Dalil-dalil Syar'i larangan Membunuh Seorang Muslim Tanpa Haq

Dalil-dalil Syar'i larangan Membunuh Seorang Muslim Tanpa Haq


Fatwapedia.com – Islam melarang penumpahan darah tanpa haq. Pembunuhan dalam islam merupakan dosa besar setelah kekufuran. Dalil-dalil yang berisi larangan membunuh tanpa haq banyak sekali. Baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Berikut ini ayat dan hadits Nabi yang melarang umat manusia melakukan pembunuhan beserta penjelasan singkatnya.

Allah Ta’ala berfirman:

Pertama QS. Al-An’am : 151

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.

Allah Ta’ala berfirman 

Kedua QS.Al-Isra : 33

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.”

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: 

Maksud redaksi ” tetapi ianganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh” adalah janganlah ahli waris korban itu membunuh selain pembunuhnya. Redaksi ini serupa dengan redaksi sebelumnya.

“Wahai orang-orang  yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….” (QS. Al Baqarah : 178)

Qishash itu hanya diberlakukan terhadap orang yang melakukan tindakan yang patut menerima hukuman qishash, tidak diberlakukan terhadap selainnya. sebab itu, Allah سبحانه وتعالىٰ‎ menegaskan kewaajiban qishash itu dalam Kitab-Nya, dan dalil sunnah menjelaskan secara rinci kepada siapa kewenangan qishash itu diberikan dan kepada siapa qishash itu wajib dijatuhkan 

(Kitab Al Umm Karya Imam Asy-Syafi’i  Pembahasan Tindakan Pidana yang Disengaja. Kitab ini adalah cerminan fase akhir dari kematangan ijtihad Asy-Syafi’i setelah “berpetualang” mencari ilmu, menggali, berdebat, berdiskusi, dan merenung di Hijaz, Irak dan Mesir. Kitab ini juga menjadi kitab Asy-Syafi’i yang paling terakhir ditulis. Bisa dikatakan Al-Umm juga mencerminkan madzhab jadid Asy-Syafi’i.)

Ketiga QS. Al-Ma’idah : 32

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.”

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman

 فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya balasan (hukuman) bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh atau disalib atau tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang atau diasingkan dari negeri tersebut. Hal demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia dan bagi mereka di akhirat adzab yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33).

Abdullah bin Umar meriwayatkan dari Rasulullah bahwa ayat ini turun berkenaan penduduk Urainah. (HR. An-Nasai: 4041). Penduduk Uraynah pura-pura masuk Islam, lalu murtad dan membunuh seorang peternak unta dan merampok untanya.

Imam asy-Syafii meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini: “Apabila mereka melakukan perampokan harta dan pembunuhan, mereka harus disalib. Apabila mereka hanya membunuh tanpa merampok, maka mereka cukup dibunuh (sebagai qishash) dan tidak disalib. Apabila mereka hanya merampok tanpa membunuh, maka tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang. Apabila mereka hanya melakukan ancaman teror (intimidasi) tanpa melakukan perampokan, mereka cukup diisolasi (diasingkan dari negeri tersebut.” (Tafsir Ibn Katsir III/100).

Anas menuturkan: “Rasulullah menanyai Jibril mengenai hukuman terhadap orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.?” Jibril menjawab: “Apabila ia mencuri dan melakukan ancaman teror(intimidasi), maka potong tangannya dan kakinya secara bersilang karena pencurian yang ia lakukan. Apabila ia hanya membunuh, maka ia harus dibunuh. Apabila ia membunuh, melakukan teror (ancaman atau intimidasi) dan melakukan pemerkosaan, maka ia harus disalib. (HR. Ath-Thabari dalam Tafsirnya: 11854)

Hukum pidana dalam Islam sangat keras, hal itu bertujuan untuk mencegah (preventif), memberikan rasa aman,  melindungi, memberikan keadilan  agar hati dan juga perasaan orang atau pihak keluarga yang dizalimi menjadi puas, tenang dan bahagia. Dan juga memberikan efek jera dan ketakutan sehingga diharapkan orang yang ingin berbuat kejahatan tidak jadi merealisasikan niat jahatnya. 

Keempat QS.An-Nisa : 92

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah, (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkan (hamba sahaya) maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Kelima QS. An-Nisa : 93

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.

Keenam QS. Gafir : 25

فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ مِنْ عِنْدِنَا قَالُوا اقْتُلُوا أَبْنَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ وَاسْتَحْيُوا نِسَاءَهُمْ ۚ وَمَا كَيْدُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ

Maka ketika dia (Musa) datang kepada mereka membawa kebenaran dari Kami, mereka berkata, “Bunuhlah anak-anak laki-laki dari orang-orang yang beriman bersama dia dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka.” Namun, tipu daya orang-orang kafir itu sia-sia belaka.

Ketujuh QS. Gafir : 26

وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُ ۖ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ

Dan Fir’aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), “Biar aku yang membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Tuhannya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi.”

Kedelapan QS.Gafir : 27

وَقَالَ مُوسَىٰ إِنِّي عُذْتُ بِرَبِّي وَرَبِّكُمْ مِنْ كُلِّ مُتَكَبِّرٍ لَا يُؤْمِنُ بِيَوْمِ الْحِسَابِ

Dan Musa berkata, “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari Perhitungan.”

Kesembilan QS. Gafir : 28

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ ۖ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

Dan seseorang yang beriman di antara keluarga Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata, “Apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata, ‘Tuhanku adalah Allah’, padahal sungguh, dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Dan jika dia seorang pendusta maka dialah yang akan menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika dia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta.

وَالَّذِينَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلاَيَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَيَزْنُونَ وَمَن يَّفْعَلْ ذَلِكَ يَلقَ أَثَامًا يُضَاعَفُ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا إِلاَّ مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Alloh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Alloh (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Alloh dengan kebajikan. Dan adalah Alloh maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 68-70)

Dalil-Dalil dari hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh, apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR al-Bukhâri, no. 2615, 6465; Muslim, no. 89].

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمُفَارِقُ لِدِيْنِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

Dari Abdullâh (bin Mas’ud), ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi Lâ Ilâha illa Allâh dan bahwa aku adalah utusan Allâh, kecuali dengan satu dari tiga (perkara): (1) satu jiwa (halal dibunuh) dengan (sebab membunuh) jiwa yang lain, (2) orang yang sudah menikah yang berzina, (3) orang yang keluar dari agamanya (Islam) dan meninggalkan jama’ah (Muslimin)”. [HR Bukhari, no. 6484; dan Muslim, no. 1676].

Yang perlu diketahui bahwa yang berhak dan berkewajiban melaksanakan pembunuhan yang haq ini adalah pihak yang berwenang dari  Negara Islam bukan hak setiap individu atau masyarakat, karena hal itu akan menyebabkan kekacauan.

Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :

1. Tidak boleh menumpahkan darah kaum muslimin kecuali dengan tiga sebab, yaitu :

zina muhshon (orang yang sudah menikah), membunuh manusia dengan sengaja dan meninggalkan agamanya (murtad) berpisah dari jamaah kaum muslimin.

2. Islam sangat menjaga kehormatan, nyawa dan agama dengan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang mengganggunya seperti orang yang menikah kemudian melakukan zina, pembunuhan dan murtad.

3. Hukum pidana dalam Islam sangat keras, hal itu bertujuan untuk mencegah (preventif), melindungi, memberikan keadilan  agar hati dan juga perasaan orang atau pihak keluarga yang dizalimi menjadi puas, tenang dan bahagia. Dan juga memberikan efek jera dan ketakutan sehingga diharapkan orang yang ingin berbuat kejahatan tidak jadi merealisasikan niat jahatnya.

5. Pendidikan bagi masyarakat untuk takut kepada Allah ta’ala dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dalam keadaan tersembunyi atau terbuka sebelum dilaksanakannya hukuman.

6. Hadits diatas menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan dan kesucian.

7. Dalam hadits tersebut merupakan ancaman bagi siapa yang membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah ta’ala.

Barangsiapa menolong dalam yang haram atau dalam berbuat dosa, maka ia dihukumi sama dalam melakukan maksiat. Ini kaedah yang telah disimpulkan dari Al Qur’an dan hadits

Allah Ta’ala berfirman

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (QS. Al Maidah: 2). Ayat ini menunjukkan bahwa terlarang saling tolong menolong dalam maksiat.

Dalam hadits juga disebutkan,

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa yang memberi petunjuk pada kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan jelek tersebut dan juga dosa dari orang yang mengamalkannya setelah itu tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 1017).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengikutinya. Sedangkan barangsiapa yang memberi petunjuk pada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti orang yang mengikutinya. Aliran pahala atau dosa tadi didapati baik yang memberi petunjuk pada kebaikan atau kesesatan tersebut yang mengawalinya atau ada yang sudah mencontoh sebelumnya. Begitu pula aliran pahala atau dosa tersebut didapati dari mengajarkan ilmu, ibadah, adab dan lainnya.”

Sedangkan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Lalu diamalkan oleh orang setelah itu“, maka maksudnya adalah ia telah memberi petunjuk (kebaikan atau kesesatan) lalu diamalkan oleh orang lain setelah itu ketika yang contohkan masih hidup atau sudah meninggal dunia. Demikian penjelasan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits di atas.

Intinya, dua dalil di atas menunjukkan dengan jelas bahwa siapa saja yang memberi petunjuk pada kejelekan, dosa atau maksiat, maka ia akan mendapatkan aliran dosa dari orang yang mengikutinya. Ini sudah jadi cukup bukti dari kaedah yang dibahas kali ini, yaitu siapa yang menolong dalam maksiat, maka terhitung pula bermaksiat, mendapat dosa maksiat yang sama atau serupa.

Dalilnya Syar’i lainnya  mengenai   kaidah barangsiapa tolong menolong dalam suatu perbuatan dosa maka ia atau mereka terhitung mendapatkan dosa yang sesuai  atau yang sama dgn perbuatan dosa tersebut yang mereka tolong menolong didalamnya.

NISCAYA AKU BUNUH SELURUH PENDUDUK SHAN’A KARENANYA

Dahulu di negeri shan’a (ibu kota Yaman) ada seorang wanita yang ditinggal bepergian oleh suaminya, sang suami meninggalkan putra kandungnya pada sang istri (anak dari istri selainnya). Rupanya sang istri bukanlah wanita baik-baik, ia berselingkuh di belakang suaminya yang sedang pergi dengan pria idaman lain, wanita ini berkata kepada pria selingkuhannya: “bunuhlah anak ini aku kuatir dia akan membocorkan perkara kita” tapi sang pria menolak untuk membunuh bocah kecil tersebut…maka wanita inipun menolak untuk disentuh si laki-laki sampai dia harus membunuh anak suaminya.

Akal sehat pun hilang jika berhadaan dengan syahwat, akhirnya pria tersebut menuruti permintaan jahat kekasih gelapnya, dia bersekongkol dengan pria lain, dan dibantu oleh si wanita dan pembantunya…mereka bersepakat membunuh bocah kecil tersebut dan memutilasi (memotong-motong) jasad korban kemudian membuangnya di tempat pembuangan.

Perkara ini sampai ke hakim dan si laki2 berhasil ditangkap kemudian dia mengakui dosanya begitu juga dengan pelaku yang lain.

Maka Ya’la selaku Amir (gubernur) Shan’a berkirim surat ke khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu yang ada di Madinah untuk menyampaikan perkara hukum ini.

Maka sang Khalifah pun menjawab:

Demi Allah jika seluruh penduduk Shan’a bersekutu membunuh bocah kecil tersebut, niscaya sungguh akan aku bunuh mereka semua karenanya”  (dikeluarkan al-Bukhari)

Kisah ini diambil dari kitab Subulussalam syarh bulughul maram. Karya al-Imam al-Shan’any (Beirut: Dar el-Fikr, 1411 H/1991 M) vol. 3 hal. 458-459.

Jadi Orang yang tolong menolong dalam rangka membunuh manusia dengan berjamaah maka semuanya mendapatkan dosa yang sama fdan mendapatkan hukum yang sama pula yaitu hukum Qishash, nyawa balas nyawa.   Begitu pula orang yang tolong menolong, menjadi bagiannya terlibat sscara langsung dalam menyelenggarakan atau mensukseskan  acara atau pesta kesyirikan Akbar maka mereka semua mendapat dosa yang sama yaitu dosa Mukaffirah yaitu syirik Akbar.

Dalil syar’i lainnya

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menegaskan haramnya menjadi pencatat bagi dua orang yang bertransaksi riba dan menjadi saksi dalam transaksi tersebut. Hadits ini juga menunjukkan haramnya tolong menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11:23)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

“Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Abu Daud, no. 3674 dan Ibnu Majah no. 3380. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Itulah dalil-dalil syari baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits yang berisi larangan membunuh tanpa haq. Semoga bermanfaat.

Leave a Comment