Apakah Muslim Wajib Vaksin?

Apakah Muslim Wajib Vaksin?

Assalamualaykum warahmatullah wabarakaatuh. Ustadz mohon bimbingannya seputar vaksin covid-19, apakah kita wajib vaksin atau tidak? Syukron.

Jawaban :

Wa’alaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…

Sudah kurang lebih setahun lamanya kita menghadapi wabah pandemi yang mematikan ini. Belum selesai kita menuntaskan solusi dari permasalahan pandemi ini, kita dihadang dengan berbagai bencana dan kesedihan yang bertubi-tubi. Jatuhnya pesawat, wafatnya para ulama dan orang-orang baik di sekitar kita, banjir di Kalimantan dan ditempat lain nya, longsor di sulawesi, dan berbagai bencana lain.  

Kiranya sudah waktunya kita berbenah dan introspeksi sebagai sebuah bangsa: banyak kemaksiatan dan kerusakan senantiasa kita lakukan, tanpa kita perbaiki kemaksiatan dan kerusakan itu.

Allah Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka (kembali ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum :41)

Saat gempa terjadi di bumi Madinah, ‘Umar Ibnul Khattab radhiyallaahu ‘anhu langsung mengingatkan manusia :

يا أيها الناس ما أسرع ما أحدثتم، لإن عادت لأخرجن من بين أظهركم

“Wahai manusia! Betapa cepatnya kalian melakukan dosa, seandainya gempa ini datang lagi maka aku akan keluar dari hadapan kalian [yaitu meninggalkan kota Madinah].” (Al-Fitan, hal. 377, & As-Sunan Al-Kubra 3/342)

Begitu pula sikap Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tatkala terjadi musibah gempa :

يا أيها الناس ! إن ربكم يستعتبكم فأعتبوه

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah menginginkan kalian untuk kembali, maka kembalilah pada-Nya.” (Tafsir At-Thabari, 17/478)

Kembali kepada-Nya adalah dengan mentaati-Nya, menegakkan hukum-hukum-Nya dalam berbagai aspek kehidupan, serta menjauhi segala perkara yang dapat mendatangkan murka-Nya.

Adapun terkait vaksin covid-19, sesungguhnya para ulama kita yang terhormat di Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa vaksin tersebut halal dan BPOM menyatakan vaksin tersebut aman digunakan, meski uji klinik masih dalam pantauan. Cukup berpedoman pada pernyataan ahli yang demikian, maka kami mengatakan tidak perlu khawatir dalam menerima vaksin ini. Ini adalah bagian dari ikhtiar kita untuk melakukan pengobatan dan pengamanan dari virus yang mematikan.

Tapi, apakah wajib bagi kita untuk menerima vaksin?

Pertama-tama kita jelaskan bahwa vaksinasi (vaccination, at-talqiih) atau imunisasi (immunization, at-tath’im bil liqahaat at-thibbiyyah) adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tersebut. 

Kata vaksinasi berasal dari bahasa latin vacca yang berarti sapi – diistilahkan demikian karena vaksin pertama berasal dari virus yang menginfeksi sapi (cacar sapi). (https://id.wikipedia.org/wiki/Vaksinasi)

Karena vaksinasi dianggap bagian dari penyembuhan/pengobatan [al-‘ilaaj/at-tadaawi], maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pengobatan. Sifat dari pengobatan dengan vaksin ini sendiri adalah wiqaayah [pencegahan/preventif]. Pengobatan dengan cara mencegah penyakit. 

Ada yang beranggapan bahwa berobat dalam Islam itu hukumnya sunnah [termasuk pengobatan dengan cara pencegahan seperti vaksin ini dianggap sunnah]. Padahal, ada sebagian kalangan justeru beranggapan bahwa berobat itu hukumnya makruh [tidak disukai], sebagaimana yang disebutkan Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim, Juz 3 Hal. 90.

Sebab apa para ulama berbeda pandangan tentang hukum pengobatan? Sebab, disatu sisi ada dalil yang memerintahkan pengobatan –seperti hadits di bawah ini- :

1. Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الله أنزل الداء والدواء ، وجعل لكل داء دواء ، فتداووا ، ولا تتداووا بالحرام

‘’Sesungguhnya Allaah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR. Abu Dawud No. 3874)

2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يا رسول الله ألا نتداوى ؟ قال : ( تداووا ، فإن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء إلا داء واحد ) قالوا : يا رسول الله وما هو ؟ قال : ( الهرم )

’Wahai Rasulullah, apakah kita berobat?, Nabi bersabda, ‘Berobatlah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Beliau bersabda,’’penyakit tua.’’(HR.Tirmidzi 2038) 

Di sisi lain ada dalil yang menunjukkan keutamaan meninggalkan berobat dan memilih untuk sabar, seperti hadits :

عَن عَطَاءُ بْنُ أَبِى رَبَاحٍ قَالَ قَالَ لِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَلاَ أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى . قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ إِنِّى أُصْرَعُ ، وَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِى . قَالَ « إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ » . فَقَالَتْ أَصْبِرُ . فَقَالَتْ إِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ ، فَدَعَا لَهَا

Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas berkata padanya, “Maukah kutunjukkan wanita yang termasuk penduduk surga?” ‘Atho menjawab, “Iya mau.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia pun berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku sering terbuka karenanya. Berdo’alah pada Allah untukku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Jika mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdo’a pada Allah supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu pun berkata, “Aku memilih bersabar.” Lalu ia berkata pula, “Auratku biasa tersingkap (kala aku terkena ayan). Berdo’alah pada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berdo’a pada Allah untuk wanita tersebut. (HR. Bukhari No. 5652, Muslim No. 2576)

Saat Rasulullah menyebutkan 70.000 golongan yang masuk surga tanpa hisab, beliau menyebutkan :

هُمُ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا عُكَّاشَةُ

“Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah, tidak meminta di kay [berobat dengan membakar bagian tubuh] dan tidak pernah melakukan tathayyur [ramalan burung] serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. ’Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ‘Engkau termasuk mereka’, Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata:’Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab:’Kamu sudah didahului Ukasyah.’” (Muttafaq Alaih)

Dalam pandangan kami, pengobatan sendiri mesti dipisahkan antara:

a. Pengobatan dengan benda yang mubah [halal dan suci], dan

b. Pengobatan dengan benda yang diharamkan [termasuk jenis benda yang haram atau najis].

Pengobatan dengan benda yang halal dan suci hukumnya :

1. Mubah, jika diduga kuat bahwa pengobatan tadi tidak terlalu dibutuhkan dan bermanfaat. Seperti kasus vaksin yang boleh jadi di sebagian daerah dianggap tidak genting karena kondisi wabah virus yang tidak parah.

2. Sunnah, jika diduga kuat pengobatan tadi dibutuhkan dan bermanfaat. Dalam kondisi tidak darurat.

3. Wajib, jika diduga kuat bahwa pengobatan tersebut mencegah penyakit yang lebih berbahaya dari tubuh seseorang, atau diduga kuat bahwa jika tidak berobat, akan berakibat pada kematian/penyakit yang mematikan.

4. Makruh, jika menggunakan benda-benda yang makruh padahal masih banyak benda alternatif lain yang halal. 

5. Haram, jika menggunakan benda yang haram bukan dalam kondisi darurat. (Syaikh Kamauddin Jum’ah, Ahkam At-Tadawi wa Ad-Dawa fil Fiqh Al-Islami, hal. 32-33)

Adapun pengobatan dengan benda yang haram, pandangan kami sebagaimana pandangan madzhab Syafi’I :

“Sahabat-sahabat kami [Pengikut Madzhab Syafi’i] berpendapat : Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya, apabila telah didapatkan – obat dengan benda yang suci – maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis. Inilah maksud dari hadist “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian”, maka berobat dengan benda najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat-sahabat kami [Pengikut Madzhab Syafi’i] berpendapat : Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila para ahli kesehatan –farmakologi menyatakan bahwa belum ada obat kecuali dengan benda najis itu, atau obat – dengan benda najis itu – direkomendasikan oleh dokter muslim”. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 9/55)

Maka jika tidak ditemukan pengobatan dengan benda yang halal [yang ada hanya dengan yang haram], hukumnya disamakan seperti pengobatan dengan benda halal pada umumnya yang kami paparkan diatas.

Tinggal kita melihat, sejauh mana kedaruratan penggunaan vaksin di daerah tempat kita tinggal. Jika memang darurat, maka bisa jadi jatuh menjadi wajib. Wallaahu a’lam.

Dijawab oleh : Ust Muhammad Rivaldy Abdullah

Leave a Comment