Fatwapedia.com – Diantara karakter seorang mukmin adalah menggantungkan harapan dan segala urusannya kepada Allah. Berharap kepada Allah (ar roja’) merupakan suatu sikap positif yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah al Anshary ra dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda,
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian mati melainkan dia berbaik sangka terhadap Allah. (Muslim: Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Araby, tt, Juz 4, hlm 2206)
Berharap kepada Allah merupakan pengakuan kelemahan seorang hamba kepada Rabbnya. Berharap kepada Allah merupakan bukti penyerahan diri, ketundukan, ketawadhu’an. Para pemiliknya adalah mereka yang Allah hindarkan dari hati mereka rasa sombong akan kehebatan dan keakuan diri. Para pemiliknya teguh, konsisten dan tak mengenal kata putus asa dalam beramal.
Antara Harapan & Angan-Angan Kosong
Dalam kitab at ta’rifat Asy Syarief al Jurzaniy: Kitab at Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1403 H, Hlm 109, istilah ar roja atau harapan berarti,
“تعلق القلب بمحصول محبوب في المستقبل”
ketergantungan hati kepada pencapaian hasil yang disukai para masa yang akan datang. Al Haraliy berkata harapan [Murtadho az Zubaidi: Taaj al ‘Aruus min Jawahiri al Qamus, Daar al Hidayah, Juz 38, hlm 127] adalah
“تَرَقّبُ الانْتِفاعِ بِمَا تقدَّمَ لَهُ سَبَب ما”
menantikan datangnya kemanfaatan disebabkan atas apa yang telah diusahakan sebelumnya. Al Muhasibi [Al Haarits al Muhasibi : Adab an Nufus, Beirut : Daar al Jiil, tt, hlm 67] berkata harapan adalah
“أَنْ تَرْجُوَ قَبُولَ الاَعْمَالِ وَجَزِيلَ الثَّوَابِ عَلَيْهَا”
berharap diterimanya amal perbuatan dan balasan yang berlipat ganda atas amal tersebut. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa harapan adalah masa penyerahan diri kepada Allah menanti hasil usaha yang diharapkan akan membuahkan kebahagiaan atau kesenangan bagi pelaku.
Allah mensifati bahwa harapan terkait dengan amal nyata dalam firman-Nya pada surat al Baqarah ayat 218,
“الَّذين آمنُوا وَالَّذين هَاجرُوا وَجَاهدُوا فِي سَبِيل الله أُولَئِكَ يرجون رَحْمَة الله”
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah.
Benarlah harapan Ja’far bin Abu Thalib ra akan surga dalam senandungnya ditengah-tengah peperangan [Khalid Muhammad Khalid: Rijal Haula ar Rasul, Beirut: Daar al Fikr, 1421 H, hlm 203],
يا حبّذا الجنة واقترابها طيّبة، وبارد شرابها … والروم روم، قد دنا عذابها كافرة بعيدة أنسابها … عليّ اذا لاقيتها ضرابها
Wahai surga yang kudamba, semerbak harum mewangi, menyejukkkan meminum airnya, tentara romawi telah menghampiri kuburnya, terhalang dari keluarganya, kewajibanku lah memeranginya.
Maka harapan yang benar berkorelasi dengan kerja keras. Al Muhasibi berkata
“الرَّجَاءُ الصَّادِقُ إِنَّمَا يَكوُنَ عَلَى قَدَرِ الْعَمَلِ بالطَّاعَاتِ”
harapan yang benar itu melahirkan kesanggupan beramal dengan penuh keta’atan. [Adab an Nufus, hlm 68] Ia merupakan sikap positif yang aktif bukan sikap menunggu-nunggu yang pasif tanpa usaha atau panjang angan-angan dan malas. Asy Syaibani berkata
” وَالأَعْمَالُ الصَالِحَةُ يَجِبُ أَنْ يَقْتَرِنَ بِهَا الرَجَاءُ”
Pastilah harapan itu terkait erat dengan amal shalih. Perwujudan kebenaran iman bukanlah sebatas angan-angan, ia adalah keyakinan yang menghujam dalam hati dan teruji dalam segala medan dan keadaan. (Asy Syaibani: Mukafiratu adz Dzunub wa Muwajibatu Jannah, Beirut : Daar al I’thisam, tt, hlm 35)
Jika iman telah terlantar, akhlaq tenggelam dalam kehinaan dan ibadah menjauh dari aktivitas kita, kemudiaan kita menanti datangnya kebaikan pahala dan ampunan Allah, inilah orang-orang yang tertipu. Allah ta’ala berfirman dalam surat al A’raf 169
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا…
Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”.
Demikian pula Allah ta’ala berfirman dalam surat an nisa ayat 123 tentang orang-orang yang berharap pahala kebaikan tanpa usaha yang nyata,
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
(pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan yang kosong dan tidak (pula) angan-angan ahli kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.
Rasulullah saw pun mensifati orang-orang yang panjang angan-angan ini dengan lemah, sebagaimana hadits yang dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ، مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، ثُمَّ تَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Orang perkasa itu yang mengarahkan jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, dan orang lemah itu adalah yang jiwanya mengikuti nafsunya kemudian berangan-angan tentang Allah.
(Ibnu Majah : Sunan Ibnu Majah, Beirut : Daar Ihya al Kutub al ‘Arabiyah, tt, Juz 2, hlm 1423. Menurut Muhammad Nashirudin al Albany hadits ini dha’if.)
Karakter khas orang-orang lemah dan tertipu itu menukar kerja keras beramal sholeh dengan hawa nafsu kemudian berangan-angan tentang Allah dengan berbagai angan-angan.