akan tetapi kasih sayang ilahiah menginginkannya untuk ‘sembuh’ dari segala penderitaan dunia ini…”.
Penulis: Taufik M Yusuf Njong