Fatwapedia.com – Salah satu kaidah ushul yang disepakati oleh para ulama adalah, jika ada dua nash yang menyebutkan satu ketentuan hukum, salah satunya secara mutlak (مطلق) dan satu lagi muqayyad (مقيد), jika hukum dan sebabnya sama, maka nash yang mutlak harus dibawa ke yang muqayyad, artinya ketentuan hukumnya tidak bisa mengikuti kemutlakan nash mutlak tersebut, tapi harus ditaqyid (diberi batasan) sesuai yang disebutkan dalam nash muqayyad.
Sebagai contoh, Allah ta’ala berfirman dalam Surah Al-Maidah Ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
Artinya: “Diharamkan atas kalian bangkai dan darah…”
Dan firman-Nya dalam Surah Al-An’am Ayat 145:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا
Artinya: “Katakanlah, tidak aku dapatkan dalam wahyu yang disampaikan kepadaku, makanan yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai dan darah yang mengalir…”
Pada ayat pertama di atas, Allah mengharamkan darah secara mutlak, tanpa taqyid (pembatasan) apapun. Artinya, ia berlaku pada darah yang mengalir maupun darah yang tidak mengalir yang menempel pada daging dan semisalnya. Sedangkan pada ayat kedua, Allah menyebutkannya secara muqayyad, yaitu “darah yang mengalir”, artinya keharaman hanya berlaku pada darah yang mengalir saja, tidak secara mutlak.
Sebab keharamannya pada dua ayat di atas sama, yaitu adanya dharar dalam darah, dan hukumnya pun sama, yaitu haram mengonsumsi darah, karena itu ayat yang mutlak harus dibawa ke yang muqayyad, sehingga keharaman mengonsumsi darah, hanya berlaku pada darah yang mengalir saja.
Kalangan Hanafiyyah menyebutkan contoh lain, yaitu firman Allah ta’ala dalam Surah Al-Maidah Ayat 89:
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: “Dan siapa yang tidak mampu melakukan hal yang demikian, maka kaffarahnya adalah puasa selama tiga hari.”
Ayat di atas tentang kaffarah sumpah, yang berisi kewajiban puasa selama tiga hari, dan disebutkan secara mutlak, tanpa taqyid “berturut-turut”, jadi berdasarkan kemutlakannya, ia boleh dilakukan berturut-turut, boleh juga tidak.
Hanafiyyah menyatakan bahwa kemutlakan puasa tiga hari di atas, ditaqyid oleh qiraah Ibnu Mas’ud yang syadzdzah, فصيام ثلاثة أيام متتابعات. Karena itu, menurut mereka wajib melaksanakan puasa tiga hari tersebut secara berturut-turut, karena sebabnya sama, yaitu melanggar sumpah, dan hukumnya juga sama, yaitu wajib puasa.
Namun yang disampaikan oleh kalangan Hanafiyyah ini bisa dikritisi, dari sisi bahwa dalil yang bisa digunakan untuk mentaqyid kemutlakan ayat Al-Qur’an menurut mereka, haruslah berupa khabar yang mutawatir atau masyhur, sedangkan qiraah syadzdzah itu hanya setara dengan khabar ahad saja, lalu bagaimana ia bisa mentaqyid kemutlakan ayat Al-Qur’an yang qath’i?
Jumhur fuqaha pun, pada kasus ini, tidak membawa yang mutlak pada yang muqayyad, karena qiraah yang tidak mutawatir tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam posisi ia sebagai Al-Qur’an, karena yang diakui sebagai Al-Qur’an hanya yang berasal dari qiraah mutawatirah saja. Dan qiraah syadzdzah ini juga tidak bisa diposisikan sebagai As-Sunnah, karena shahabat tidak meriwayatkannya sebagai As-Sunnah. Karena itu tidak sah sebagai Al-Qur’an, dan juga tidak dianggap sebagai As-Sunnah, maka ia tidak bisa mentaqyid kemutlakan ayat Al-Qur’an. Wallahu a’lam.
Oleh: Ustaz Muhammad Abduh Negara
Rujukan: Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Juz 1, Halaman 209-210, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Suriah.