Fatwapedia.com – Dalam kegiatan transaksi harta, orang biasa menggunakan akad jual beli, termasuk jual beli kredit dan jual beli Salam, serta akad Ijarah (sewa-menyewa atau jual-beli jasa) dan akad Ju’alah (sayembara/komisi atas dasar hasil). Akad-akad ini disahkan oleh syariat Islam sepanjang rukun-rukun dan persyaratannya terpenuhi.
Akan tetapi, masing-masing dari keempat akad tersebut mempunyai karakteristik dan ketentuannya sendiri-sendiri. Salah satu karakteristik pentingnya adalah mengenai apakah jenisnya akadnya adalah lazim (akad tetap) ataukah jaiz (akad lentur). Jual beli kredit akadnya berjenis lazim sehingga pada dasarnya tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Demikian juga halnya dengan Salam dan Ijarah.
Adapun terkait Ju’alah ada perbedaan pandangan yang cukup signifikan, hanya saja secara umum pandangan yang mengemuka adalah menggunakan perincian: Pada saat pelaksana belum bergerak maka akadnya masih lentur, tetapi ketika pelaksana sudah bergerak dan berhasil maka akadnya menjadi tetap dan komisi harus dibayarkan. Adapun setelah bergerak dan belum berhasil maka pembatalan oleh pemesan akan mengubah akadnya menjadi seperti halnya Ijarah (sehingga pekerja berhak atas imbalan setimpal sesuai kerja yang sudah dikerahkan).
Karakteristik penting lainnya dari akad-akad ini adalah mengenai penyerahan komoditas atau bayaran. Dalam jual beli kredit, barang yang dibeli harus ada dan diserahkan di awal sementara bayarannya menyusul. Dalam akad Salam sebaliknya, bayaran harus kontan di awal sementara barang yang dipesan menyusul (sesuai kriteria). Dalam Ijarah hal ini luwes: bayaran bisa diberikan di awal, bisa diangsur, dan bisa pula setelah jasa/manfaat tuntas diberikan. Adapu dalam Ju’alah bayaran (komisi) diberikan setelah hasilnya terwujud.
Ini adalah empat akad yang sangat lumrah digunakan oleh orang-orang dalam bertransaksi. Keempatnya berporos pada ketentuan bahwa akad barulah dimulai seiring dengan mulai diserahkan atau dikerahkannya salah satu dari komoditas atau bayaran. dengan telah diserahkannya salah satu dari dua hal ini, maka imbalannya pun menjadi terikat. Ketika barang yang dibeli secara kredit telah diserahkan, maka bayarannya harus diserahkan. Ketika modal pada Salam telah diserahkan, maka barang pesanannya pun harus diserahkan nantinya pada waktu yang disepakati.
Di sisi lain, ketika jasa atau manfaat dalam Ijarah belum tuntas diberikan maka penyewa/pembeli jasa pun belum tertuntut untuk menuntaskan bayarannya. Begitu pula halnya dengan pemberi komisi dalam akad Ju’alah. Bayaran baru mendesak diberikan manakala jasa ijarah atau hasil ju’alah ini tuntas diberikan. Ini berarti bahwa yang namanya “akad” itu barulah berlangsung atau mulai aktif manakala salah satu dari yang ditransaksikan itu mulai diberikan.
Adapun sebelum itu maka belum ada akad. Yang ada baru “janjian”, dan janjian tidak bersifat mengikat terhadap komoditas yang ditransaksikan. Ini berarti bahwa dua orang yang baru melakukan “janjian” itu masih bebas untuk menentukan apakah mereka jadi berakad atau tidak jadi melakukannya. Jadi, orang yang baru janjian untuk melakukan jual-beli kredit atau akad Salam itu sah-sah saja membatalkan janjiannya dan pihak kedua tidak berhak menuntut pelangsungan akad. Demikian pula halnya dengan yang baru janjian untuk berakad Ijarah atau Ju’alah, selama kerja atau jasa yang diminta belum mulai diberikan.
Substansi global dari semua keterkaitan ini adalah bahwa tidaklah sah suatu akad itu berlangsung manakala kedua komoditas yang ditukarkan itu sama-sama ditunda penyerahannya. Yang boleh ditunda hanya salah satunya saja, yaitu menunda penyerahan bayarannya saja atau menunda penyerahan barang/jasanya saja. Tidak boleh bayaran dan barang/jasa yang ditukarkan itu dua-duanya sekaligus ditunda. Penundaan itu akan membuat akadnya menjadi sekadar “janjian” dan belum betul-betul terwujud akad (transaksi).
Pada akad Salam, yang ditunda adalah barangnya sementara bayarannya harus kontan di awal. Pada jual-beli kredit, yang ditunda adalah bayarannya sementara batang diserahkan di awal. Pada Ijarah, pemberian jasa boleh ditunda sesuai kesepakatan ketika pembayaran sudah tertunaikan atau bayarannya yang ditunda sampai jasa atau manfaat yang ditransaksikan itu tuntas diberikan. Demikian juga halnya dengan Ju’alah yang bayarannya ditunda (bahkan memang tidak perlu diberikan di awal) sampai hasil yang ditransaksikan itu terwujud.
Lantas bagaimana dengan Istishna’?
Ishtishna’ ini cukup unik. Bentuknya adalah permintaan dari phak pertama agar pihak kedua membuatkan suatu karya yang bahannya langsung dari pihak kedua sendiri. Di satu sisi, ia mirip dengan jual beli Salam sebab ada barang yang diminta dan akan dibeli sesuai kriteria, tetapi di sisi lain ia mirip pula dengan Ijarah dan Ju’alah sebab ada kerja yang dituntut untuk membuahkan hasil yang diharapkan. Ia juga mirip dengan janjian beli barang sebab barangnya secara normal baru terwujud setelah nanti selesai dibuat.
Bila ia sejenis dengan Salam maka harusnya bayaran diserahkan kontan di awal, padahal dalam Istishna’ menurut pandangan kontemporer bayarannya boleh dicicil atau ditunda. Bila ia sejenis dengan Ijarah atau Ju’alah maka harusnya bahan untuk karya tersebut berasal dari penyewa jasa, padahal dalam Istishna’ bahannya justru langsung berasal dari pihak pembuat (penyedia jasa).
Seandainya Ishtishna’ ini disamakan ketentuannya dengan ketentuan Salam kecuali bayarannya boleh ditunda maka tentu aturan Syariat akan menjadi timpang, sebab di sini dilarang kok di sana dibolehkan padahal substansinya telah disamakan. Demikian juga seandainya Istishna’ disamakan ketentuannya dengan Ijarah sementara penyedia jasa tetap dituntut untuk menyediakan bahan, sebab jadinya ia tidak hanya menjual jasa melainkan juga menjual barang. Dan, apabila posisinya adalah penjual barang sementara bayarannya ditunda, maka bagaimana mungkin hal tersebut dihitung sebagai akad sementara barang maupun bayarannya sama-sama ditunda dan belum ada yang diserahkan?
Tidaklah mungkin Syariat Islam datang dengan aturan yang saling kontradiksi. Dan, pada fuqaha bifadhlillah tampak menjiwai hal ini dalam pandangan-pandangan Fiqih mereka.
Kalangan madzhab Hanafi ghalibnya memosisikan Istishna’ sebagai sesuai yang jaiz dan tidak lazim, sehingga sah-sah saja bagi pemesan untuk membatalkannya walaupun karya telah selesai dibuat. Di sisi lain, mereka juga mempersilakan kepada pihak kedua untuk membatalkan kegiatannya membuat karya tersebut. Ini berarti posisi Istishna’ bagi para fuqaha ini adalah sekadar “janjian” saja, atau setara dengan janjian (yaitu jual beli yang bebas dibatalkan).
Kalangan madzhab Maliki, dan juga madzhab Syafii, umumnya memosisikan Istishna’ seperti layaknya Salam, sehingga ia merupakan akad lazim yang tidak boleh dibatalkan sepihak. Di sisi lain, karena mengikuti ketentuan Salam, maka bagi kalangan ini bayaran dalam akad Istishna’ harusnya kontan di awal, tidak boleh ditunda maupun dicicil. Lalu ada penegasan bahwa barang atau karya yang dipesan haruslah betul-betul jelas kriteria dan waktu penyerahannya sebagaimana layaknya ketentuan dalam Salam.
Adapun kalangan madzhab Hanabi umumnya memosisikan Istishna’ bukan sebagai Salam, melainkan sebagai akad lain berwujud jual beli komoditas berdasarkan kriteria yang bukan Salam. Dengan kata lain, Istishna’ bagi kalangan ini adalah sejenis perpaduan antara Ijarah dengan jual beli. Dan, pandangan inilah yang tampaknya umum dianut oleh para konseptor Ekonomi Syariah di era kontemporer. Bagi pandangan ini Istishna’ adalah akad lazim (sebagaimana Salam dan jual beli pada umumnya), tetapi bayarannya boleh ditunda sampai pekerjaan tuntas dan barang selesai dibuat (sebagaimana Ijarah).
Walhasil, di sini ada 3 pandangan dalam memosisikan Istishna’: (1) pandangan yang menganggapnya hanya sebagai “janjian” atau setara dengan janjian sehingga boleh dibatalkan sepihak, (2) pandangan yang menyamakannya dengan Salam sehingga tidak boleh dibatalkan serta bayaran barang harus diserahkan kontan di awal, dan (3) pandangan yang menempatkan Istishna’ layaknya perpaduan Ijarah dan jual-beli barang sehingga tidak boleh dibatalkan namun bayarannya bisa ditunda sampai pekerjaan tuntas dan barang yang dikreasi itu diserahkan.
Yang memosisikan Istishna’ sebagai “janjian” tidaklah sah untuk menjadikannya sebagai akad lazim yang tak boleh dibatalkan sebab itu adalah sebuah ketimpangan aturan. Yang memosisikannya sebagai Salam tidaklah sah untuk membolehkan pembatalan maupun penundaan bayaran sebab itu juga merupakan ketimpangan aturan. Dan, yang memosisikannya sebagai perpaduan jual-beli jasa plus barang juga tidaklah sah untuk membolehkan pembatalan walaupun bayarannya boleh ditunda sampai karya selesai dibuat.
Inilah keselarasan aturan Syariah yang serba kompak dan tidak mungkin timpang. Tidak mungkin Syariah mengharamkan A sekaligus menghalalkannya. Tidak mungkin pula Syariah mengharamkan A sekaligus menghalalkan B yang juga lajunya berujung ke A. Tidak mungkin aturan Allah Ta’ala datang dengan ketimpangan di sana-sini. Aturan-aturan Syariah amatlah selaras sehingga cocok untuk akal yang sehat, dan tidak bisa diakal-akali dengan aneka kamuflase yang membuat transaksinya pincang.
Contoh bentuk mengakal-akali Istishna’ adalah masuknya lembaga keuangan dengan alasan membuat skema Istishna’ paralel tetapi sebetulnya secara faktualnya hanya berfungsi sebagai hantu penyedia dana bagi pihak mustashni’ sehingga pihak shani’ terbayar secara kontan lalu pihak mustashni’ tinggal mengangsur bayarannya secara kredit ke lembaga keuangan dengan nominal yang lebih besar (riba terselubung).
Penulis: Babanya Shofia